All Chapters of Jangan Sentuh Saya, Dokter!: Chapter 41 - Chapter 50
85 Chapters
Decision
Hujan turun dengan derasnya membasahi pelataran rumah sakit beserta segala yang tak ternaungi apa pun di luar sana. Aina menatap sendu ke luar kaca jendela yang mulai memburam. Bayangan tetes air yang semakin menderas bak tirai yang menutupinya. Udara terasa semakin dingin, Aina mendekap tubuhnya sendiri dengan kedua tangan.Dipta yang baru saja selesai memeriksa pasien masuk ke kamar Aina, masih dengan mengenakan jas dokternya. Dia masuk, lalu duduk di kursi samping tempat tidur Aina. Wanita itu sontak tersentak kaget karena dia masih terlena dalam lamunan saat lelaki yang tengah tersenyum ke arahnya itu memasuki kamar."Kamu pasti sedang melamun." Dipta membelai lembut kepala Aina yang tertutup jilbab."Kamu yang masuk tidak mengucapkan salam," sanggah Aina, membuang muka.Dipta terkekeh. "Iya, maafkan aku. Assalamualaikum.""Waalaikumussalaam," ketusnya. Membuat tawa Dipta semakin keras.Aina mengalihkan pandang ke arah suaminya. Mengamat
Read more
Recovery
Malam semakin larut. Hawa dingin dari sisa hujan kemarin semakin terasa menggigit. Dalam keremangan kamarnya, Aina menatap Dipta yang baru saja masuk. Lelaki itu baru pulang sebentar untuk mandi dan berganti baju, setelah itu, dia mencari makan sebentar karena sejak pagi perutnya hanya diisi roti lapis dan segelas kopi."Kamu belum tidur?" tanyanya sembari mendekat, setelah menutup pintu di belakangnya."Aku menunggumu."Dipta memicing. "Benarkah?" Dia duduk di samping tempat tidur Aina. Mengusap rambut hitam wanitanya yang tergerai panjang."Kamu sudah makan?" Aina balik bertanya.Dipta mengangguk. "Baru saja." Dia menarik selimut untuk Aina hingga menutupi dada. "Tidurlah. Sudah jam sepuluh."Dia bangkit dan berniat melangkah ke sofa untuk merebahkan diri di sana, tetapi tangannya dengan cepat dicekal Aina."Mas mau ke mana?" Aina mendongak, menatap wajah Dipta yang sedang berdiri."Ke sofa. Kamu tidurlah."Tanpa melep
Read more
Resign
Sepasang manusia berlainan jenis bergandengan melintasi sepanjang koridor dari bangsal perawatan VIP menuju ruang pemeriksaan di bagian depan rumah sakit. Beberapa pasang mata yang mengenal salah satu atau keduanya, menoleh sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Sesekali Dipta menanggapi cuitan dan sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya dengan senyuman dan anggukan kepala.Aina membelokkan langkah ke lorong menuju kafetaria. Katanya, dia ingin membeli pancake coklat seperti yang dibawakan Dipta waktu itu. Sesampainya di depan etalase makanan, Aina segera menunjuk pancake coklat yang hanya tersisa tiga buah."Semua, Bu," pesannya kepada penjaga kafetaria.Wanita paruh baya dengan celemek terlilit di pinggangnya itu dengan sigap membungkus tiga buah pancake serta choco chips cookies ke dalam kotak snack. Aina menyerahkan selembar lima puluhan kepada wanita itu untuk membayar. Setelah menerima kembalian, mereka berbalik, berniat keluar dari kafetaria. Namun
Read more
Move Away
Hari senantiasa berganti. Persiapan kepindahan Aina dan Dipta ke Jogja telah selesai. Surat pindah tugas untuk Dipta, serta berkas-berkas yang Aina siapkan untuk melamar pekerjaan di sana juga sudah siap.Pagi ini Aina sengaja bangun lebih awal, sebelum subuh. Selesai menunaikan shalat sunah, dia tidak kembali ke tempat tidur, melainkan mulai mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa ke Jogja.Aina dan Dipta memang berniat untuk tidak mengosongkan seluruh rumah, karena mereka tidak berniat menjual rumah yang di Semarang. Mau bagaimanapun, rumah itu adalah rumah pertama yang Dipta beli untuk pernikahan mereka. Terlalu banyak kenangan yang sangat sayang untuk ditinggalkan begitu saja. Maka dari itu, mereka hanya akan membawa baju-baju, perlengkapan pribadi, serta buku-buku yang memang perlu dibawa. Selebihnya, ditinggal.Suatu hari nanti, jika mereka rindu Semarang, mereka masih memiliki tempat untuk tinggal. Mungkin, mereka hanya perlu mempekerjakan orang unt
Read more
New Place
Mentari perlahan merangkak naik, semburat jingganya mengintip malu-malu dari balik punggung gunung. Cahayanya yang berpadu dengan langit pagi hari, menciptakan rona biru keemasan yang indah. Pagi pertama di Jogja. Aina menyibak selimut yang semalaman mendekap tubuh. Dia beranjak dari tempat tidur dan membuka tirai, dilanjutkan dengan membuka jendelanya, membiarkan udara segar pagi hari membelai wajah. Dia membalikkan badan saat terdengar pintu terbuka. Dipta masuk sambil menyampirkan sajadah di pundak, tersenyum manis kala netranya menemukan Aina sedang berdiri di depan jendela. "Kamu sudah bangun?" tanyanya seraya meletakkan sajadah di atas meja, kemudian mendekati Aina. "Hm. Baru saja. Mas dari masjid?" Aina melirik sajadah di meja, lalu menatap Dipta dari atas ke bawah. Sarung motif kotak-kotak, baju Koko hijau muda polos, serta peci hitam yang masih melekat di kepala. Dipta mengangguk.&nb
Read more
Fright
Dua jam Aina dan Dipta berkeliling supermarket, membeli berbagai barang dan bahan makanan untuk mengisi rumah dan kulkasnya yang masih luang. Pukul satu siang, mereka pulang. Terik matahari menyengat kulit. Angin yang bertiup mengantarkan dedaunan yang jatuh di pelataran rumah, mengurangi rasa panas yang mendera raga. Aina segera masuk membawa kantong belanja besar, sedangkan Dipta mengekorinya sambil mengangkat kardus berisi belanjaannya ke dalam rumah. Mereka segera menuju dapur, lalu meletakkan barang bawaan di atas meja. Dipta duduk di kursi meja makan sembari mengatur napas. Berbeda dengan Aina yang gegas mengeluarkan barang-barang yang dibelinya dari dalam kantong belanja, kemudian menatanya di dalam kulkas. Berbagai buah-buahan, sayuran, serta beragam makanan dan minuman olahan dengan cepat memenuhi tiap rak di dalam lemari pendingin itu. Setelah menata isi kulkas, Aina beralih membuka pintu bufet di bawah meja dapur. Dia bersimpuh di
Read more
Back to Therapy
Jam di pergelangan tangan Dipta telah menunjukkan pukul sembilan malam saat Dipta memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Aina turun terlebih dahulu lalu membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Dipta menyusulnya di belakang. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah bersama-sama. Aina segera menuju kamar. Sedangkan Dipta ke kamar mandi terlebih dahulu. Setelah mencuci tangan dan kaki serta membasuh wajah, dia kembali ke kamar untuk mengobati luka Aina. Dipta mengambil kotak P3K di atas lemari, lalu duduk di samping ranjang di sebelah Aina, meraih tangan wanita itu, kemudian membersihkan lukanya dengan alkohol sebelum diberikan antiseptik dan dibalut plaster. Dia menunduk sembari mengusap tangan Aina dengan ibu jarinya, membuat wanita itu mengernyit heran. Merasa tidak nyaman, Aina segera menarik tangannya dari genggaman Dipta. "Tenang saja, Mas, ini cuma luka kecil." Dipta mengangka
Read more
dr. Galih
Bunyi klakson terdengar tiga kali saat Aina masih berkutat dengan make up-nya. Dia memoleskan lipstik ke bibir sebagai sentuhan terakhir, sebelum menyemprotkan setting spray lalu merapikan jilbab yang dia kenakan. Sebelum meraih tasnya, Aina menyempatkan diri menyemprotkan parfum ke bagian leher dan pergelangan tangan. Setelah siap, dia bergegas menuju halaman, di mana Dipta tengah menunggu di mobil.Siang ini jadwalnya konsultasi dengan psikiater baru. Ini memang bukanlah konsultasi pertama yang pernah dia lakukan, tetapi entah mengapa kali ini dirinya merasa gugup. Mungkin karena dokternya laki-laki? Atau karena dia harus mengunjungi psikiater bahkan di tempat baru ini? Entahlah.Dipta tengah menyandarkan diri di kap mobil sambil menyilangkan kaki, mengamati jam di pergelangan tangan. Angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering dari pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah, juga meriapkan bagian depan rambutnya. Lengan kemeja yang dia kenakan digulung sampai ke si
Read more
Childhood Friend
Dipta mengayunkan langkah dengan tergesa di sepanjang koridor. Kakinya semakin berayun cepat saat dirinya melirik jam di tangan dan dia tahu telah terlambat lima belas menit. Setelah melewati koridor ruang rawat inap, Dipta membelokkan langkah memasuki  koridor bangsal anak dan berlari kecil menuju gedung kesehatan jiwa. Saat jaraknya dengan ruangannya hanya beberapa meter, dia mendengar suara seseorang yang memanggilnya."Dok!"Dipta menoleh. Ternyata Karin."Di mana pasiennya?" tanya Dipta saat Karin sudah berdiri di hadapannya."Di ruangan dokter.""Baiklah." Mereka kemudian melanjutkan langkah.Sepanjang perjalanan yang hanya beberapa meter itu, Dipta bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan pasien yang mendadak harus dia temui itu?Pintu terbuka. Seorang lelaki tua dengan uban yang menutupi seluruh kepalanya sedang duduk di sofa bersama gadis muda yang kira-kira masih SMA bertubuh kurus, menoleh serempak ke arahnya. Mere
Read more
Two Princes
Aina mengerjap saat pendengarannya menangkap suara alarm yang berdering dari ponsel yang berada di atas meja. Masih dengan setengah terpejam, jemarinya meraba-raba nakas untuk meraih benda yang mengeluarkan bunyi nyaring itu. Setelah dapat, dia segera mengusap layar ke atas untuk mematikan alarm.Dipta melenguh lalu membuka mata perlahan kala merasakan tubuh yang sedang didekapnya bergerak. Dia menguap panjang sebelum akhirnya membuka mata dengan sempurna."Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak."Jam tiga, Mas. Bangun." Aina menyibak selimut dan bergegas bangkit dari tempat tidur.Dipta yang semalaman bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, seketika mendekap tubuh karena hawa dingin yang menyergap tanpa permisi. Dia meraih kaosnya dan segera mengenakannya, sementara Aina sudah keluar dari kamar.Sebelum beranjak dari tempat tidur, Dipta menyempatkan diri membuka ponsel. Kedua matanya dengan teliti memindai notifikasi yang berbaris
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status