All Chapters of Rahasia Majikanku: Chapter 11 - Chapter 20
30 Chapters
Bab 11
Sebagai teman yang telah berjasa mempertemukanku dengan Nyonya Vivian, aku tak mau memaksa Laila untuk bercerita. Ia pun tampak sangat terpukul saat mendengar ucapanku. Kuurungkan niat untuk menceritakan kejadian tadi siang pada Laila. Ini rahasia besar antara aku dan Nyonya Vivian. Ia tak perlu tahu. Meski ia pula yang membuatku terbawa-bawa dalam kasus besar ini. Tentu ia tak menyangka ini semua akan terjadi."Maafkan aku, Laila. Semoga saat tujuanmu tercapai, kau mau menceritakannya padaku.""Sedikit lagi, Nur. Sedikit lagi tujuanku akan tercapai.""Baiklah. Mana suamimu?""Dia ...."Air mata Laila jatuh lagi membentuk aliran sungai kecil dari pipi hingga sudut bibirnya yang merah alami tanpa sentuhan pewarna bibir itu. Ia mengulum bibir saat cairan bening itu nyaris melewati cela antara bibir atas dan bawah. Tangan kananku lantas terangkat dan menyeka pipinya."Ada apa
Read more
Bab 12
Mengapa Nyonya Vivian harus mengatakan bahwa suaminya sudah berangkat? Harusnya ia bisa memberi alasan yang lain. Ia bukan orang yang bodoh. Apa ia sengaja membuatku dihubungi oleh Laila? Ah, apa hubungannya. Tak mungkin begitu. Untung aku hanya menjawab tidak tahu. Semoga Laila percaya. Laila menutup telepon dengan sedikit mendengus. Ia pasti kesal sekali. Menunggu adalah hal yang membosankan. Kupikir Nyonya Vivian pergi ke toko perhiasannya. Ternyata ia tak ke sana. Setiap hari ada saja acaranya di luar sana. Andai aku jadi dia, apa mungkin aku akan seperti itu juga? Entahlah. "Permisi, Nyonya."Kehadiran Baron yang tiba-tiba di hadapanku membuatku mengerjap menarik napas dan mengatur detak jantung yang tak beraturan. Bukan karena ada rasa yang berbeda, tetapi karena kehadurannya yang tiba-tiba bak setan di siang bolong. "Kau membuatku kaget saja," ucapku seraya menghembus-hembuskan napas yang terasa sesak. "Maaf, Nyonya."
Read more
Bab 13
Laila berjalan mendekat dengan perlahan ke arahku hingga jarak kami rapat. Ia menatap tajam ke dalam mataku. Tatapan yang aneh sekaligus menakutkan. Aku takut ketahuan. "Tidak, Laila. Tuan Felix tak ada.""Mengapa mobilnya ada?" "Aku ... aku tak tahu. Tadi Nyonya Vivian berkata bahwa aku hanya sendiri di rumah dan akan ada tukang kebun yang datang.""Tukang kebun?""Iya, namanya Baron. Apa kau mengenalnya?""Tidak."Aku mundur beberapa langkah agar napas ini tak tercium oleh Laila. Napas yang penuh kebohongan ini aromanya pasti sangat busuk. Akan mudah tercium bila posisi kami sangat rapat. "Biasanya Baron bekerja satu kali dalam satu minggu. Hari ini Nyonya Vivian memintanya menemaniku agar aku tak takut bekerja sendirian.""Takut? Sejak kapan kau penakut?"Ya, Tuhan. Sepertinya aku telah salah bicara. Lidah ini tak biasa mengarang cerita. Aku yakin, suatu saat Laila akan mengetahuinya juga. Ia
Read more
Bab 14
"Masuklah, Laila. Kita bicara di dalam.""Tak usah, Nur. Sudah larut."Laila menolak masuk karena hari sudah larut malam. Padahal aku ingin bicara dari hati ke hati dengannya. Ia pamit pulang dengan raut wajah kecewa. Setelah pintu kukunci, aku pun balik badan hendak berjalan menuju kamar. Tanpa sadar, Ibu sudah berdiri di hadapanku. Kurasa ia mendengar pembicaraan kami tadi. "Ada apa dengan Tuan Felix, Nur?""Entahlah, Bu. Aku lelah."Aku berlalu meninggalkan Ibu yang masih berdiri. Kulihat Ferdy dan Teddy sudah tertidur pulas. Semoga mereka selalu dilindungi dari segala marabahaya dan orang-orang yang berniat jahat. ***Napasku terengah-engah. Jantungku berdegup kencang. Kaki tak kuat lagi untuk berlari. Namun lelaki yang di belakangku terus mengejar tanpa henti. Sesekali aku menoleh ke belakang. Dalam remang cahaya rembulan dapat kulihat pisau yang ia ayunkan. Entah siapa itu. Aku
Read more
Bab 15
"Kunci ini? Kunci ini untuk ... untuk pergi ke gudang. Tadi Baron menyuruhku menaruh arit."Nyonya Vivian menatapku curiga. Ia tak menanggapi. Setelah mengambil rangkaian kunci itu, ia pun menyuruhku pulang. Syukurlah. "Bila ada yang menanyakan tentang Felix, kau jawab saja tidak tahu. Kau tahu itu, Nur?""Baik, Nyonya. Aku juga mau membahas itu.""Pulanglah.""Iya, Nyonya."Rencana untuk menghapus jejak di gagang cangkul, gagal sudah. Mungkin bisa kucoba esok hari. Bagaimana kabar Felicia sekarang? Apa ia menemukan alamatku? Anak itu membuatku penasaran saja. ***Dari halaman, kulihat Ibu mondar-mandir seperti orang gelisah di teras. Langkahnya terhenti saat melihatku. Apa Ibu sudah bertemu Felicia? "Nur, untung kau cepat pulang. Anak itu ....""Ada apa, Bu? Anak yang mana?""Anak perempuan berseragam sekolah, kulit putih, rambut lurus itu anak majikanmu, bukan?""Felicia?"
Read more
Bab 16
"Nur, Felicia tadi menjerit setiap kali buang air kecil. Katanya sakit sekali."Tulangku ikut ngilu mendengarnya. Pasti organ anak itu telah robek. Jadi terasa sakit tiap kali terkena air seni yang hangat. Aku juga merasakan itu saat malam pertama dulu. Anak itu masih sangat kecil. Pasti sakitnya luar biasa. Untung ia masih terlihat baik-baik saja. "Dari mana Ibu tahu kalau dia buang air kecil?""Dia yang bilang padaku.""Apa dia keluar rumah hari ini, Bu?""Dia tak mau keluar kamar. Kecuali untuk ke kamar mandi.""Syukurlah. Aku takut anak itu pergi lagi dan menjadi korban pelecehan di luar sana."Sebenarnya aku khawatir bila anak itu terus di sini. Tetangga pasti heran melihatnya. Wajahnya berbeda dengan kami. Badan kami pendek-pendek dan pesek, sedangkan ia mancung dan ruas tulangnya panjang. Dasar anak orang kaya. Andai gizi anakku tercukupi, pasti Ferdy dan Teddy bisa tinggi juga. "Nona, Ibu saya bilang, kau me
Read more
Bab 17
Kami membawa Felicia ke rumah sakit menggunakan sepeda motor Laila. Anak itu masih bisa duduk meski terus mengerang dan menangis. Ia duduk di tengah, kepalanya ia sandarkan di punggung Laila. Hatiku bagai diiris-iris saat melihatnya. "Anak ini pendarahan. Apa yang terjadi padanya?" tanya dokter yang memeriksa Felicia. "Dia korban pemerkosaan, dok.""Apa pelakunya sudah dilaporkan ke polisi?""Pelakunya sudah meninggal.""Ya, Tuhan. Kasihan sekali anak ini."Felicia butuh perawatan intensif. Menurut keterangan dokter, rahim Felicia mengalami luka serius dan itu harus dioperasi. Ia tak bisa dibawa pulang. Bagiku itu tak masalah. Yang jadi masalah adalah biayanya. Ke mana akan kucari? Aku keluar dari ruangan Felicia untuk menyusul Laila. Ia masih duduk di ruang tunggu. Ia hanya diam saat aku duduk di sampingnya. "Terima kasih, Laila. Untung ada kau.""Kau pembohong, Nur.""Apa maksudmu?"
Read more
Bab 18
Nyonya Vivian telah pergi ke rumah sakit bersama Joe dan asistennya. Aku tak perlu merasa khawatir karena telah meminta Joe untuk menyewa seseorang. Orang itu bertugas untuk menjaga Felicia selama di rumah sakit. Jadi aku bisa leluasa bekerja. Ia pun menyetujuinya. Nyonya Vivian sempat tak terima karena ia merasa aku terlalu ikut campur. Sayangnya Joe berpihak padaku. Jadi Nyonya Vivian tak bisa bersikeras. Mengingat betapa jahatnya Nyonya Vivian, aku jadi menghubungkannya pada kematian Tuan Arman. Apakah benar itu murni dilakukan oleh tukang cuci atau ada campur tangan Nyonya Vivian dan juga Tuan Felix. Meskipun statusku hanya sebatas tukang cuci, bukan berarti aku harus diam atas tindak kriminal yang tampak di depan mata. Semua orang berhak mendapat keadilan. Termasuk tukang cuci itu. Aku akan meminta Baron untuk memberi tahu di mana orang itu ditahan. "Apa Nyonya Vivian sudah pergi?" tanya Baron saat aku merendam cucian. "Ya, me
Read more
Bab 19
"Maksudku ... dengan siapa anda kemari?"Perempuan itu sepertinya mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tak semudah itu. Aku akan berusaha untuk mendapatkan jawaban. "Jangan terlalu formal begitu, Nyonya. Perkenalkan, namaku Nur. Aku ke sini bersama Baron. Kau kenal Baron? Sayangnya dia tak mau masuk." Aku mengulurkan tangan dan kami pun bersalaman."Aku Lena. Bagaimana mungkin aku tak mengenalnya. Dia itu putraku. Dia membenciku karena mengira akulah pelaku pembunuhan itu. Aku ini dijebak. Aku tak mau basa-basi lagi. Untuk apa kau ke sini?"Nama orang ini Lena. Ia ibu kandung Baron. Baron membenci ibunya sendiri karena mengira ia adalah pembunuh setelah bertahun-tahun. Mengira? Berarti bukan dia pelaku yang sebenarnya. "Pembunuhan siapa, Nyonya?" tanyaku pura-pura tak tahu. Ia mengepalkan tangan. Wajahnya memerah seperti letusan gunung berapi. "Aku bukan pembunuh. Aku dijebak oleh mereka.""Pembunuhan siapa? Mereka
Read more
Bab 20
Kata-kata yang keluar dari mulut Baron berhasil membuatku melayang. Sejenak bisa kulupakan tentang ketakutan. Aku berhak merasakan kebahagiaan. Semoga tak sekedar harapan. Rasa ini harus mendapat sambutan. Aku tak mau bertepuk sebelah tangan. Diri ini memang lemah, mudah jatuh cinta tak peduli orang itu siapa. Kupikir Baron akan satu angkot denganku. Ia hanya mengantar. Arah rumah kami berbeda. Ia akan menaiki angkot ke arah Barat. Rasa canggung pun kurasakan. Sedikit kesepian. "Naiklah, hari sudah sore," ujar Baron saat sebuah angkot berhenti di hadapan kami. "Terima kasih traktirannya, Baron.""Jangan sungkan, Nur."Berat rasanya meninggalkan Baron sendirian menunggu angkot menuju tempat tinggalnya. Ia memandangi angkot yang kunaiki hingga mencapai pengkolan. Ia tak lagi nampak. Namun rasa itu masih pekat. Rasa senang atas pujian. Rasa nyaman saat berduaan. Ya, Tuhan. Aku telah dimabuk asmara. ***"Nur, apa k
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status