Semua Bab Kamu Akan Miskin, Mas!: Bab 71 - Bab 80
105 Bab
Kenapa?
BAB 72 "Kamu gak mau gitu untuk mundur? Kenapa harus maju?" tanya Mas Reno lagi.  Aku diam sejenak. Apa maksud dia? Kenapa seolah aku yang salah di sini? Ah, lucu sekali. Dia mau memohon-mohon begitu? Aku malah hendak tertawa mendengarnya. Itu lucu sekali.  "Kenapa perceraian ini harus dilanjutkan? Aku masih cinta sama kamu." "Cinta?" Aku tertawa pelan. "Apa yang kamu bilang cinta itu?"  "Nin—" "Coba kamu pikir dulu ulang. Sebelum kamu sampai ada di sini. Siapa yang selalu semangatin kamu? Terus sekarang, kamu gak anggap aku ada? Udahlah, capek aku ngomong sama kamu." Dia bilang begitu.  Aku tersenyum tipis. Apa yang dia lakukan untukku? Wow, bisa-bisanya mengaku seperti itu. Manusia tak tahu malu.  "Jangan lupa datang di jadwal segitu. Mau kamu membujukku sampai ber
Baca selengkapnya
Pertengkaran Hebat
BAB 73 "Kenapa Mama baik sekali?" Mama mengulang pertanyaanku barusan.  Beberapa detik, Mama kemudian menggelengkan kepala. Tersenyum kecil ke aku.  "Mama gak pernah merasa baik sekali, Sayang. Mama malah sering merasa kamu itu kurang ini, kurang itu. Mama gak seperti apa yang kamu pikirkan. Mama gak sebaik itu." Aku menelan ludah, menatap Mama yang tersenyum padaku, kemudian mengusap rambutku.  "Kamu anak Mama, Kafka juga, Bang Tirta juga. Kenapa Mama dibilang sebaik itu?"  "Karena Mama—" "Udah. Mama gak sebaik apa yang kalian pikirkan." "Ma, udah selesai? Ada yang nelep9n, nih." Kami menoleh ke Papa. Wajah Papa terlihat meyakinkan sekali dengan ponsel di tangannya. Menunjukkan ada yang menelepon.  "Ah, baiklah. Sudah selesai bicaranya, Sayang.
Baca selengkapnya
Cinta?
BAB 74 "Kamu gak mau gitu untuk mundur? Kenapa harus maju?" tanya Mas Reno lagi.  Aku diam sejenak. Apa maksud dia? Kenapa seolah aku yang salah di sini? Ah, lucu sekali. Dia mau memohon-mohon begitu? Aku malah hendak tertawa mendengarnya. Itu lucu sekali.  "Kenapa perceraian ini harus dilanjutkan? Aku masih cinta sama kamu." "Cinta?" Aku tertawa pelan. "Apa yang kamu bilang cinta itu?"  "Nin-" "Coba kamu pikir dulu ulang. Sebelum kamu sampai ada di sini. Siapa yang selalu semangatin kamu? Terus sekarang, kamu gak anggap aku ada? Udahlah, capek aku ngomong sama kamu." Dia bilang begitu.  Aku tersenyum tipis. Apa yang dia lakukan untukku? Wow, bisa-bisanya mengaku seperti itu. Manusia tak tahu malu.  "Jangan lupa datang di jadwal segitu. Mau kamu membujukku sampai berlutut,
Baca selengkapnya
Calon Istri?
BAB 75 "Disuruh ambil kunci malah ngobrol sama Rini. Aneh banget." Kami menoleh lagi. Bang Tirta sedang memarahi Kafka. Aku menghela napas pelan, sebenarnya apa yang terjadi di sini? Kenapa kesannya jadi menyebalkan sekali? "Lho, ini ngapain lagi di sini? Maaf, ya. Bukan pasar. Sana pergi. Ayo, Nina, Fajar." "Tapi, Bang-" Mereka berdua tidak akan bisa melawan Bang Tirta. Aku tertawa pelan ketika sudah masuk ke dalam mobil.  "Aneh-aneh aja." Fajar menggelengkan kepala. Kami mulai meninggalkan area rumah.  Sesekali, aku melirik Fajar yang sedang memutar musik. Belum ada obrolan apa pun di antara kami.  "Udah bilang sama si Reno soal sidang itu?" Aku menoleh, kemudian menganggukkan kepala.  "Kenapa memangnya?" tanyaku pelan.  "Nanya a
Baca selengkapnya
Keputusan Kafka
BAB 76 "Serius ngapain?"  "Ada sesuatu. Aku duluan, ya. Maaf gak bisa antar. Bang, maaf gak bisa anter Nina pulang." Kami sama-sama melongo. Sementara Fajar sudah tergesa-gesa pergi meninggalkan tempat ini.  "Kesambet apa anak itu?" tanya Bang Tirta pelan. Bingung dengan apa yang dilakukan oleh Fajar. Sama, aku juga bingung, tapi sepertinya itu masalah yang cukup besar. Aku menghela napas pelan, menoleh ke Bang Tirta dan Kafka yang masih diam saja.  "Mau pulang kapan?" tanyaku pelan.  "Sekarang aja. Ngantuk." Kafka beranjak. Aku juga mengikutinya. "Tunggu, dong!" Kami melangkah meninggalkan pasar malam. Di dalam mobil, tidak berhenti aku menatap layar ponsel, berharap Fajar mengirimkan pesan sekarang, tapi sepertinya hanya harapan saja. Dia tidak ada memberi kabar sampai sekara
Baca selengkapnya
Status?
BAB 77 "Mama sama Papa ngapain di sini?" tanyaku terkejut. Aku sampai berpandangan dengan Kafka. Kami sama-sama bingung akan menjelaskan apa kalau begini pada Mama dan Papa. Mereka mau ngapain kesini? Astaga, jangan sampai— Pandanganku teralih ke Kafka. "Ya. Mau membahas keputusan Kafka, bukan?" "Ma, Pa. Kafka—" "Oke. Mama sama Papa paham dengan apa yang kamu pikirin, Kaf. Mari membicarakannya baik-baik." Mama memotong perkataan Kafka. Apakah bisa? Aku tidak yakin. Apalagi Kafka dengan segala pemikirannya yang luar biasa itu. Dia akan sulit dikalahkan oleh Mama dan Papa.  Kafka berkali-kali menoleh ke aku. Meminta bantuan. Aku bisa bantu apa? Aku saja tidak bisa berkata-kata begini.  "Betul Kafka ingin menikahi Rini, hanya karena Rini hamil? Apa Kafka tid
Baca selengkapnya
Foto Misterius
BAB 78 Statusku?  Aku menatap Ibu. Tidak paham dengan apa yang dikatakannya barusan. Memangnya kenapa dengan statusku? "Ibu mau kamu bilang ke orang lain kalau kamu adalah anak Ibu." Lah, memangnya kenapa? Tumben sekali Ibu bikang begitu. Aku menggelengkan kepala. Menatap Ibu yang diam saja.  "Tapi bukannya Ibu—" "Oke. Gak masalah kalau kamu gak mau." Bukan itu masalahnya. Aduh, aku pusing sekali.  Ponselku berdering. Dari Mama. Aku melirik Ibu sekilas, kemudian mengangkat telepon.  "Halo, Ma. Kenapa?"  "Mama sama Papa ke luar kota dulu, ya, Sayang. Lagi ada yang mau diurusin sama perusahaan. Kamu bisa tinggal di rumah Mama atau di rumah Ibu aja." Aku menelan ludah. Bukankah ini seperti kebetulan? Mau sam
Baca selengkapnya
Menyelidiki
BAB 79 "Ini apa maksudnya?" gumamku sambil mengusap dahi.  Aku menelan ludah, menatap foto itu berkali-kali. Kenapa foto ini dicoret pakai tinta merah? Pintu kamarku diketuk. Aku menelan ludah, buru-buru memasukkan foto itu ke dalam kantong celana.  "Sayang, ayo makan dulu. Udah siap semua." "Oh iya, Bu. Em, sekalian nungguin Fajar bisa gak, Bu?" tanyaku pelan.  Ibu diam sejenak. Beberapa detik, Bu Sari kemudian menganggukkan kepala. Dia tersenyum padaku.  "Boleh, dong. Nunggu di bawah aja, yuk. Sekalian Ibu mau ngobrol sama kamu." Aku menganggukkan kepala. "Ibu duluan aja. Nina mau beresin di dalam sebentar aja." Meskipun terlihat ada sesuatu yang berbeda dari wajah Ibu, tapi tetap mengangguk. Aku tersenyum tipis. Memperhatikan Ibu yang melangkah meninggalkan kamarku. 
Baca selengkapnya
Sidang Pertama
BAB 80 Aku terdiam mendengarnya. Benarkah itu semua? Ah, ingin rasanya aku tidak mempercayai semua itu, tapi kenyataaannya seperti itu.  "Jadi, kamu mau menambah Ibu kandungmu sendiri sebagai pelaku?"  "Tidak bisa dibilang juga, pasti akan ditambah," sahut Kafka.  Kami membahas ini sampai hampir dua jam. Aku senang dengan karakfer Fajar yang tampak biasa saja, tidak terlalu aneh menyikapi hal ini.  "Belum mau pulang? Ini udah malam." Bu Sari sampai menggedor kamarku. Menyuruh Fajar pulang.  "Oke." Fajar melirik jam tangannya, kemudian menganggukkan kepala. "Pulang dulu. Udah malam ternyata. Gak nyangka aja. Apalagi Kafka hadir teman ngobrol yang enak banget." Kalau tidak ada Bang Tirta, Kafka memang berubah menjadi manusia yang lumayan pintar. Aku menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan
Baca selengkapnya
Kecelakaan?
BAB 81 "Aku langsung, ya." Aku melongo mendengarnya. Sudah dikejutkan dengan semua itu, Fajar kembali mengejutkanku sekarang? Ah, lucu sekali pria ini. Aku menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan jalan pikirannya. "Cuma kayak gitu aja? Gak ada urusan lain gitu?"  "Enggak. Langsung aja, deh, ya. Terlambat nih. Aku tunggu kamu. Semangat." Pria itu. Dia makan apa, sih, sampai bisa berpikir begitu?  "Siapa, Nina? Kok gak diajak masuk?" "Eh?" Aku menoleh. Menatap Ibu yang ikut berdiri di sebelahku. Untung Fajar sudah pulang, kalau tidak pasti diajak sarapan dulu.  "Fajar." "Lah, kenapa gak kamu ajak masuk? Sekalian ajak sarapan juga. Kemana orangnya? Kok gak ada lagi?" "Langsung pergi. Ada urusan, cuma mau menyampaikan sesuatu." 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status