Semua Bab Apa Warna Hatimu?: Bab 141 - Bab 150
151 Bab
Chapter 141 : Richard dan Bryan
    Pagi hari di gedung milik Yilmaz Group, tepatnya di lantai dua puluh. Bryan dan Richard duduk berhadapan dalam satu ruangan. Wajah mereka tampak serius. Sebuah laptop terpampang di tengah meja, menampakkan layar video conference yang sepertinya baru saja berakhir.    Bryan menghela nafas dan bersandar ke belakang. Jari telunjuknya menekan pelipis. Masalah kali ini bukan hanya tidak terpecahkan, tapi malah menyerang balik.    "Begitu aja?" Bryan memecah keheningan.    "Pasti terjadi sesuatu di balik layar, kalau nggak mana mungkin orang-orang yang tadinya berada di pihak kita malah menyeberang ke pihak lawan?" Richard mengernyit.    "Abram." Bryan berkata dingin.    "Tapi kenapa? Bukannya kita udah menutupi semua jejak? Dia nggak mungkin bisa membedakan kita."    "Bro, coba pikirkan lagi, pertemuan terakhir lo dengan Hazel, apakah nggak terlalu mencolok?" tanya Bryan.&n
Baca selengkapnya
Chapter 142 : Richard dan Bryan (2)
    "Bryan, lo nggak sedang bermain api?" Richard menatap saudaranya tajam. Abram telah pergi seperti badai.    Bryan tertawa, "Gue udah keluarin kartu AS, lo juga nggak percaya?"    "Dari mana lo dapat?"    Bryan tersenyum penuh makna, "Gue kan fotografer, Brother. Gue punya jaringan sendiri di dunia atas maupun bawah tanah."    Richard menghela nafas dengan tidak berdaya, "Gue harap lo nggak melakukan sesuatu yang melanggar hukum."    "Apa? Lo masih bisa mikir kayak gitu? Lo nggak ingat apa yang dilakukan Abram terhadap... Terhadap ibu." Ekspresi Bryan mengeras.    "Ya, dia yang membuat kita seperti ini." Richard menyetujui.    Sejenak kedua bersaudara itu terdiam, tenggelam dalam pikiran dan kenangan masing-masing.    Sejak dilahirkan telah kehilangan kasih sayang seorang ibu, ketika beranjak besar mereka pun tidak mendapat kasih sayang ayah, m
Baca selengkapnya
Chapter 143 : Kiriman Foto
    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik.    Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia.    "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri.    Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali.    Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe
Baca selengkapnya
Chapter 144 : Penjelasan Richard
    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik.    Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan...    Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua.    "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku.    "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Baca selengkapnya
Chapter 145 : Maafkan Papamu
    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam.    Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku.    Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard.    "Apa
Baca selengkapnya
Chapter 146 : Skandal Besar
    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius.    "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan.    Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram.    "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?"    "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan.    Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki."    Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?"    "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong.    "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa.    Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Baca selengkapnya
Chapter 147 : Bagian Hidupku
    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris.    Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka.    Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri?     "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja.    "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai.    "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh.    "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Baca selengkapnya
Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius
    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group.    "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat.    "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar.    "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus.    Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Baca selengkapnya
Chapter 149 : Melamar
    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya.    "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang.    Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik."    "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik."    "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa.    "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard.    "Kamu... Makin gombal!"    "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan.    Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
Baca selengkapnya
Chapter 150 : Meminta Restu
    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat.    "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan.    "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku.    Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu.    "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius.    "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard.    Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan.    Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status