SYAILENDRA
Akhirnya, aku mendadak langsung pulang dengan Tissa malam hari ini juga. Bukan karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak mengenakan nanti malam tetapi karena kami—Aku dan Tissa—baru saja dapat kabar kalau Lhambang dan juga Ghea baru saja pulang dari rumah Tissa. Ibu Tissa yang menceritakan semua kronologi tersebut melalui telepon, saat kami sedang asik mengobrol sambil menikmati pemandangan laut yang aduhai, telepon itu pun masuk. Butuh waktu sepuluh menit untuk Tissa bertelepon dengan Ibunya dan butuh waktu lima menit bagi Tissa meyakinkan aku untuk pulang ke Jakarta karena ada hal yang harus dia urus, yaitu tentang kesalahpahaman Lhambang.
“Tidur aja, nanti kalau udah sampai gue bangunin, Tiss.” Kataku.
“Nggak apa, gue emang lagi pengen begadang sih malam ini. Gue temenin lo nyetir aja, nanti kalau lo capek atau ngantuk gantian aja sama gue nyetirnya.”
<GHEASebuah kenyamanan itu pasti datang tanpa disengaja, seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Saat aku dipeluk dengan begitu erat oleh Lhambang, pelukan ini terasa hangat dan nyaman. Membuat aku tak rela jika harus menutup mata untuk tidur, padahal Lhambang sudah menyuruh aku tidur sejak tadi. Sejak dia menyelesaikan permainan kami setelah dua ronde berjalan, katanya dia tak ingin membuat aku kelelahan padahal aku tahu dia masih sangat ingin menghabiskan malam yang panjang ini bersamaku.“Kamu nggak tidur?” dia bertanya, sambil memeluk tubuhku dari belakang.“Belum bisa.”“Kenapa?”“Nggak tahu.”“Pengen lagi?” Tanyanya. “Atau lapar? Mau aku belikan makanan?”Lihat kan, dia memang seperhatian dan sepengertian ini. Wajar kalau aku selalu ngotot kepada S
TISSATengah malam hari ini, aku sedang mencoba terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya terluka. Bagaimana tidak, baru datang ke rumah ini ketika si pemilik rumah membukakan pintu dan melihat siapa yang datang aku langsung di tampar tanpa tahu salahku apa, Syailendra sempat maju dan memarahi si pemilik rumah. Menanyakan apa maksud dan tujuannya langsung menamparku, dan betapa terkejutnya kami saat ini ketika mendengar Ibu dari Lhambang mengatakan alasannya. Katanya, aku selingkuh dengan laki-laki di sebelahku ini. Aku juga sedang mengandung anak dari laki-laki di sebelahku ini, aku tak tahu siapa yang menebar fitnah sekeji ini apakah itu Lhambang atau Ghea.“Tante denger dari mana berita nggak bener ini?!” kupanggil saja dia Tante saat ini karena aku tak sudi menyebutnya dengan panggilan Mama atau Ibu, terlalu istimewa.“Dari anakku,” katanya melipat tangan di dada dan menandangiku dengan raut
SYAILENDRAIbu adalah perhiasan rumah, tak ada yang dapat mengetahui hakikat ini kecuali jika kita sudah kehilangannya. Melihat Ibu Tissa menangis sambil memeluk putrinya, aku jadi ikut sedih dibuatnya. Bagaimana tidak, saat datang ke sini sekitar satu jam yang lalu, yang membukakan kami pintu adalah beliau. Yang paling panik dan kaget melihat wajah putrinya memerah dan pakaiannya yang masih basah sedikit adalah beliau, aku bisa lihat dengan jelas raut wajah kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya bagaimana dia ingin mendengar dengan cepat bagaimana cerita yang terjadi pada Tissa dan kenapa hal ini bisa terjadi dengan begitu tenang dan tanpa mereka—orangtuanya Tissa ketahui.“Kamu tahu dimana Lhambang sekarang, Ndra?” Ayah Tissalah yang membuka suara terlebih dahulu, istri dan anaknya masih sibuk menangis sambil berpelukan.“Nggak tahu, Om. Tissa udah hubungi Lhambang tapi dia nggak angkat tel
TISSAGhea salah, yang dia butuhkan bukanlah seseorang yang sempurna. Tetapi, seseorang yang bisa menerima dia dengan sempurna dan menutupi semua kekurangannya. Singkatnya, bukan Lhambanglah yang dia butuhkan tetapi Syailendra namun dengan bodohnya dia membuang laki-laki yang sedang bersamaku ini hanya demi laki-laki yang mempunyai status denganku. Padahal sudah kukatakan berkali-kali kalau Ghea pasti akan menyesal jika menjadi pacar Lhambang, baik aku atupun Syailendra rupanya sudah mengatakan kepadanya kalau Lhambang itu orangnya seperti apa tapi Ghea tetap bersikeras ingin dengannya jadilah aku dan Syailendra tak punya pilihan lain selain diam dan membiarkan dia dengan pilihannya sendiri itu.“Awalnya memang Ghea telepon Mama, Ndra. Dia bilang Tissa lagi hamil anak kamu makanya dia putusin kamu dan sekarang lagi galau banget, dia memang minta izin nggak pulang tapi dia nggak ngomong mau ke mana. Makanya, Mama pikir dia baik-baik aja
TISSAMaafkanlah, meski engkau dizalimi. aku ingat betul apa kata Syailendra ketika kami sampai di tempat ini, ketika aku baru turun dari mobil dia langsung menarik tanganku dan mengatakan bahwa aku harus memaafkan mereka—Ghea dan Lhambang—meski aku habis dizalimi. Dia sama sekali tak meralangku untuk marah, tapi setelahnya akan lebih baik kalau aku berbesar hati untuk memaafkan mereka agar semua masalah ini nantinya kelak tak jadi penyakit hati untuk diriku sendiri dan aku setuju untuk apa yang Syailendra katakan saat ini. Aku akan memaafkan mereka sekalipun mungkin aku akan menjaga jarak dengan mereka nantinya tak akan aku biarkan diriku atau orang-orang baik yang ada di hidupku berhubungan lagi dengan mereka.“105920 kode aksesnya, Ndra. Buka aja nggak perlu diketuk.” Titah Ibunya Ghea, saat ini kami sedang ada di sebuah apartemen milik Ghea. Jujur saja aku baru mengetahui tempat ini, selama berteman dengannya aku
SYAILENDRAKisah lama, hanya bisa merindu. Setelah sekian lama bertahan untuk Ghea akhirnya aku bisa melepaskan ini dengan cara yang tak sama sekali keren seperti saat ini. Aku tak menyangka kalau orang yang selalu aku jaga, aku kagumi ternyata bisa melakukan hal seperti ini. Tak ada yang bisa membuat aku menyesali pisahnya hubunganku dengan Ghea harusnya memang seperti itu, karena Tuhan sudah menjawab satu doaku yaitu tentang pertemukanlah aku dengan jodoh yang baik. Tuhan menyingkirkan Ghea dari hiupku itu artinya dia memang tak baik untukku, jadi sebenarnya tak ada yang harus aku sesali untuk berakhirnya hubunganku dengan Ghea ini. Tetapi kenapa ya, rasanya tetap sakit?“Lo nggak tidur, nggak apa-apa, Ndra?” Tissa meletakkan satu gelas teh hangat. Kami sedang berada di teras rumah Tissa, duduk diatas undakan tangga setelah menyelesaikan ibadah solat subuh bersama dirumah Tissa. Maksudku bersama disin
SYAILENDRA“Baru pulang?” aku baru saja masuk ke dalam rumah, sudah mengucapkan salam dan sudah mengganti sepatuku dengan sandal rumah. Baru ingin melenggang pergi ke kamar tapi Adikku yang sedang mengoleskan selai ke roti malah menyapa.Nggak ada sopan santun banget emang ini manusia satu, nyapa Kakaknya udah kayak nyapa temen aja.Namanya Savvanah, dia lahir setelah aku lahir. Dia adalah perempuan satu-satunya di keluarga kami, karena dia adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga kami kadangkala dia suka bertingkah layaknya seorang putri raja. Meskipun menyebalkan, tapi dia ada gunanya juga hidup di tengah-tengah keluarga kami. Karena ketika kami tersakiti oleh perempuan, maka dialah yang akan maju untuk menangani. Itu kalau dia tahu kami tersakiti, makanya baik aku atau kakakku tak pernah mau mengatakan padanya kala
TISSA“Misi Pak pengacara saya boleh masuk nggak nih?” kataku, masih melongok di pintu dan tersenyum kepada Syailendra.“Masuk Tiss masuk, kan udah disuruh masuk dari tadi juga.” Jawabnya sambil tersenyum dan menghampiri aku.Aku menutup pintu dan menyerahkan tempat makan susun padanya. “Makan siang, dari nyokap.”Dia menerimanya tempat makan itu, memandanginya dengan senyum lalu berkata. “Repot-repot...” lalu memandangiku. “Duduk dulu, mau langsung pulang emang?”“Enggak, gue emang berencana mau pulang sore. Nggak apa-apa kan gue disini dulu?"“Iya nggak apa, duduk lah.” Dia mengangkat tempat makan itu. “Tapi ini g