Semua Bab Kehancuran Usai Suami Berkhianat : Bab 31 - Bab 40
76 Bab
31. Noda Dari Tanganku (PoV Danang)
April ...! Itukah … dirimu …? Video panasmu dulu kau bilang dalam pengaruh obat, dalam pengaruh ancaman. Tapi ini … kamu pasti sedang sadar, kan?! Istighfar kupekik berulang-ulang dalam benak, mohon Tuhan kuatkan raga, kepala ini terasa akan meledak. Tidak. Jangan sampai aku pingsan. Atau darah naik lalu …. Jangan! Aku melawan diri sendiri. Meski kepala terasa akan pecah, aku harus bertahan. Tarikan napas dalam, kuisi paru-paru, cukup melonggarkan sesak isi dada. Wanita itu masih mendesah manja, tak menyadari keberadaanku di dekatnya, ia bahkan mengubah posisi miring, dengan layar telepon di depan dada. Bisa saja aku berbuat kekerasan, tapi sisi lain diriku menentang. Adam membutuhkan bapaknya. Ia tidak disayang ibunya, bag
Baca selengkapnya
32. Sesal (PoV Danang)
Kami pun duduk berhadapan. “Tahu kenapa aku ke sini?!” Jerry mengangguk ragu. “Apa Denok-“ “Hentikan semua!” Kusela kalimatnya. “Putuskan siapa pun perempuan itu dan jadikan Denok satu-satunya!” Suaraku keras, kalimat ini bagai sebuah pesan yang ke luar dari lubuk terdalam. Ia terdiam. Bisa kutangkap ia sedang berpikir. “Jangan jatuh pada kesalahan sama, Jerry! Jangan lakukan seperti apa yang aku lakukan …” Panas bola mata ini, kupijat sisi kepala yang menegang. “jangan … jangan lakukan ...,” ucapku berubah dalam nada lemah. Berulangkali kalimatku memohon. Ia masih terdiam, mengisyaratkan ada sesuatu yang sulit dikatakan. Sama seperti
Baca selengkapnya
33. Godaan (PoV April)
“Terima kasih, Pak ... rumahnya nyaman. Aku suka, deh.”“Baguslah kalau suka. Selamat istirahat, Cantik. Tidak sabar nih datang besok.”“Sabarlah, Pak … he, pasti kutunggu.” Pada pria yang sudah menolongku saat hampir jadi gelandangan akan kuberikan yang terbaik. Di akhir panggilan kumajukan bibir, mencium layar yang dibalasnya dari jauh.Terlihat sekali mukanya merah, dibalasnya aku dengan lebih gemas. Ah, aku tahu dia pasti sudah tak sabar ke sini.Kututup panggilan, melihat tempat tinggalku sekarang. Ternyata gampang banget kalau mau hidup enak. Mudah, lepas satu tumbuh seribu. Nangis buaya sebentar dicerai Mas Danang, aku langsung bisa ketawa setelahnya. Hahah. Begitulah. Dicampakkan sandal jepit tua, aku bisa dapat sepatu bermerek mahal.Aku masuk ke kam
Baca selengkapnya
34. Apa Aku Sudah Mati? (PoV April)
Hampa. Rasa itu menghantui hari-hariku setelahnya. Pak Joni bisa datang tiba-tiba kapan pun mau. Hanya melepas nafsu. Hubungan kami tidak jelas. Di luar dia bersikap dingin, tapi saat ada maunya aku diperbudak. Miris. Nasibku terasa mendapat sinyal buruk. Mamak pun tidak bisa membantu. Foto Pak Joni yang kukirim untuk diritualkan, digantung dengan minyak tidak mempan juga. Apa Nenek marah ataukah ‘sahabatku’ sudah kalah? Pulang kerja badanku letih lesu, jalan dari depan perumahan ke sini saja rasanya mau pingsan. Sampai di kamar aku duduk mematut lagi wajah pada cermin. Tidak ada yang kurang? Semua masih sama bentuknya. Kadang aku memang ketakutan sendiri, jika kekuatan gaib dalam diri benar hilang,
Baca selengkapnya
35. Soraya Di Tempat Baru
Lepas Ashar kuseduh teh hijau tanpa gula, kubawa ke lantai atas. Nikmat sekali menyeruputnya sambil menikmati embusan angin di sini, di balkon yang nyambung dengan rooftop. Menghirup angin khas Kaliurang, sejuk dan terasa bersahabat dengan paru-paru. Mata tertuju pada segarnya selada, salah satu tanaman hidroponik milikku. Setelah jauh dari teman-teman di Kalimantan aku kadang kesepian di sini, bercocok tanam salah satu cara sebagai penghiburku di sela kegiatan lain. Ya, aku sudah putuskan menetap di sini. Meninggalkan semua demi menyambut kehidupan baru. Merangkai masa tua bersamanya. Kabar bahagia, karena aku sudah menikah dengan Mahesa, lamarannya saat itu segera kuiyakan setelah Mas Danang pulang. Sebuah keputusan besar, dan cepat. Hanya mengikuti naluri, kupikir memang sudah tepat, berani melangkah bersama lelaki yang dicintai.
Baca selengkapnya
36. Kehadiran Denok
Segera kudekap Denok, memeluknya erat, mencium pucuk kepalanya tanpa bisa berkata-kata. Kutahu saat begini ia merasa jatuh, merasa dicampakkan bagai orang tak berharga. Dilukai tanpa terlihat lukanya itu lebih sakit, masa saat diri butuh pereda berupa tempat bersandar dan didengarkan. Kupejamkan mata, merasakan guncangan bahu putriku. Mengalirkan doa semoga ia kuat menghadapi apa pun. “Denok, Denok minta cerai, Ma …!” Kata itu membuatku bagai tersambar. Segera kutarik diri, merangkum kedua bahunya, menatap matanya lekat. “Pokoknya Denok minta cerai,” ulangnya lagi dengan sinar mata begitu luka. “Tumpahkan semua dulu apa yang kamu rasa, Nak. Mama akan dengar,” ujarku sambil menatapnya. Kutunggu, tapi justru ia diam, seperti kehabisa
Baca selengkapnya
37. Kesempatan Kedua (PoV Author)
“Eh, Imah, bagaimana orang itu, sudah bisa bangun, kah?” “Belum, Cil. Kadang bangun cuma merintih,” jawab perempuan berniqab, sambil menyendokkan pesanan nasi campur yang dibeli tetangganya ini. “Kasian mamamu malah jadi repot.” Di balik cadarnya ia tersenyum tulus. “Kasian, Cil. Doakan ja mudahan lekas sehat.” Warung nasi kuning dan nasi campur di halaman rumah ini biasanya memang laku, tapi beberapa hari terakhir makin ramai saja, karena tak cuma pembeli yang datang, beberapa warga penasaran keadaan seorang perempuan yang ditolong pemilik warung dari amukan massa. Sebagian mereka suruh cari, dan serahkan ke keluarganya, tapi Bu Yayah bersedia merawat sampai sehat terlebih dahulu. Perempuan muda itu nyaris mati, dalam kondisi penuh luka dan tak sadarkan diri masih saja dipukuli. Ironis, kain yan
Baca selengkapnya
38. April (PoV Author)
Beberapa hari berlalu, setelah sebelumnya tidak berani melihat cermin, hari ini April putuskan ingin melihat wajahnya. Ia harus tahu sebelum memikirkan akan ke mana setelah ini. Melangkah ke luar kamar, ia celingukan mencari kaca. Tidak ada. Ia pun ke dapur. Setelah melihat ke sana ke mari pandangnya terjatuh pada sebuah cermin kecil tergantung di dinding, dekat keran pencuci tangan. Astaga! Seketika seperti terhenti bernapas, lihat bayangan wajahnya yang jauh berbeda. Di atas pipi ada bulat besar kehitaman, di pelipis juga, bibir hitam membesar, belum lagi hidung …! Ini bukan aku! Bukan!  April mundur, membuang pandang. Napasnya menderu. Ia tidak percaya itu wajahnya. Sesaat kemudian ia kembali memberanikan diri melihat lagi, masih menampak
Baca selengkapnya
39. Dia?! (PoV Danang)
“Maaf Pak Danang, tadi hapene bunyi terus, saya angkat. Itu dari saudaranya tanya alamat sini.”“Oh, inggih, mboten menapa, Bu.” Telepon genggam milikku disodorkan oleh salah seorang pengelola panti.Aku habis dari kamar kecil di belakang, tadi benda berlayar lebar, yang dibelikan Almira ini ketinggalan, tergeletak di ruang bayi, seusai aku video call sama Naya dan Syifa, karena tadi mereka mau lihat Adam.Kuperhatikan itu nomor baru yang masuk.Siapa?Apa Dina ganti nomor? Atau saudara di sini, yang tahu aku tinggal di Jawa tapi tidak menemui mereka?Karena belum isi pulsa aku tidak telepon balik, ponsel kukantungi dalam saku celana.Sekarang ini masih harus gerak bersihkan halaman depan. Tadi angin kencang pasti
Baca selengkapnya
40. Dihantui Kesalahan Lalu (PoV Danang)
Ia bangun, berdiri, tangannya cepat membuka cadar begitu saja. Tampaklah mata dan pipinya basah. Tercenung sejenak aku melihat wajahnya. Hidung bengkak seperti bekas disengat, mulutnya juga jadi tebal dan hitam, seperti pembekuan darah di bibir atasnya. Beberapa bagian wajah April juga terlihat banyak perubahan. “Ini berarti benar mantan istrinya Bapak?” Wanita berkerudung teman April tadi bicara. “Dia ini terlunta di jalan, Pak. Kasihan, numpang tidur di emperan toko saudara saya. Kebetulan saya memang sedang mau ke Jawa, nah Mbak ini minta tolong belikan tiket kapal juga, trus minta antar ke sini. Kasihan mau ketemu anaknya yang Bapak bawa.” Aku terperangah, merasa tidak percaya sampai sulit berucap. “Saya pulang.” Ia menyentuh pundak April. “Semoga masalahnya selesai, Mbak.” April masih tergug
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status