All Chapters of Petaka Mendua: Chapter 51 - Chapter 60
110 Chapters
Mengejar
Bab51 "Ibu ...." Suara Karin terdengar begitu pilu, seakan dunianya kini mendadak hancur dalam sekejab.  Hanum memeluknya, begitu juga dengan Emilia. Biar bagaimana pun juga, sekecil itu kini telah paham dengan keadaan yang terjadi. "Tenangkan dulu hatimu, Nak. Banyak-banyak mengucap istighfar."  "Mas Alif, Bu."  Karin terisak, degub jantungnya kian memacu cepat. Karin sulit menerima kenyataan ini, namun dia pun kebingungan harus berbuat apa? Untuk menengkan dirinya saat ini. "Salat," bisik Hanum, yang mengerti kegelisahan anaknya. "Dengan begitu, kamu bisa memberikan terang di alam baru suami kamu. Berikan dia doa, doa dari istri sholeha, insya Allah segera sampai." Karin masih terisak. "Alif akan bersedih, jika melihat kondisimu begini," bisik Hanum lagi.  "Ayo kita pulang! Hari ini, Bapakmu juga akan datang dari perantauan." Dengan kekuatan yang nyaris habis, Karin berusaha menurut
Read more
Memilih Diam
Bab52 Bulan berganti bulan, namun Aisya tidak juga mendapat kabar tentang Karin dan keluarganya. Hatinya gelisah, bahkan Ibunya, belum sempat bertemu dengan anak yang Aisya lahirkan. Bayi laki-laki yang sangat mungil itu, kini berada dalam gendongan Ustadzah, yang sangat gembira dengan kehadirannya. Aisya memandanginya dengan perasaan yang rumit. Disatu sisi, dia senang Ustadzah mencintai anaknya. Namun, dia akan lebih senang lagi, jika Ibunya juga bisa memeluk bayi mungil itu. "Bun, Aisya kangen Ibu," ungkapnya dengan pelan.  Ustadzah memandangi Aisya dengan lekat, senyum di wajahnya kini menghilang seketika. "Temuilah Ibumu. Tapi, jangan bawa cucuku." "Bunda ...." Aisya sedikit kecewa, namun dia berusaha menahan diri. "Pergilah," seru Ustadzah dengan tatapan dingin. "Aku akan membawa anakku," sahut Aisya. "Sudah 6 bulan lamanya, aku tidak tahu kabar keluargaku. Bahkan, Ibuku belum pernah bertemu d
Read more
Sinis
Bab53  - pov Karin- Jiwa ini seakan mengering di dalam raga. Rasa sakit yang kian membuncah di dalam dada, seakan menyiksaku tanpa ampun. Suami terbaikku, imam dalam hidupku. Bagaimana mungkin Ya Allah, kini kami di pisahkan oleh kematian yang menyakitkan.  "Karin," lirih suara Ibu, aku pun menoleh ke belakang. Mata tuanya begitu kuyu memandangiku dengan tatapan teramat sedih. Aku pun bingung harus bagaimana bersikap. Berpura-pura kuat? Aku rasa tidak kuasa melakukan semua itu. Hal ini berbeda, jika kehilangan karena di khianati, aku tidak akan seperti ini. Namun kehilangan karena kematian, dan itupun di jembatani oleh tingkahku yang saat itu memaksanya.  Seperti pukulan godam besar. Aku terus beristighfar untuk menenangkan diri. Rasanya aku nyaris gila menghadapi semua ini, aku tidak kuat. Bukan hanya kehilangan yang membuatku hancur. Tapi juga penyesalan akan kesalahanku. Hal itu, juga begitu kuat menyiksak
Read more
Rencana pindah
Bab54Ini ujiam dalam hidup, kuat tidak kuat, aku harus mampu melewatinya. "Wanita pembawa sial," maki Bu Daung. Aku tidak menyangka, membawa anakku ke tempat ini malah mendapat perlakuan seburuk ini.Bahkan dengan teganya, dia menghina dan memakiku, tanpa kutahu salah diri ini dimana.Aku keluar tanpa suara, semua mata menatapku dengan sinis. Apa yang salah? Mengapa aku seolah mendapatkan sangsi sosial di lingkunganku.Angin bertiup kencang, menyapu pergi air mataku dan Emilia. Anak malang itu masih terisak di gendonganku. Sedangkan aku, menangis tanpa suara.Ya Allah, aku tahu engkau menyayangi kami, kuatkan aku melewati cobaan ini.Ibu Hanum yang barusan pulang dari ladang, begitu terkejut mendengar suara tangis anakku. Kami berjalan ke arah pintu, Ibu tergesa-gesa dari dapur, menghampiri kami ke depan rumah."Ada apa?" tanya Ibu dengan wajah khawatir. Aku menggeleng, rasanya diri ini kesulita
Read more
Panik
Bab55Bapak hanya terdiam, dia memandangi koran di tangannya, sambil menyesap kopi buatan Ibu.Emilia masih sibuk dengan mainannya, jika biasanya dia akan bermain dengan Mas Alif dengan ceria. Kini dia hanya bermain seorang diri. Kadang dia jenuh dan terdiam, bahkan kuajak main bersama pun dia tolak.Gadis kecil itu kini sering menangis seorang diri.Saat kami sekeluarga menunggu taksi. Mak Rokayah tetangga belakang rumah, pun menghampiri kami."Mau kemana?" "Ke kota, Bu!" jawab Bapak."Yah, lama nggak? Bakal kesepian aku nanti.""Belum tahu, kalau cocok mencari rezeki di sana, mungkin akan lama."Mak Rokayah nampak lesu, dan berjalan ke arah kami."Semoga kalian sukses dan selalu sehat di perantauan. Aku, pasti akan selalu rindu," ungkapnya, sembari memeluk Ibu.Kami terharu, mereka berdua memang begitu dekat. Selama bertahun-tahun, dua sahabat ini begitu akur dan tidak pernah berselisih
Read more
Menyampaikan kenyataan
Bab56"Tentu saja, adil itu hal yang mudah."Lelaki tua itu terdengar begitu yakin dengan ucapannya."Bagaimana masalah hati?" "Saya akan mencintai anak Bapak dengan baik. Dan memberikan apapun untuknya.""Saya tidak ingin, anak saya menjadi sebuah luka di kehidupan wanita lain."Aku lega, ketika mendengar suara Ibu."Tapi istri saya sudah setuju." Lelaki itu mencoba memberi pehaman pada Ibuku."Tetap saja, sebagai wanita, saya tidak ingin anak saya berbahagia di atas penderitaan wanita lainnya."Terdengar suara napas berat Ibu."Hidup kami sudah rumit, tolong jangan Anda tambahkan lagi." Lelaki tua itu terdiam."Masih banyak wanita lain, jangan anak saya!" pinta Ibu dengan tegas."Saya rasa, niat baik saya tidak bersambut," ucap lelaki itu, dengan nada kecewa. "Sebaiknya, setelah selesai kontrakan ini, kalian pindah! Dan, cari tempat lain.""Tentu saja," jawab Ibu dengan ce
Read more
Merasa Sial
Bab57Hari ini, aku ke pasar subuh bersama Ibu untuk berbelanja kebutuhan jualan, sekaligus keperluan dapur yang sudah pada habis.Ibu begitu kekeuh ingin ikut, meskipun aku sudah berulang kali menolaknya untuk ikut.Sebab kondisinya yang tidak sepenuhnya sehat. Di pasar subuh, Ibu nampak bersemangat membeli bahan sayuran."Sudah yuk, keburu kesiangan kita jualan," ucap Ibu, sambil meraih belanjaannya yang sudah penuh satu kantong plastik.Aku pun manut saja dengan apapun yang Ibu katakan."Aisya gimana kabarnya ya, Rin? Apakah ponselnya sudah bisa di hubungi?" tanya Ibu, sembari kami berjalan menuju tukang ojek.Aku menggeleng. "Masih tidak aktif, Bu!" jawabku lemah.Ya, setiap hari kami mencoba menghubungi Aisya. Namun, selalu saja nomor ponselnya tidak aktif. Padahal, kami sekeluarga sangat rindu kepadanya, apalagi kini kami berjauhan. Dan nyaris sudah setahun kami di kota, namun Aisya seakan hilang ditelan bumi
Read more
Bos Galak
Bab58Terik panas mentari, tidak juga mampu mengusirku dari gundukkan tanah berhias bunga tabur di depanku ini.Bahkan Bapak yang sedari tadi memintaku untuk pulang, tidak juga kuturuti.Dari ini begitu terluka, Ibu begitu mencintai dan menyayangiku, juga Emilia. Tapi kini, aku telah kehilangan sosok itu, bahkan aku belum sempat membahagiakannya.Semenjak kepergian Ibu, rumah pun menjadi sangat sepi. Bahkan Bapak pun seakan tidak punya gairah hidup lagi.Aku pun membuat lamaran pekerjaan, di kantor tempat Hanung bekerja. Dia pun bersedia membantuku, untuk mendapat pekerjaan."Maaf, cuma itu yang ada lowongannya," ucap Hanung, dengan mimik wajah tidak enak."Tidak apa-apa, yang penting aku bisa kerja," jawabku dengan penuh keyakinan. Aku tidak ingin melanjutkan usaha gado-gado lagi. Bahkan aku tidak kuasa memakan-makanan itu lagi. Bayangan sosok Ibu, selalu meliputi ingatanku.Hingga rasa bersalah, kembali memporak-
Read more
Apa Maunya?
Bab59"Rin, kamu kenal dengan Pak Hanung?" tanya Ratna kepadaku, ketika Bos galak itu telah keluar dari ruangan kami.Aku meraih kain pel, juga pewangi lantai. Sedangkan Ratna, dia duduk di bangku sofa."Ibuku yang kenal, aku biasa aja," sahutku.Kemudian Anton pun datang, salah satu team kebersihan juga."Aku sarapan dulu, ya! Capek banget habis bersihin kaca," ungkapnya dengan wajah lelah.Sedangkan Ratna, tadi bertugas membersihkan gudang. Jadi tidak heran, jika sekarang mereka beristirahat.Aku lapar juga sebenarnya. Gara-gara mengantar susu tadi, dan menaiki tangga darurat, waktuku banyak habis disana."Kamu harus bawa parfume ke kantor. Karena Bos tidak suka, jika kita bau badan pagi-pagi."Aku mengangguk."Tapi itu tadi, sepertinya pertama kali Bos masuk ke ruangan ini," ungkap Ratna, sambil mengingat-ingat.Aku tidak perduli sebenarnya, yang aku ingin tahu, bagaimana caranya memasuki lift dan menggu
Read more
Hutang
Bab60Aku menarik tangan yang di pegang oleh Adi. "Maaf, aku tidak bisa!" "Kenapa? Emak kangen sama kamu," ucap Adi dengan berusaha memegang bahuku. Namun dengan sigap, aku melangkah mundur. "Tolong jaga sikapmu! Aku dan kamu tidak memiliki kedekatan semacam ini. Jadi, jangan menyentuhku sesukamu!" tegasku.Teman-teman hanya diam, sambil sesekali memperhatikan kami yang berdebat pelan di depan pintu karyawan."Maaf, aku salah. Tapi kamu mau ya, memenuhi undangan Emak."Aku menarik napas dengan berat, melihat Adi, aku melihat luka di masa itu. Bagaimana tidak, Ayahnya yang begitu brutal, tega menabrak ibuku hingga meregang nyawa di tempat."Maaf tidak bisa," sahutku dingin."Kenapa lagi, kamu tega membuat Emak sedih? Katanya kalian dekat dan sudah seperti keluarga."Aku menatap tajam wajah Adi."Apakah kamu lupa, Ayahmu begitu kejam membunuh Ibuku. Dan sikapmu ini, seolah tidak terjadi apa-apa
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status