All Chapters of Suamiku Pangeran Muda: Chapter 91 - Chapter 100
109 Chapters
91. Rindu Berat
Aku terperanjat ternyata ibu sudah berdiri dan mendengarkan semua monologku di depan pusara ayah."Jadi kecurigaanku selama ini benar bahwa kamu adalah Fahim," gumam ibu."Maafkan saya ibu, saya tidak tahu bagaimana cara saya meyakinkan ibu kalau saya adalah Fahim. Bahkan aku datang dengan keadaan hamil besar tanpa suami. Saya takut hanya akan membuat ibu malu," ujarku menjelaskan.Ibu menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kami saling menangis mencurahkan rindu dan sayang."Aku sudah curiga, tapi apa daya wajah itu bukan wajah Fahim. Meskipun kebiasaannya dan sifat serta perilaku sama persis Fahim," gumam ibu."Maafkan Fahim, Ibu!" bisikku lirih."Ibu mengerti ketakutanmu, Sayang," jawab ibu. "Selama didekatmu, ibu sempat berhayal dan membayangkan kalau kamu adalah Fahim putri ibu," lanjut ibu menggumam.Akhirnya aku bersama ibu bersimpuh berlama-lama di depan pusara ayah. Seolah sekalian memamerkan Erkan di depan ayah."Fah
Read more
92. Berlibur di Indonesia
Sebuah taksi berhenti di depan rumahku. Saat itu aku dan Erkan sedang bermain-main di halaman depan rumah. Aku terkejut hati penasaran, siapakah gerangan? Tidak mungkin Hermin karena Hermin baru saja pulang ke Ponorogo naik motor. Sambil menggendong Erkan aku berjalan mendekati taksi. Pintunya terbuka dan keluarlah Iqbal. Seperti mimpi di siang bolong rasanya. Aku mengucek mataku berkali-kali seolah meyakinkan apa yang sedang kulihat. "Umiiii ...!" teriak Iqbal. Antara percaya dan tidak aku terus berjalan menghampiri Iqbal. Di sisi pintu yang lain terbuka dan keluarlah Faruq. Aku mencubit pipiku sendiri, saat aku merasakan sakit baru aku meyakini bahwa semua ini bukanlah mimpi. Iqbal berlari menghampiriku dan memeluk tubuhku dengan erat. Kami berdua bersamaan menangis, tidak menyangka semua ini terjadi, semua seperti mimpi. Kuciumi wajah tampan yang imut dan mungil itu dengan air mata haru.  "Berikan adikku padaku, Umi!" pinta Iqbal.
Read more
93. Jangan Ambil Anakku!
Mumpung di Jakarta aku ingin naik MTR juga kereta bawah tanah. Benar-benar perubahan yang dratis untuk Jakarta. "Aku pernah ke Jakarta sepuluh tahun yang lalu, keadaannya belum seperti ini," gumam Faruq. "Hah, apa? Jadi tuan muda pernah ke Jakarta? Kalau sepuluh tahun yang lalu itu artinya aku sudah bekerja di rumah tuan muda dong?" tanyaku penasaran. "Iya, sudah," jawabnya tegas. "Kenapa tuan muda tidak pernah bilang?" tanyaku kecewa. "Emang kenapa, kalau aku bilang kamu mau ikut begitu?" sahut Faruq ketus. "Ya nggak juga. Mana mungkin boleh ikut, pasti kamu takut aku kabur kan?" sahutku. "Itu tahu, entah kenapa Fahim, cinta gila yang kumiliki membuat aku selalu takut kehilangan kamu," gumamnya. "Itu posesif, bukan lagi cinta tapi obsesi kamu saja. Kamu lelaki terkejam yang kutemui di bumi ini," gumamku sambil mengenang. "Sudah jangan kamu ingat-ingat, entar sakit hati lagi," sahut Faruq. "Lalu kamu mengusir ak
Read more
94. Ungkapan Hati Muzammil
"Bagaimana bisa mereka asal mengambil. Tanpa ada komunikasi apa-apa sebelumnya," ujar Faruq kecewa. "Sebenarnya pangeran juga tidak menginginkan ini, tapi keputusan istana dikarenakan pangeran belum punya putra lagi selain Erkan," ujar Hema. "Kenapa kamu tidak lekas mengandung sih, kamu yang orang asli Tukasha," ketus Faruq. "Kamu bilang apa, Faruq? Siapa sih yang tidak ingin punya anak? Aku juga sudah berusaha, Faruq," jawab Hema sedih. "Yang pangeran takutkan yang datang mengambil Erkan bukan utusan istana. Melainkan para musuh kerajaan karena bagaimanapun dia adalah calon penerus tahta. Orang Indonesia tidak tahu mana orang istana yang mana musuh," kata Hema. "Siapapun yang datang dengan tujuan merebut Erkan dari Zhee itu menyakitkan buat Zhee dan pasti akan mendapat perlawanan," ujar Faruq sedih. Faruq melihat aku shock sontak tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya sekarang Faruq sedang berada di Indonesia bersama Fahim. "Si
Read more
95. Pengorbanan Faruq
Aku hanya menatap wajah suamiku yang lama sekali kurindukan. Air mata terus meleleh, bukan saja aku Muzammil pun demikian juga. Cinta dan rindu kami berdua begitu menyakitkan dan mengenaskan. "Aku mencintaimu. Zhee! Aku lebih suka hidup di Inagara sebagai Muzammil," ujar Muzammil sambil menangis. "Aku lebih menginginkan kamu datang kepadaku sebagai Muzammil bukan Pangeran Tukasha. Aku hanya menginginkan cinta yang tulus dan sederhana dari seorang Muzammil" jawabku. Begitu ingin rasanya berada dalam dekapannya. Kehangatan napasnya, aroma tubuhnya masih lekat di hatiku. "Aku percaya cintamu padaku tidak akan ternoda meskipun Faruq berada di sampingmu," ucap Muzammil berharap. "Jangan khawatir, Pangeran! Cintaku padamu tidak akan habis dan tergantikan," hiburku. "Zhee, aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangi Erkan. Kapan kita bisa berkumpul seperti dulu lagi," runtuk Muzammil sedih. "Aku ingin kau datang ke rumahku sebagai Muzammil bukan Pangeran Tukasha," kataku lagi mengin
Read more
96. Erkan Diculik
Pagi sekali Faruq dan Iqbal olah raga bermain bola di halaman depan rumah. Aku dan ibu memasak menyiapkan sarapan. Aku melihat mereka bedua mandi keringat. Setiap orang yang lewat depan rumahku selalu terpana dengan ketampanan bapak dan anak itu. "Ayo sudah istirahat dulu, setelah itu mandi kemudian sarapan!" usulku. "Adik sudah bangun, Umi?" tanya Iqbal, "Sudah, Sayang," jawabku. "Dia baru saja mandi. Makanya Kak Iqbal juga cepetan mandi terus main sama adik," lanjutku. "Fahim, hari ini kita jadi ke Imigrasi bukan" tanya Faruq. Aku kelabakan harus menjawab apa, padahal aku memutuskan untuk tidak ikut ke Inagara. Tapi aku takut melukai hati Faruq. "Fahim!" panggil Faruq karena melihat aku melamun. "Iya," jawabku reflek. "Apa hari ini kita jadi ke Imigrasi membuatkan paspor untuk Erkan?" tanya Faruq mengulangi. "Kita bicarakan nanti, kita sarapan dulu, Tuan muda," jawabku menghindar. "Apa itu artinya kamu mulai berubah pikiran, Fahim?" tanya Faruq kecewa. "Tuan muda, aku har
Read more
97. Kembali ke Inagara
Dret ... dret ... dret! Ponsel Faruq terus bergetar, ternyata Marwa yang menelepon. "Angkatlah, Tuan muda!" saranku. "Tidak, Fahim, biarkan saja!" tolak Faruq. Mobil mulai menyusuri jalanan, hatiku semakin hancur membayangkan Erkan waktunya minum asi. Membayangkan dia rewel saat mengantuk, membayangkan dia kelaparan. Tangis meronta pun tidak terkendalikan lagi. "Bagaimana kalau mereka membunuh anakku, Tuan muda?" tanyaku lirih di sela tangisku. "Kamu jangan menyiksa dirimu sendiri dengan pikiran yang tidak-tidak, Fahim!" ketus Faruq. "Aku seorang ibu, terpisah dengan bayiku, tidak setiap orang bisa memahaminya, Tuan muda," runtukku. "Mungkin kamu benar, tapi paksalah berpikir positif agar kamu punya kekuatan untuk terus mencarinya, Fahim!" usul Faruq. Dret ... dret ... dret ...! Ponsel Faruq bergetar, Iqbal yang menelepon. "Iya Iqbal, ada apa?" jawab Faruq yang on lewat speaker mobil sehingga aku pun dapat mendengarkannya. "Abi, Umi Marwa meminta kita sekarang juga pulang.
Read more
98. Tragedi di Bandara
Aku mengamatinya dan terdorong untuk semakin mendekatinya. Tak sadar kakiku melangkah mendekatinya. "Fahim, ada apa?" tanya Faruq heran. "Umi?" panggil Iqbal. Faruq dan Iqbal mengejar dan meraih tanganku. Aku terhenti tapi pandanganku tak berkedip. "Apa kamu mencurigainya?" bisik Faruq. "Itu sepatu Erkan," kataku sambil menunjuk anak kecil yang sedang digendong seorang wanita muda. Aku melihat anak kecil yang digendong dengan dibungkus rapat dengan selimut. Sejenak sempat minder karena disampingnya ada empat orang bodyguard dengan badannya yang tegap dan tinggi besar. "Dia Erkan, Tuan muda!" teriakku. "Berhenti!" teriakku kemudian dengan lantang. Semua orang menoleh ke arahku dan sontak menghentikan langkah mereka. Tanpa ragu lagi aku berlari menghampirinya sambil berteriak memanggil nama anakku. "Erkaaaaaaan!" panggilku. Spontan empat orang bodyguard pasang badan melindunginya. Mereka berdiri berjajar melindungi wanita yang menggendong anak kecil itu. "Ada apa?" tanya sa
Read more
99. Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Aku menyaksikan bapak dan anak itu tergolek tak berdaya demi Erkan anakku. Hatiku teramat hancur, rasa sakit ini tidak terlihat oleh mata tapi rasanya tidak terlukiskan. Sesampai di rumah sakit Iqbal langsung masuk ruang operasi. Muzammil yang panik dengan menggendong Erkan masuk ke ruang tindakan anak. Apakah terjadi sesuatu juga dengan Erkan? Bergegas aku berlari menghampirinya. Muzammil mondar-mandir di depan pintu ruangan, aku bisa melihat kepanikan di wajahnya. "Apa yang terjadi, Pangeran?" tanyaku penasaran. "Erkan tiba-tiba sulit bernapas, Sayang," jawab Muzammil sambil meraih tubuhku ke dalam pelukannya. "Bagaimana bisa?" pekikku tak percaya. Aku berusaha menarik tubuhku dari pelukan Muzammil. Tapi dia semakin kuat menahanku seolah takut aku bergejolak. "Tenangkan hatimu, Zhee!" bisik Muzammil di telingaku. "Kenapa mereka menghukum orang-orang yang tidak bersalah? Bukankah harusnya aku yang mereka sakiti?" gerutuku disela Isak tangisku. "Aku berjanji siapapun yang memb
Read more
100. Penyusup
Tak berselang lama seperti ada kekuatan baru yang mengalir ke tubuhku. Saat terbangun aku melihat Muzammil tertidur di ranjang pasien bersamaku. Tangan kekarnya melingkar di tubuhku. Tak jauh dari tempat tidurku, terbaring Erkan di box bayi. Oh syukurlah, Erkan baik-baik saja. Bagaimana dengan Iqbal dan abinya?Perlahan aku menggeser tangan Muzammil, tapi justru membangunkannya."Kamu sudah bangun, Zhee?" tanyanya dengan memicingkan matanya. "Kamu mau kemana?" tanya Muzammil kemudian."Aku mau melihat Iqbal dan tuan muda, Pangeran," jawabku."Mari kuantar!" tawar Muzammil."Kamu tunggu Erkan saja, Pangeran, aku takut ada yang berniat jahat lagi kepadanya," pintaku."Kamu lupa bukan saja kamarnya, bahkan rumah sakit ini sudah dijaga ketat oleh pengawal istana," jawab Muzammil menenangkan.Akhirnya Muzammil mendampingiku datang ke kamar Iqbal. Aku menatap pilu anakku yang malang menjadi korban kejahatan orang yang tak dikenal."Pangeran, aku harus mencarikan donor darah golongan B+ untu
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status