Semua Bab Jangan Sentuh Saya, Dokter!: Bab 11 - Bab 20
85 Bab
Apology
Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat. Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya. Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya. "Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi. Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin
Baca selengkapnya
The Reason
Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya. Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik. Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran. Sebagian besar pasiennya memang
Baca selengkapnya
Trauma
Dipta sedang termenung di kafetaria rumah sakit dengan tangan memainkan sendok di piring saat seseorang duduk di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Yudi. "Kenapa ngelamun, Bro? Ada masalah lagi?" tanyanya seraya meletakkan piring di meja. Tangannya meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulut. Dipta diam, terlihat berpikir. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada Yudi atau tidak. "Yud," panggilnya setelah hening beberapa saat. Yudi menggumam karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Dipta meletakkan sendok, melipat tangan di meja lalu berucap, "Apa yang kau lakukan jika bertemu dengan wanita korban perkosaan?" Seketika aktivitas Yudi terhenti. Tangannya melayang dengan sendok tepat di depan mulut yang menganga. Dia berdeham pelan. Diletakkannya kembali sendok itu sebelum menjawab dengan ekspresi serius. "Kenapa tanya sama gu
Baca selengkapnya
Therapy
Aina mengamati bangunan megah serba putih di depannya dengan takjub. Cahaya matahari memantul dari mobil-mobil yang berjejer rapi di halaman parkir berpaving hexagonal yang diinjaknya. Daun kering berguguran dari pohon di pinggir jalan dan jatuh terhempas di area parkir. Beberapa tumbuhan hias dengan pot gerabah coklat besar diletakkan di sudut-sudut teras, memberi kesan asri dan nyaman.  Hiruk pikuk orang berlalu lalang silih berganti di pintu masuk. Ada yang lewat pintu UGD di pojok kiri, namun lebih banyak yang melewati pintu kaca besar yang terbuka lebar di bagian tengah. Suasana di dalam begitu ramai. Penuh dengan orang-orang yang datang untuk berikhtiar, mengharap kesembuhan dari macam-macam penyakit yang diidapnya. Seperti Aina. Hari ini adalah hari pertamanya melakukan terapi. Meskipun dokternya adalah suaminya sendiri, namun itu sama sekali tidak mengurangi kegugupannya saat ini. Aina segera melangkah menuju ruang praktik suami
Baca selengkapnya
Mom Visit
Aina sedang berada di kamar, duduk bersandar kepala ranjang dengan laptop di pangkuan. Sesekali diraihnya cangkir putih di atas nakas lalu disesapnya teh beraroma vanila kesukaannya. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard, menciptakan bunyi ketik yang cepat. Musik klasik mengalun merdu dari ponsel yang ditaruhnya di samping badan, di atas ranjang. Langit mendung di luar jendela dan udara dingin dari AC yang menderu pelan menjadi pelengkap syahdunya suasana pagi. Hari ini hari minggu, sekitar jam 9. Jadwal mengajarnya libur, jadi dia gunakan waktunya untuk menulis.  Tadi mama mertuanya menelepon lagi, mengabarkan bahwa beliau sudah dalam perjalanan ke Semarang. Mama bilang akan menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum mampir ke rumah. Jadi, Aina memutuskan untuk memasak agak siang. Dipta seharusnya juga libur hari ini. Hanya saja, dia harus mengisi seminar psikologi di sebuah Perguruan Tinggi, jadi sekarang Aina
Baca selengkapnya
Movie
Sudah hampir satu bulan Aina menjalani terapi. Dan sejauh ini hasil yang didapat begitu baik. Tak ada lagi sikap dingin dan skeptis yang ditunjukkan kepada lawan jenis. Tak ada lagi raut wajah penuh ketakutan saat dia berhadapan dengan laki-laki. Dan yang terpenting adalah aura kebahagiaannya semakin terpancar sekarang.  Dia terlihat lebih ceria dalam menjalani hari. Maksudnya, biasanya Aina juga ceria. Namun, dulu cerianya hanyalah untuk menutupi tekanan yang dihadapi hatinya. Sedangkan sekarang, Aina benar-benar ceria dengan raut bahagia. Langit sudah menggelap saat Aina sampai di rumah. Dia baru saja selesai mengawasi ekstrakurikuler anak didiknya, dan tiba di rumah saat senja. Dia masuk, lalu menyalakan lampu untuk menerangi rumahnya yang gulita. Setelah mandi dan mengganti pakaian, dia segera turun ke dapur menyiapkan makan malam.  Sebelumnya Aina memang sudah mengatakan pada Dipta untuk tidak membeli maka
Baca selengkapnya
Honeymoon
Waktu terus bergulir. Setiap detik terangkai menjadi menit, jam, kemudian membentuk hari. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa sudah satu tahun pernikahan ini berjalan. Tentu tidak baik-baik saja seperti pernikahan pada umumnya. Namun setidaknya, kini sudah jauh lebih baik dibandingkan awalnya. Di siang hari yang terik, Aina berjalan di koridor kelas-kelas setelah bel berakhirnya ujian berbunyi beberapa menit lalu. Kedua lengannya mendekap amplop coklat besar berisi soal beserta lembar jawabnya, sementara mata menatap lurus ke depan. Sesekali membalas sapaan beberapa murid dengan menganggukkan kepala dan mengulas senyum manis. Angin sepoi siang hari menerbangkan jilbab cokelat muda yang ia kenakan. Membuatnya melambai mengikuti langkah kaki, lalu berhenti saat si empunya sudah sampai di meja kerja. Dia meletakkan buku-buku di meja sebelum merogoh saku bajunya sebelah kanan, mengambil ponsel yang telah berkedip tanda ada pe
Baca selengkapnya
Anniversary
"Ini kamu yang menyiapkan semuanya?" Aina bertanya seraya menatap sekeliling dengan wajah berseri. Mereka berada di sebuah dermaga kecil yang sudah dihias sedemikian rupa dengan satu set meja makan di tengah, bertabur bunga dan lilin-lilin kecil sehingga terlihat begitu indah, apalagi saat malam hari. (Dihiasnya begini, tapi dermaganya kaya yang di mulmed, ya) Candle light dinner. Salah satu kejutan yang Dipta siapkan jauh-jauh hari untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Dipta memang tipe lelaki romantis. Dia suka hal-hal manis seperti ini. "Kebetulan sekali, malam ini bulan purnama," sambung Aina sambil menunjuk bulan yang menggantung rendah di langit temaram. Cahayanya menyirami air laut yang beriak pelan dan memantul menciptakan pendar keemasan yang begitu indah. Berpadu dengan sinar redup dari lilin-lilin yang berjajar rapi di tepi dermaga. "Lihat, Mas, bulannya canti
Baca selengkapnya
First Night
"Eunghh ...," lenguh Aina di sela-sela ciuman panas mereka. Saat ini, mereka sudah kembali ke villa. Berada di kamar yang kini bertabur bunga. Salah satu servis yang diberikan oleh pihak pengelola villa, kamar untuk pasangan yang sedang berbulan madu setiap malamnya akan dihias layaknya kamar pengantin, supaya keintiman bulan madu mereka tetap terjaga. Aina terbaring di ranjang, melingkarkan tangan ke leher Dipta yang berada di atasnya dengan bibir yang tak henti-hentinya saling melumat. Ciuman Dipta bergerak turun ke leher dan menghisapnya kuat-kuat di sana. Meninggalkan jejak berupa tanda merah di leher jenjang nan mulus Aina. Wanita itu mengerang tertahan. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat, sementara matanya terpejam erat. Tangannya sibuk meremasi rambut Dipta, sesekali mencengkeram bahu lelaki itu kala desiran yang dirasakannya semakin kuat. Bibir Dipta kembali bergerak naik memagut bibir Aina yang membengkak, seme
Baca selengkapnya
Suddenly in Love
"Apa yang membuat pipimu merona sepagi ini, Aina?" Suara bariton Dipta membuat Aina tergagap. Dia tak menyadari bahwa sedari tadi lelaki itu sudah membuka mata dan sibuk menatap wajah cantik yang dihiasi senyum manis dan pipi memerah miliknya. Sejak alarm yang disetel pukul tiga pagi berdering lembut dari ponselnya, Aina memang sudah bangun. Dia tidak sadar bahwa gerakan halusnya yang meraih ponsel untuk mematikan alarm itu membuat Dipta terbangun juga. "Ti-tidak. Aku tidak merona," jawab Aina sambil merangsek lebih dalam ke pelukan laki-laki yang sedang terkekeh itu. Dipta mengeratkan pelukan sebelum berkata, "Mengingat yang semalam, hum?" "Mas, ah ...," rengek Aina manja. Semakin menenggelamkan wajah di dada Dipta untuk menutupi pipinya yang serupa kepiting rebus sekarang. "Hentikan, Aina. Kamu membuatku ingin lagi," bisik Dipta di telinga Aina saat wanita
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status