Semua Bab Apa Warna Hatimu?: Bab 131 - Bab 140
151 Bab
Chapter 131 : Elisabet vs Abram
    Perasaanku yang sedang buruk bertambah buruk karena melihat wajah Abram. Tepat sebelum aku mengusir lelaki tua itu, Elisabet muncul dan mengundangnya masuk ke rumah. Maka jadilah kami duduk berhadapan seperti hendak adu panco.    Huh, adu panco? Tidak ada perumpamaan yang lebih bagus? Sabung ayam misalnya?    "Aku tidak menyangka, kamu masih punya keberanian bertemu dengan Richard." Abram memecah keheningan.    "Anda ini siapa? Kenapa tanpa perkenalan yang benar Anda langsung memojokkan putri saya?" tanya Elisabet.    Aku salut pada Elisabet. Pada saat dibutuhkan dia pemberani seperti singa betina yang melindungi anaknya.    "Oh, maaf, aku terlalu bersemangat dalam menghadapi generasi muda. Aku Abram, ayah Richard." Abram tersenyum lebar. Matanya menilai Elisabet.    "Ayah Richard? Ada perlu apa sebenarnya sampai membawa orang banyak ke rumah saya?" Elisabet menatap dengan b
Baca selengkapnya
Chapter 132 : Hadapi Bersama
    "Ternyata ayahnya Richard cuma segitu." Elisabet memperhatikan sekelompok lelaki tersebut meninggalkan pekarangan rumahnya.    "Bukannya cuma segitu, tapi Mama yang terlalu hebat." Aku menyeringai.    "Nggak sia-sia kan jadi anak Mama?" Elisabet tersenyum.    "Iya, tapi jangan sering-sering interogasi aku kayak gitu ya? Bisa semaput," ujarku.    "Kamu mah nggak usah diinterogasi. Apa yang kamu pikirin Mama udah tau semua. Tinggal tunggu waktu aja kapan kamu cerita sendiri sama Mama."     Aku merasa kalah perang.    "Perlu kasih tau Richard nggak? Ayahnya datang dengan kekuatan besar loh?" kata Elisabet.    "Nggak perlu, Ma. Nanti dia khawatir berlebihan."    "Pantas lah kalau dia khawatir. Mama aja khawatir sama kamu yang labil."    Aku terbelalak, "Labil dari mana? Aku udah dewasa loh, seharusnya udah nggak ada kelabilan?
Baca selengkapnya
Chapter 133 : Hendri Menagih Janji
    Jika dinikmati waktu berjalan lebih cepat. Beberapa hari ini aku bekerja seperti kuda pacu. Desain demi desain kulalap. Saat mumet aku akan merenggangkan otot otakku dengan melukis. Sore atau malam hari melepas rindu berteleponan dengan Richard.    Aku senang mendengar cerita Richard bahwa dia dan Bryan mulai mendapat banyak dukungan dari dewan direksi, juga para pemegang saham. Namun, hingga saat ini mereka belum juga memperoleh dukungan mutlak.    Sabtu pagi suara bising knalpot motor racing mengganggu ketenangan ayam-ayam Mak Endah. Bukan cuma ayam-ayam yang terganggu, pemiliknya juga. Aku melongok dengan malas melalui jendela. Siapa gerangan orang yang nekat membuat keributan pagi ini.    "Hazel!" seru Hendri dari depan pintu pagar. Dia duduk dengan angkuh di atas motor racingnya, mengabaikan pelototan keki tetangga.    Aku meringkuk lagi di tempat tidur. Malas bangun, terutama karena semalam aku memel
Baca selengkapnya
Chapter 134 : Reuni Teman Se-klub
    Waktu yang dikatakan Hendri tiba. Jam tiga tepat lelaki itu kembali muncul di rumahku. Aku hanya berpakaian ringkas, tidak berdandan secara khusus. Hendri menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Entah apa yang dia pikirkan saat senyuman aneh muncul di wajahnya.    "Ayo, langsung pergi," ujar Hendri.    "Ayo deh." Aku memanjat naik ke boncengan.    "Pegangan dong," goda Hendri.    "Udah! Buruan jalan!" Aku berpegangan pada bagian motor, bukan pada Hendri.    Mesin motor meraung keras. Hendri sengaja ngebut supaya aku berpegangan padanya. Rupanya dia tidak mengenalku. Semakin dipaksa aku akan semakin melawan. Motor melaju ke sebuah mal yang sering kudatangi saat masih sekolah. Hendri memarkir motor dengan penuh gaya. Aku melompat turun.    "Mana yang lain?" tanyaku.    "Mereka nunggu di dalam," sahut Hendri.    Kami berjalan bersebelahan.
Baca selengkapnya
Chapter 135 : Tepat Waktu
    Giliranku bernyanyi. Aku berdiri dengan mic di tangan, berusaha konsentrasi pada layar di tengah hingar-bingar percakapan dan pertengkaran. Aku melompat kaget saat ada tangan memeluk pinggangku. Refleksku bekerja dengan baik. Si pelaku mundur selangkah.    "Ngapain lo??" Aku membentak Hendri.    "Menghayati lagu." Hendri menyeringai.    "Jangan macam-macam ya. Gue udah punya pacar." Aku menatapnya tajam. Teman-teman tidak ada yang memperhatikan. Semua sibuk dengan urusan sendiri.    "Janur kuning belum melengkung, kan?" Hendri mendekat lagi. Tangannya terangkat ke wajahku.    Aku menepis tangan Hendri.    "Kok gue suka sama cewek galak ya? Makin galak makin seru dibawa ke tempat tidur."    "Udah lah, malas gue ladenin lo." Aku meletakkan mic dan hendak pergi.    "Hei, mau ke mana? Pestanya baru mulai, Sayang." Hendri menangkap lenganku.&
Baca selengkapnya
Chapter 136 : Kekosongan Hati
    Aroma disinfektan menyerbu indera penciuman. Perlahan aku membuka mata. Aku berada di sebuah kamar yang didominasi warna putih. Tanganku terasa hangat. Aku menoleh dan melihat Richard yang sedang menggenggam tanganku. Ada kelegaan di wajahnya.    "Hazel," desah Richard.    "Hai... Richard...." Suaraku parau. "Untung kamu cepat sampai."    Richard menuangkan segelas air dan membantuku minum.    "Thanks."    "Gimana rasanya? Masih... Panas?"    "Nggak. Cuma lapar." Aku tersenyum.    "Oh, syukurlah. Aku cemas setengah mati waktu kamu pingsan semalam."    "Semalam?" Aku melongo.    "Iya. Ini udah jam tiga pagi."    Aku merasa ingin pingsan lagi.    "Kamu mau makan apa? Biar kupesankan," tanya Richard.    "Mama udah tau?"    "Ya, begitu kamu masuk ruang perawatan aku la
Baca selengkapnya
Chapter 137 : Terkejut!
    Hangatnya sinar matahari menyambut kami yang melangkah keluar dari rumah sakit. Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara segar jauh lebih baik daripada aroma disinfektan. Aku menoleh memandang Richard yang berdiri di sampingku.    "Mau langsung pulang?" tanya Richard.    "Iya. Mama pasti udah masak. Aku lapar."    "Oke. Kita pulang." Richard menggandeng tanganku.    Aku melepas gandengan Richard dan memeluk lengannya. Aku tahu dia terkejut dengan sikap manjaku. Biarin saja. Sekali-sekali aku ingin merasakan nyamannya bergantung pada seseorang.    "Emm... Hazel? Aku senang kamu manja, tapi harus begini ya?" Richard yang sedang menyetir berusaha mendapatkan lengannya kembali.    Betul. Aku tidak melepasnya sama sekali. Aku tertawa dan mempererat pelukan.    "Longgarin sedikit, ada belokan," pinta Richard.    "Kamu duduk manis dulu deh. Oke?"&n
Baca selengkapnya
Chapter 138 : Kemampuan Baru
    Elisabet menatapku serius. Aku dan Richard duduk di sofa, berhadapan dengan Elisabet seperti dua orang terdakwa. Keheningan mencekam ini berlangsung selama beberapa menit. Aku mulai bergerak-gerak gelisah. Richard melirikku.    'Tenang sedikit, Hazel...'    Sontak aku menoleh menatap Richard. Dia sedikit terkejut dan memalingkan wajah. Aku mengernyit lalu kembali fokus pada Elisabet.    "Mama nggak menyangka." Elisabet memecah keheningan.    Aku tersentak kaget. Richard ikut kaget karena gerakanku yang mendadak.    "Hazel... Kamu bikin aku kagetan juga," keluh Richard.    "Sorry...." Aku menjulurkan lidah.    Elisabet berdeham untuk mengembalikan fokus kami. Aku dan Richard langsung duduk patuh seperti dua anak murid yang sedang mnghadapi sidang.    "Hazel, kamu bilang baru hari ini bisa melihat pikiran Richard?" Elisabet memastikan.&nbs
Baca selengkapnya
Chapter 139 : Will You Marry Me?
    "Aku mau kerja sebentar, kamu duduk manis dong." Aku mengomeli Richard yang terus menjahiliku, menarik kursiku saat aku berusaha fokus di laptop.    "Nanti aja. Pacarmu kan lagi di sini."    "Ini kerjaan darimu loh! Company profile?" Aku melotot.    "Santai aja, aku nggak mengejar harus cepat selesai, kan?" Richard tersenyum dan menarik kursiku lagi.    "Hih! Ya udah lah. Tidur aja." Aku mematikan laptop dan berbaring di tempat tidur.    'Akhirnya nyerah juga,' batin Richard.    "Kamu nih, mau ngapain juga sih? Aku kan masih dalam masa pemulihan," gerutuku.    Richard geleng-geleng kepala, "Benar-benar nggak bisa dikendalikan ya?"    Aku meringis.    "Apa yang kupikirkan sekarang?" tanya Richard.    "Gampang. Kamu lagi mikirin kita berdua." Sedetik kemudian aku terbelalak sambil mendekap mulut. Adegan dalam piki
Baca selengkapnya
Chapter 140 : Mengunjungi Ayah
    "Hazel, putri kesayangan Papa. Papa akan selalu berada di sini, menjagamu sampai kamu besar dan kuat!"    "Iya, Papa! Janji ya!" Pekik diriku yang masih kecil.    Gambaran-gambaran masa kecilku menyeruak ke permukaan. Hatiku bergetar karena luka yang tercipta sebelas tahun lalu. Aku mencengkeram baju Richard kuat-kuat. Apakah ini saatnya aku memaafkan papa? Jika aku hendak melangkah maju aku harus melepas yang telah lalu.    Melihatku gemetar dalam pergumulan Richard tidak berkata apa-apa. Dia memelukku dengan stabil.     "Kamu tau cerita papaku?" tanyaku.    "Sepertinya mamamu pernah cerita."    "Ada yang harus kuselesaikan dengannya," lirihku.    "Ya, aku mengerti. Kapan kamu mau ke sana?"    "Sekarang?"    Setelah memberitahu Elisabet, kami berdua melaju menuju taman pemakaman umum di atas bukit. Perjalanan memakan wakt
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status