All Chapters of Kehancuran Usai Suami Berkhianat : Chapter 41 - Chapter 50
76 Chapters
41. Hidup Dalam Ketakutan (PoV Danang)
    “Ada apa lagi?” “Mas Danang, dengarkan aku. Maafkan aku, Mas …!” Lama-lama orang ini membuat muak. “Telepon cuma mau bilang itu saja, hah?” “Gimana, Mas-“ “Apanya yang gimana? Semua sudah dijawab. Berulang-ulang malah, apa kamu ini tidak punya malu?” “Mas, aku minta alamat Almira, kita harus bica-“ “Tidak usah! Tidak ada yang perlu dibicarakan!” Kukibas tangan ke udara, lekas menutup sambungan telepon, kumatikan sekalian hapenya biar tidak terus diganggu.  April makin lama terasa seperti hantu, gentayangan di kota ini untuk menerorku. Ia sudah tinggal di yayasan yang ajarkan keterampilan gratis untuk penghuninya, diajar keras sampai mereka bisa hidup mandiri setelah keluar, tapi memang dasar April
Read more
42. Meragukan Darah Adam (PoV Danang)
Almira sempat nengok Adam sebentar, sebelum bertugas ke klinik yang jadi gabungan ia dan teman-temannya buka praktik. Aku menolak saat ia tawarkan Adam dipindah ke kliniknya, biarlah di sini saja. Biaya rumah sakit tentu lebih murah dibanding klinik, aku juga tidak mau membuat Almira malu di depan temannya karena kami. Ia meninggalkan uang untuk biaya Adam. “Ayah punya uang, Nak, tidak usah.” Aku menolak, tapi Almira memaksa. Terpaksa kuterima. Hari sebentar lagi gelap, aku merasa amat lelah. Kepala mulai tegang lagi, kuputuskan pulang saja, ada April di ruang ini.  “Kamu jaga Adam,” ujarku lemah. Selain lelah raga, pikiran yang berkecamuk juga menambah lemah dayaku. April memang lebih baik di sini, ia memang mau ke mana pulang coba? Kabur dari yayasan, setelah pinjam uang 50 ribu dari seseorang di sana. Bodoh sekali! Apa s
Read more
43. PoV Almira
Belum separuh jalan ke klinik, kok, perasaanku tidak enak. Kuputar arah kendaraan kembali ke rumah. Sambil fokus mengemudi aku mencari kontak Santi. Dua kali panggilan baru dijawab, yang angkat Simbok. “Santi mana, Mbok?” “Lagi di ruang bapake, Bu Almira.” “Oh, ya sudah, memang aku mau suruh ke sana.” “Iya, sepertinya ada suara ribut-ribut. Ini Adam sama saya di kamar tamu.” “Ribut? Iya, iya, ini aku pulang.” Kututup telepon.  Ada apa? Mungkin ini jawaban perasaanku yang tidak enak. Kalau lihat wajah Kak April rasanya aku menaruh perasaan lain. Sesuatu yang sulit kujelaskan. Semoga Ayah baik-baik saja.
Read more
44. Semoga Dapat Hidayah (PoV Almira)
Kusenyumi Mas Angger sebelum bicara. “Yah, begini. Al mau meluruskan. Mungkin Ayah sudah salah paham sampe sakit begini. Aku tahu Mas Angger sama Santi-“ “Ugh! Ti-dak ma-u deng-al …!” Ayah mengibas angin, melambai tangan gemetar dengan reaksi tegang. Melarangku melanjutkan bicara. Kutarik napas panjang, harus tenang untuk meyakinkan kalau Ayah sudah salah paham. Lengannya ku elus perlahan. “Malam itu aku sama Mas Angger kena diare, Yah …” Kutatap matanya, meyakinkan kalau kataku ini benar. “Mas Angger ke luar dari kamar mandi, aku masuk. Eh, aku belum tuntas dia sakit perut lagi, padahal sudah minum obat. Kuminta tunggu, dianya sudah gak tahan, terpaksa mau ke dapur padahal Mas Angger ini paling sulit pake kloset jongkok.” Aku melihat reaksi Ayah tampak cukup kage
Read more
45. Godaan Rumah Tangga
PoV Soraya  “Mama bisa gak di sini aja, nungguin sampai Denok lahiran ….” Mengerucut bibir mungil, dari pemilik pipi yang tembam ini. “Mama tiap bulan pasti ke sini, Nok.” Ku usap gemas pipi Denok, masuk kehamilan trimester tiga kulitnya terlihat makin bersih bercahaya. Bungsuku terlihat cantik dengan badan berat bertambah 9 kiloan. "Kalau bisa tinggal, Ma. Gak usah balik ke Jogja." "Mama belum bisa putuskan. Tapi insyaAllah kamu lahiran mama di sini." "Yaah ...!" Nada kecewa Denok kusenyumi saja, benar kata Jerry istrinya makin manja selangit. Aku dan Mas Mahesa sekarang ada di Kalimantan, setelah semua urusannya beres kami bisa pergi bersama kali ini. Baru tiba kemarin siang, tadi malam nginap di rumah Denok. Ini lagi di mobil akan
Read more
46. Kejujuran Suamiku
“Dik, nomor baru.” Seperti biasa, Mas Mahesa menyodorkan ponselnya padaku. Aku yang tengah akan rebah ke pembaringan kembali duduk. Sejak diblokir nomor sebelumnya, perempuan itu menggunakan nomor lain. Chat berisi puisi syahdu, selalu begitu yang ia kirimkan. Aku memperbaiki posisi duduk, bersandar pada punggung bed. Sementara Mas Mahesa membaringkan diri di sebelahku, menggenggam jemari kiri ini lembut. Kangmas, belum cukupkah ini bagimu? Apa kau tak merasa detak jantungku? Irama setiap embusan napas Bahkan derasnya setiap aliran darahku? Semuanya menyebut namamu di hatiku Isi chat begini hanya aku yang baca. Mas Mahesa tidak mau merusak pikirannya
Read more
47. Terjerat Di Lembah Gelap (PoV April)
“Aaagh! Jangan, Bang …!”“Apa gunanya kamu, kalau bukan buat nyari duit, hah! Maumu apa?!”Kulit kepala sangatlah sakit, sudah tak kutahu lagi cara katakan nyerinya. Rambut terasa tercerabut, ditarik kasar bagai diri manusia tak punya rasa. Ini sakit!Mamak … tolong April, Maaak …!Hati ini menjerit. Aku tidak mau lagi dibawa ke sana!Tidak!...Bagaimana diri bisa terjebak ada di antara orang-orang jahat ini? Sangat miris bila kuingat.Aku lari dari rumah Almira, terpaksa membawa Adam karena Mas Danang menyumpahi dan mengusirku pergi. Jahat sekali dia, aku hanya minta hak Adam, sempat berharap den
Read more
48. Melarikan Diri (PoV April)
“Kalau Abang gak percaya akan aku buktiin!” tantangku. “Memang masalah kalau kamu kotor, hah?” “Se-sebentar, Bang, aku bersih-bersih dulu!” Dasar manusia set** alas, gimana aku bisa lolos?! “Awas kalau bohong, aku pecahin kepalamu. Kamu itu tidak berguna di sini!” “Ba-baik. Aku ke wc, A-Abang tunggu di sini.” Sial! Lelaki sangar itu malah mengkutiku, menunggu di depan pintu kamar kecil. Kunyalakan air, merasakan isi kepala terasa penuh. Habislah aku kalau kena virus itu …! Hidup tersiksa, kurus … sisa tulang belulang … tengkorak hidup …? Agh!! Hampir aku teriak membayangkannya. Tidak!
Read more
49. Mengenal Keluarga Baru (PoV April)
“Gimana ini, Mbak? Lah, aku musti antar ke mana?” “Aku gak punya saudara di sini.” “Waduhh, piye iki?” Pria yang kupanggil Mas sebelumnya ternyata terlihat lebih muda saat buka helm. Dia menepikan motor di sisi jalan dan menurunkanku tadi, bingung mau antar aku ke mana, tapi juga terlihat tidak tega meninggalkanku. Rambut tebalnya basah keringat disugar ke belakang sebelum memasang kembali helmnya. Tampak mengetik pesan di ponsel, selesai itu dia kembali melihatku yang berkali-kali meringis menahan denyut di hidung. Panas matahari terasa ikut memanggang hidung sial*n ini! “Beneran nggak punya orang dikenal sama sekali? Masa bisa terbawa gitu aja ke Jogja, Mbak? Apa Mbak ini dibius di jalan?” Kupandangi dia saksama, saat matanya juga memindai seakan aku sudah berbohong.
Read more
50. Masih Bisakah Kumulai Dari Awal? (PoV April)
Nino ada di pangkuannya, selama beberapa menit aku duduk bersamanya di sini sudah berpuluh kali dia cium anak itu penuh sayang. Hatiku terasa selalu tercubit keras. “Sudah siap, Mbak April?” Suara Rosyid mengagetkanku. Lekas berdiri, kuraih nampan gorengan juga jajanan pasar lainnya di dalam keranjang, semua tadi sudah siap di meja. Jajanan ini titipan tetangga, juga gorengan buatanku, diajari Ibu. Sudah lima hari aku bantu menggantikan Ibu jualan jajanan di pasar tradisional, berangkat sekitar setengah enam, saat hari baru terang. Aku terpaksa mencari uang begini, awalnya ditawari Ibu ternyata hasilnya lumayan, bisa ditabung untuk biaya pulang. Ibu sama Bapak berangkatnya dini hari, Bapak jualan buah di pasar yang sama, hanya beda lokasi. Selepas Rosyid mengantarku, dia akan antar Ibu pulang baru berangkat ke kampus, katanya pa
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status