All Chapters of Maduku Sayang: Chapter 131 - Chapter 140
144 Chapters
131. Maduku Sayang
WARNING! 21+~"Malam ini aku minta jatah dan kamu tidak boleh menolak lagi!" tukas Ferdila. Aku mengangguk sambil tersenyum manis. Lelaki itu dengan gerak cepat melucuti pakaianku hingga tidak tersisa selembar pun."Semoga dengan ini kita bisa mendapat keturunan," gumamku. Ferdila menatap penuh cinta. Dia tersenyum sangat manis, kemudian dia mengikis jarak hingga semakin dekat. Napasnya berembus tak beraturan.Beberapa jam kemudian ...."Aku lelah," ucapku dengan napas tersengal karena baru saja selesai bergumul dengan Ferdila. Sebelum melakukan itu, lisan tidak pernah luput meminta kepada Allah agar diberikan keturunan.Mungkin bagi mereka, mandul berarti tidak punya anak sampai kapan pun. Akan tetapi, bagiku bisa saja Allah memberi ketika kita meminta dan berprasangka baik pada-Nya. Jika sampai ditiupkan ruh dalam rahim ini, aku janji akan berpuasa sebagai bentuk rasa syukur."Terimakasih, Sayang." Napas Ferdila pun terdengar lemah
Read more
132. Dua Garis Biru
Satu bulan berlalu sejak kejadian itu, Vidia masih tetap betah menyendiri dalam kamar dan hanya keluar beberapa kali. Dia mengaku marah pada Ferdila yang cuek padanya. Padahal aku tahu kalau perempuan itu sibuk video call dengan David.Sudah tiga hari ini pula aku merasakan mual dan muntah setiap pagi dan ketika mencium parfum stella di mobil suami. Sekalipun masih sedikit trauma, tetap saja aku membeli tespeck dengan harapan Allah mengijabah doa kami.Aku membuka mata dengan pelan. Jantung berdebar tak ubahnya pacuan kuda. Ada rasa yang tidak bisa dijabarkan. Entah. Ketika mata terbuka pada detik ke lima, aku langsung berdiri sambil menganga."Dua garis biru?" gumamku tidak percaya.Ya, di tespeck itu menampilkan dua garis biru walau salah satunya sedikit buram. Namun, aku tahu kalau hal itu tetap saja dikata positif. Untuk memastikan, jumat besok aku harus ke klinik kandungan.Benda kecil yang kerapkali melukai hati meski bukan kesalahannya itu a
Read more
133. Klinik Kandungan
Kamis sore sekitar pukul 17.06 kami sudah tiba di klinik kandungan dengan perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih. Saat ini kami sudah mengikuti antri yang begitu panjang."Aku takut tespeck itu salah, Fer," lirihku menunduk. Ferdila meraih kedua tangan ini dan mengecup lembut telapaknya. Rasa penasaran semakin menjadi, jatung bsrdegup cepat seakan saling berkejaran. Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk melonggarkan dada yang terasa sesak."Berprasangka baik sama Allah, yuk!" ajak Ferdila tiba-tiba sok alim, tetapi aku malah mengikuti."Ibu Ardina!" panggil perawat lima belas menit kemudian.Kami berdua langsung berdiri, masuk ke ruangan dan duduk di hadapan spesialis kandungan. Dia cantik memakai jilbab warna putih. Andai aku seprofesi dengannya, mungkin saja Ferdila enggan mendua karena gajiku banyak.Ah, mungkin."Apa keluhannya, Bu?"Tanpa basa-basi aku mulai menceritakan semua keluhan selama tiga
Read more
134. Dia Lenyap
Pukul 20.53 kami baru tiba di rumah karena menyempatkan singgah di pusat perbelanjaan sebagai hadiah khusus. Aku bahagia karena kasih sayang Ferdila semakin bertambah. Dia selalu mengaku tidak sabar menunggu sembilan bulan ke depan.Vidia tidak membuka pintu tadi, untung aku bawa kunci utama. Tanpa memanggil perempuan itu, Ferdila mengajakku langsung masuk kamar. Bukan menuntun, melainkan menggendong langsung. Setelah tiba, dia meletakkanku dengan pelan di tempat tidur."Andai waktu bisa diputar, aku ingin berada di bulan ke sembilan di mana status suami berubah menjadi ayah. Ya, ayah dari anak kita." Ferdila tersenyum. Aku terharu dan mengusap lembut kepala yang berada di atas perut. Dia mencium penuh kelembutan."Kamu mau anak perempuan atau laki-laki?" tanyaku dengan suara pelan.Ferdila bangkit, dia duduk dengan posisi masih menghadapku. Senyum di bibirnya belum juga pudar. Jelas sekali di manik mata itu terpancar kebahagiaan, mungkin tiada tara. Dua
Read more
135. Pengaruh Ngidam
Pukul sepuluh lagi, mobil Naren sudah memasuki halaman rumah. Dia keluar dengan langkah santai, kemudian masuk rumah. Aku dan Ferdila yang duduk di depan televisi sambil menikmati kue bolu memintanya bergabung.Ferdila sudah tahu Naren akan datang karena aku ceritakan tadi sekalipun berbeda. Tidak mungkin memberitahu kalau Falen kejang-kejang dan Shella meninggal. Setelah Naren duduk di dekat kami, aku menyuguhkan minuman milik Vidia yang belum disentuh. Pasalnya perempuan bersmbut pirang itu sok sekali mau dibujuk. Aku mah tidak mau apalagi Ferdila."Ferdila dipecat, kamu ada solusi apa buat usaha?" Aku membuka percakapan.Naren melirik sekilas ke arah Ferdila, lalu menjawab, " Bakso bakar mau?""Kenapa bakso bakar?" Ferdila ikut bertanya.Lelaki tampan itu menjelaskan bahwa saat ini bakso sedang laris di pasaran dan di lingkungan dekat sini belum ada penjualnya. Lagi pula idak mengapa kalau pasang outlet depan rumah sekalian es teh b
Read more
136. Rencana Busuk Vidia
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi. Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang
Read more
137. Fitnah Venny
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
Read more
138. Naik Pitam
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya. Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati. Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
Read more
139. Klinik Aborsi
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Read more
140. Mulut yang Robek
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia. Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status