Semua Bab Diary Istri CEO: Bab 51 - Bab 60
105 Bab
Persiapan
Cindy langsung menghampiri Rahman. Tanpa basa-basi dia melihatkan sebuah foto yang di handphonenya. Dalam hatinya, dia berniat untuk memancing emosi Rahman. Aksinya berharap dapat memisahkan Rahman dengan Aisyah. Bahkan dia telah lupa bagaimana dulu meninggalkan bekas luka di hati Rahman. Dengan congaknya menghina dan mempermalukan Rahman. Kini dirinya sendiri bahkan tidak punya malu dan nilai lagi. Bagi Rahman, dia hanya wanita yang tak jauh beda dengan sampah yang setiap pagi dibuang ke tong sampah oleh Mbok Darsih.             Meski ucapannya tadi menggebu-nggebu, Rahman santai saja dan hanya menganggap angin lewat saja.             “Kamu yakin, Aisyah mengandung anakmu?”             Rahman hanya menggerakkan ekor matanya sekilas melihat foto Aisyah bersama seorang laki-laki. Walau bagaimana pu
Baca selengkapnya
Ke Singapura
Kesibukan di bandara sudah terlihat ramai. Meski masih menunjukkan pukul lima dini hari. Aisyah masih merasa gelisah. Pandangan matanya lurus ke depan namun kosong. Di dalam benak hatinya seakan menolak untuk pergi.            Kerinduan pada penjara suci menghantui pikirannya. Bagaimana dia bisa tinggal di negeri orang. Tak peduli orang yang berjalan di depannya, tatapan Aisyah masih kosong.            “Sayang…” terdengar suara Rahman memanggil.            Aisyah hanya memalingkan padangannya saja tanpa mengukir senyuman di balik niqamnya. Mata elang Rahman seperti mengantar ketenangan. Hati Aisyah sedikit lebih tenang. Napasnya tidak sesesak tadi.            Panggilan suara terdengar sangat jelas. Semua penumpang be
Baca selengkapnya
Jangan Ragukan
Pov Aisyah Aku masih menunggu di kamar. Bunyi AC menemani keheningan. Hiruk pikuk laju kendaraan di negeri merlion ini. Lampu jalanan dan gedung-gedung pencakar langit indah sekali. Meski masih canggung dengan suasana di sini.             Malam ini Rahman akan mengajakku ke suatu tempat. Dia bilang, ingin makan malam berdua denganku. Semoga saja aku bisa merasakan romantic seperti pasangan yang kasmaran.             “Sayang, sudah siap belum?”             Kulihat suamiku sudah rapi. Entah apa yang dia bicarakan dengan ayahnya tadi. Aku tidak ingin mencari tahu. Yang penting, saat dia sungguh-sungguh akan terbang ke Bali, aku harus ikut. Aku tidak ingin tinggal di sini sendirian meskipun ada Shelin dan ibu mertuaku.            
Baca selengkapnya
Pelan Mas
Pov Aisyah             Seharusnya aku bisa menikmati, katakanlah bulan madu. Seperti orang-orang lain yang merayakan honeymoon. Tapi tidak dengan keberadaan di Singapura untuk menikmati waktu bulan madu. Entah ada masalah apa dengan bisnis suamiku di Bali. Apakah cabang barunya mengalami masalah.            Fix. Hanya tiga hari tinggal di kondominium orangtua Rahman aku bisa merasakan bagaimana bersyukurnya berada dengan fasilitas yang super canggih. Koper sudah kutata dengan keperluan seadanya. Kulihat amplop berisi uang dollar Singapura yang belum kugunakan sama sekali.            “Sayang, jadi ikut?”            Tampaknya Rahman ingin menggodaku. Segera kusimpan uang itu ke dalam tas. Tidak harus menghabiskan
Baca selengkapnya
Jebakan
Setelah pamitan dengan Ayah dan Ibu Rahman, serta Shelin. Rahman dan Aisyah melangkah kaki menuju check in. Bandara international Changi sepagi ini sudah sangat ramai orang. Changi airport merupakan salah satu bandara terbaik di dunia. Maka tidak heran jika pelayanan, kebersihan, dan tingkat kemanan di sini sangat bagus.             Aisyah berjalan di depan Rahman. Meski hatinya berdebar untuk melakukan penerbangan lagi, semoga saja dia akan lebih rileks. Bukan pertama kali lagi dia naik pesawat, sehingga lebih bisa mengendalikan perasaannya.             Tepat pukul tujuh Tujuh waktu Singapura, pesawat siap lepas landas. Suara mesin pesawat sedikit memekakkan telinga. Aisyah tak lupa membaca dan doa dan berzikir saat sayap pesawat siap menerbangkan penumpang.             Rahman yang duduk di sebel
Baca selengkapnya
Kembali
Terburu-buru Rahman langsung menghadang sebuah taksi. Bahkan sampai penumpangnya yang belum turun, Rahman main menyambar masuk ke tempat duduk belakang. Sedang paniknya Rahman sambil menelepon nomor Aisyah.            “Angkat dong sayang…”            Tidak ada tanda-tanda panggilan teleponnya dijawab, Rahman meminta meminta supir taksi yang mempercepat laju kendaraannya. Namun, jalanan cukup ramai dan harus berhati-hati. Hati Rahman semakin cepat.            Semua pikirannya tertuju kepada Aisyah. Perkara berkas dokumen yang ditandatangani itu tidak terlintas dalam pikirannya.            “Cepat sedikit Pak.” Pinta Rahman.              &
Baca selengkapnya
Perasaan
Pesawat landing dengan sempurna. Penumpang turun satu persatu. Melin memakai kaca mata hitamnya dan memakai syal untuk menutupi kepalanya. Pasti Robi tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang.            Tanpa sepengetahuan Rahman, di tengah keramaian orang, Aisyah melihat Melin yang hendak masuk ke kamar mandi. Meskipun Melin memakai kacamata hitam dan syal, Aisyah masih dapat mengenalinya.            Terdengar suara flush dari dalam kamar mandi. Aisyah berdiri di samping Melin, sontak saja dia merasa kaget.            “Kamu?”            “Jangan kaget. Apakah kamu masih mengikuti kami?”            Melin mematikan kran air.  &nbs
Baca selengkapnya
Sebuah Pengakuan yang Melukai Perasaan
Sudah menunggu lama, Rahman masih belum mengatakan apa-apa. Ingin rasanya Aisyah protes tapi dia takut akan berimbas ke janinnya. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Aisyah tetap melayani Rahman. Makan malam dihidangkan seperti biasa.             Mbok Darsih berbisik ke telinga Aisyah. Saat Rahman menuruni anak tangga dan menuju ke dapur, sikap Mbok Darsih pun berubah seperti biasa. Sementara Aisyah masih belum berkata apa pun.             “Sayang, wahhhh enak banget nih wangi masakannya.” Rahman mencoba untuk menghibur Aisyah.             “Makan dulu Mas…”             “Terima kasih, sayang… Mbok.” Rahman memanggil Mbok Darsih.             Wanita paruh baya itu pun langs
Baca selengkapnya
Kabar
Tidak ada canda tawa. Karena memang sebelumnya juga tidak ada canda tawa yang mengisi ruangan. Namun seperti biasa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, Aisyah menyiapkan baju bekerja dan sarapan Rahman. Meski hatinya tidak ingin berbicara. Sedangkan Rahman pun sangat dingin dan kaku. Untuk melihat wajah Aisyah saja saat ini dia kesulitan. Kerap kali Aisyah memalingkan wajahnya jika Rahman ingin mendekat. Bahkan tidak ada semangat lagi untuk bekerja dengan Rahman. Tiba-tiba terdengar bunyi handphone Rahman. Aisyah pun acuh dan memilih meninggalkan kamar setelah meletakkan hanger ke posisi semula. Rahman melihat siapa yang menelepon, ternyata orang kantor. Untuk sementara memang Rahman meminta bantuan Lisa sang receptionist untuk membantu urusan lainnya termasuk jadwal jika ada meeting. “Hallo.” “Selamat pagi Pak, sudah ditunggu Pak Johan di kantor.” “Baiklah, katakana padanya aku segera sampai.” “Baik Pak.” Setel
Baca selengkapnya
Prematur
              Rahman tidak diizinkan masuk. Dokter masih menangani Aisyah. Sekuat tenaga Aisyah merasa harus berjuang untuk bayinya. Pintu UGD terbuka Rahman langsung menghampiri dokter Anisa yang menangani Aisyah.             “Tuan Rahman, ada yang harus saya katakana kepada Anda.”             “Silakan dokter.”             “Nyonya Aisyah harus segera operasi untuk menyelamatkan keduanya dan kami butuh tanda tangan Anda.”             Rahman seperti salah mendengar. Kandungan Aisyah saja baru lewat tujuh bulan. Jika harus lahir secara premature untuk keselamatan keduanya, Rahman hanya bisa menyerahkan semua keputusan kepada dokter.      
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status