Aku Melihatmu Saat Melihat Bunga의 모든 챕터: 챕터 21 - 챕터 30
57 챕터
21 | Rumah Tissa Lagi
SYAILENDRA Dari pertama kali ke rumah ini aku sudah tahu kalau penghuni rumah ini sangat-sangat ramah, apalagi Ibunya Tissa, dia ceriwis sekali. Baru datang aja dia sudah berani-beraninya nyuruh aku buat nyobain masakannya, udah kayak orang lama kenal kita pokoknya. Keluarga ini asik, saking asiknya aku sampai kepusingan sendiri. Ayahnya Tissa suka main catur, dia juga suka olahraga bulutangkis. Kami udah ngobrol dikit-dikit tadi perihal bulutangkis, nyambung sih. Cuma aku heran, kenapa Tissa kepribadiannya beda banget sama keluarganya ini. Tissa itu, nggak seceria keluarganya dia bahkan sesekali kelihatan banget kalau dia lagi kepusingan padahal kalau ditanya sama Ghea, Tissa lagi nggak mikirin apa-apa, katanya bengong itu enak dan dia lagi menikmati masa-masanya menyukai bengong. “Mau pergi kemana emang sama Tissa, Ndra?” aku melirik Tissa yang duduk di sampingk
더 보기
22 | Percakapan Pagi
GHEA   “Bangun udah pagi.”   Ucapan Ibuku barusan membangunkan aku dari mimpi jadian sama Lhambang, sial banget. Padahal udah tinggal sedikit lagi tapi matahari udah memancarkan sinarnya aja pagi ini, dan tumben sekali pagi ini Ibuku repot-repot membangunkan aku dari tidurku. Biasanya dia nggak akan pernah mau repot-repot membangunkan aku sekalipun aku udah kesiangan banget buat masuk kerja, dengan masih menguap aku duduk diatas ranjangku. Melihat Ibuku yang sedang membereskan baju-bajuku yang berserakan di dekat bak baju kotor, dia tak mengoceh sih, hanya saja kelakuanku pagi ini membuat aku malu pada Ibuku dan juga diriku sendiri karena sudah sebesar ini aku masih belum juga bisa mengurus diriku sendiri.   “Ge, udah kesiangan banget emang, Ma?”   “Enggak, ini masih jam enam pagi.” Katanya, menutup bak pakaian kotor.   “Terus kenapa bangunin, Ge. Kalau masih sepagi ini?” aku ber
더 보기
23 | Perjalanan
Tissa   Hubungan yang awet itu tentang ketulusan, saling menguatkan, saling memberi perhatian dan tahu caranya memberikan rasa nyaman.    Aku dulu sering sekali mengidam-idamkan hubungan yang seperti itu, sampai akhirnya aku bertemu dengan Lhambang. Si pria manis yang kelihatannya sangat tulus kepadaku dan yang selalu menguatkan aku ketika aku sedang lelah-lelahnya atau ketika aku sedang mengalami masalah. Aku jatuh cinta padanya, ketika dia selalu membuatku merasa nyaman dan aman. Sampai lupa kalau bisa jadi, semua yang dia lakukan kepadaku itu bukan sebuah bentuk ketulusan melainkan sebuah bentuk keharusan. Dia harus melakukan itu padaku, agar aku percaya padanya dan dia bisa memanfaatkan aku pada akhirnya.   “Nih, cemilan.” Lendra masuk kembali ke dalam mobil, setelah kami berhenti sebentar di rest area untuk mengisi bensin.   “Banyak amat.”   “Iya dong, kan perjalanan ki
더 보기
24 | Hujan Membawa Berkah
GHEA “Nggak bawa payung?” Sebuah suara yang berasal dari sisi sebelah kananku membuat aku menoleh, Lhambang ada di sana. Sedang memandangku yang sedang menggerutu karena hujan datang sore hari ini. “Hai,” Sapaku. “Hai juga.” Dia balas menyapa. “Nggak bawa payung atau lagi nunggu di jemput Syailendra?” “Nggak bawa payung dan nggak lagi nunggu Syailendra.” Jawabku. “Tumben jam segini udah pulang? Nggak lembur?” Dia tersenyum. “Mau ke rumah Tissa, makanya nggak ambil lemburan.” “Ada apaan nih? Kok nggak ngajak-ngajak gue?” &ld
더 보기
25 | Kok Bisa?
GHEA Aku dan Lhambang sudah tiba di rumah Tissa sejak lima belas menit yang lalu, tapi kami belum juga bisa mengobrol dengan kedua orangtua Tissa karena mereka sedang melakukan ibadah magrib berjamaah jadi terpaksa kami menunggu mereka selesai ibadah terlebih dahulu alih-alih ikut melakukan ibadah juga. Aku tak menanyakan kenapa Lhambang tak sholat Magrib karena aku tahu kalau dia memang jarang sekali beribadah, kalau bukan Tissa yang suka ngambek-ngambek dan marah sama Lhambang kalau dia nggak solat mungkin Lhambang masih akan bolong-bolong terus sholatnya seperti hari ini saat tak ada Tissa dia tak sholat. Ini memang bukan contoh yang baik, jangan ditiru ya. “Lama ya, eh udah pada makan belum, Ghe? Lham?” Ibu Tissa yang bernama Tante Yana menghampiri kami seorang diri Om Uya—Papanya Tissa, belum bergabung bersama kami katanya sedang ada mengurusi kerjaan. “Udah udah kok, Ma.” Lhambang menj
더 보기
26 | Soal Kamar
SYAILENDRA Astaghfirullah!!! Gara-gara macet di jalan kami nggak jadi mantai dan malah berujung kami hanya bisa makan, ibadah dan cari tempat buat tidur. Dan kalian tahu apa hal yang paling gilanya lagi? Nih, sekarang aku lagi satu kamar sama Tissa dia nggak berani tidur sendirian di hotel ini karena takut katanya. Jadilah aku dan dia nyewa kamar yang ada tempat tidurnya dua. Walaupun misah tempat tidur, tapikan tetap aja ini nggak benar. Orang yang melihat kami pasti akan berpikir yang bukan-bukan soal kami, mana wajah kami nggak ada mirip-miripnya lagi nggak bisa deh aku buat alasan kalau dia adalah adik aku. “Nggak mandi?” Tissa baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan dia lagi ngucek-ngucek tuh rambut pakai handuk. Kami baru saja tiba di hotel ini, dan dia—Tissa langsung ngabrit buat bersih-bersih, karena katanya tubuhnya udah lengket banget. Padahal kalau dilihat-lihat dia nggak ada
더 보기
27 | Hujan dan Halte
GHEA “Berhenti dulu, lo mau kemana sih?!” aku terpaksa berteriak sembari menarik tangan Lhambang agar dia berhenti berjalan. Kami sudah tiba di depan gerbang kompleks perumahan Tissa, tinggal menunggu taxi atau ojek lewat saja kami sudah bisa pergi dari tempat ini. “Ke rumah Lendra!” teriaknya tak kalah kesal, sementara malam hari ini masih hujan. Orang-orang yang berteduh di sebrang warung sudah melihat ke arah kami. “Percuma, dianya aja nggak ada dirumahnya!” “Gue tunggu dia sampai pulang!” “Bisa besok, 'kan?” aku memelankan nada suaraku. “Ngapain repot-repot ke sana kalau nggak ketemu orangnya, besok pas orangnya pulang baru deh lo kesana.” Orang emosi memang bebas melakukan apa saja, orang emosi memang kadang pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku memaklumi sikap Lhambang k
더 보기
28 | 20:11
TISSA Syailendra nggak benar-benar memeluk diriku, kukira ketika dia bangun dari ranjangnya dan berjalan ke arahku itu akan menjadi hal yang menyenangkan. Aku sudah membayangkan dia akan membuka bajunya perlahan-lahan sambil berjalan ke araku, lalu ketika sudah mendekat dia akan berjongkok dan menggendongku lalu melemparkan aku ke atas ranjang dan permainan panas kami akan di mulai. Pemikiranku memang terlalu liar, mungkin karena itulah aku gagal menggoda Syailendra malam ini. Cuaca yang dingin serta hawa kamar yang terasa panas tak mampu membangkitkan gairah nafsu Syailendra, apa mungkin aku yang kurang menarik di matanya sehingga dia tak sama sekali kepikiran untuk tidur dengan aku saat ini? “Masih kedinginan nggak?” Dia bertanya sambil meletakkan minuman kaleng di meja, lalu dia duduk di sebelahku. Kami sama-sama menghadap ke arah laut saat ini. “Suhunya udah gue atur, kalau masih kedinginan bilang aja ya.”
더 보기
29 | Apartment
GHEA Memulai sesuatu memang berat, tapi percayalah. Nggak ada proses yang percuma, begitu yang aku tahu. Karena itu aku selalu bersemangat untuk memulai pendekatanku dengan Lhambang saat ini, karena aku tahu nggak akan ada proses yang percuma meskipun jalannya berat dan panjang. Tapi aku yakin banget kalau proses akhirnya adalah aku yang akan bahagia nantinya dengan apa yang sudah aku lakukan sejauh ini, ingat sekali lagi kalau nggak akan ada proses yang percuma. Proses itu nggak akan pernah mengkhianati hasil, aku yakin sekali itu makanya sekarang aku hanya perlu berusaha lebih keras lagi agar apa yang aku mau segera tercapai. “Apartemen ini nggak pernah ditinggalin?” Lhambang bertanya padaku, kami sama-sama sudah mengganti pakaian dan sekarang kami sedang makan mie instan. “Jarang.” “Kenapa?” “Dulu ini tempat minggat bokap gue, makanya
더 보기
30 | Perjalanan Ini
SYAILENDRA   Akhirnya, aku mendadak langsung pulang dengan Tissa malam hari ini juga. Bukan karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak mengenakan nanti malam tetapi karena kami—Aku dan Tissa—baru saja dapat kabar kalau Lhambang dan juga Ghea baru saja pulang dari rumah Tissa. Ibu Tissa yang menceritakan semua kronologi tersebut melalui telepon, saat kami sedang asik mengobrol sambil menikmati pemandangan laut yang aduhai, telepon itu pun masuk. Butuh waktu sepuluh menit untuk Tissa bertelepon dengan Ibunya dan butuh waktu lima menit bagi Tissa meyakinkan aku untuk pulang ke Jakarta karena ada hal yang harus dia urus, yaitu tentang kesalahpahaman Lhambang.   “Tidur aja, nanti kalau udah sampai gue bangunin, Tiss.” Kataku.   “Nggak apa, gue emang lagi pengen begadang sih malam ini. Gue temenin lo nyetir aja, nanti kalau lo capek atau ngantuk gantian aja sama gue nyetirnya.”  
더 보기
이전
123456
DMCA.com Protection Status