Terburu-buru Rahman langsung menghadang sebuah taksi. Bahkan sampai penumpangnya yang belum turun, Rahman main menyambar masuk ke tempat duduk belakang. Sedang paniknya Rahman sambil menelepon nomor Aisyah.
“Angkat dong sayang…”
Tidak ada tanda-tanda panggilan teleponnya dijawab, Rahman meminta meminta supir taksi yang mempercepat laju kendaraannya. Namun, jalanan cukup ramai dan harus berhati-hati. Hati Rahman semakin cepat.
Semua pikirannya tertuju kepada Aisyah. Perkara berkas dokumen yang ditandatangani itu tidak terlintas dalam pikirannya.
“Cepat sedikit Pak.” Pinta Rahman. &
Pesawat landing dengan sempurna. Penumpang turun satu persatu. Melin memakai kaca mata hitamnya dan memakai syal untuk menutupi kepalanya. Pasti Robi tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Tanpa sepengetahuan Rahman, di tengah keramaian orang, Aisyah melihat Melin yang hendak masuk ke kamar mandi. Meskipun Melin memakai kacamata hitam dan syal, Aisyah masih dapat mengenalinya. Terdengar suara flush dari dalam kamar mandi. Aisyah berdiri di samping Melin, sontak saja dia merasa kaget. “Kamu?” “Jangan kaget. Apakah kamu masih mengikuti kami?” Melin mematikan kran air.&nbs
Sudah menunggu lama, Rahman masih belum mengatakan apa-apa. Ingin rasanya Aisyah protes tapi dia takut akan berimbas ke janinnya. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Aisyah tetap melayani Rahman. Makan malam dihidangkan seperti biasa. Mbok Darsih berbisik ke telinga Aisyah. Saat Rahman menuruni anak tangga dan menuju ke dapur, sikap Mbok Darsih pun berubah seperti biasa. Sementara Aisyah masih belum berkata apa pun. “Sayang, wahhhh enak banget nih wangi masakannya.” Rahman mencoba untuk menghibur Aisyah. “Makan dulu Mas…” “Terima kasih, sayang… Mbok.” Rahman memanggil Mbok Darsih. Wanita paruh baya itu pun langs
Tidak ada canda tawa. Karena memang sebelumnya juga tidak ada canda tawa yang mengisi ruangan. Namun seperti biasa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, Aisyah menyiapkan baju bekerja dan sarapan Rahman. Meski hatinya tidak ingin berbicara. Sedangkan Rahman pun sangat dingin dan kaku. Untuk melihat wajah Aisyah saja saat ini dia kesulitan. Kerap kali Aisyah memalingkan wajahnya jika Rahman ingin mendekat. Bahkan tidak ada semangat lagi untuk bekerja dengan Rahman. Tiba-tiba terdengar bunyi handphone Rahman. Aisyah pun acuh dan memilih meninggalkan kamar setelah meletakkan hanger ke posisi semula. Rahman melihat siapa yang menelepon, ternyata orang kantor. Untuk sementara memang Rahman meminta bantuan Lisa sang receptionist untuk membantu urusan lainnya termasuk jadwal jika ada meeting. “Hallo.” “Selamat pagi Pak, sudah ditunggu Pak Johan di kantor.” “Baiklah, katakana padanya aku segera sampai.” “Baik Pak.” Setel
Rahman tidak diizinkan masuk. Dokter masih menangani Aisyah. Sekuat tenaga Aisyah merasa harus berjuang untuk bayinya. Pintu UGD terbuka Rahman langsung menghampiri dokter Anisa yang menangani Aisyah. “Tuan Rahman, ada yang harus saya katakana kepada Anda.” “Silakan dokter.” “Nyonya Aisyah harus segera operasi untuk menyelamatkan keduanya dan kami butuh tanda tangan Anda.” Rahman seperti salah mendengar. Kandungan Aisyah saja baru lewat tujuh bulan. Jika harus lahir secara premature untuk keselamatan keduanya, Rahman hanya bisa menyerahkan semua keputusan kepada dokter.
Di dalam rumah tangga bukan hanya tentang kesadaran tentang apa yang dilakukan di masa lalu, bagaimana bagian dari masa lalu itu bisa diterima atau tidaknya tanpa membuat masa lalu itu kembali terulang. Aisyah tidak ingin bersedih dalam lautan air mata. Terpenting Rahman sampai detik ini masih menjadi Ayah untuk anaknya. Hari yang terus berganti meskipun ada jeda dan jarak yang membuat langkah seperti tersekat dan hati masih belum sepenuhnya utuh menerima kejujuran masing-masing. Sore itu Aisyah tampak kelelahan setelah semalam bergadang menjaga Bilal Al Wijayanto. Orangtua Rahman dan adiknya yang baru datang pun takut untuk membangunkan Aisyah. Tampak jelas rasa lelah hingga tidak mendengar langkah kaki mereka. Shelin pun dengan gemasnya mengelus-ngelus pipi Bilal. Bibir mungil anak itu pun menguap. &nb
“Eheeem…” Barulah Rahman melepaskan tubuh Aisyah saat Bu Reta datang mendekati mereka dengan berdehem. Aisyah mengelap ekor matanya untuk menghilangkan jejak airmata. Sambil tersimpul malu Aisyah pun melakukan kesibukan diri melanjutkan memasukkan baju ke mesin cuci. “Aisyah…” “Iya, Bu.” “Biarkan diurus Rahman, kita masak yuk, sayang…” &n
Di sebuah club malam yang hingar bingar oleh lampu yang berdiskotik. Manusia-manusia dengan berbagai rupa tengan menikmati keenjoyan malam yang gelap. Seakan melepas penat di badan membuang perasaan takut kepada Tuhan, mereka larut dalam kemabukkan. Cindy menegak gelas kecil minuman beralkohol yang telah dipesannya. Sementara Denia disampingnya hanya sesekali tersenyum melihati saja. Mata Cindy mulai merah. Otak di dalam kepalanya perlahan mulai bereaksi. Pandangannya mulai tidak jelas. “Are you sure still can drink?” tanya Denia. Cindy hanya mengangguk, dia sendiri sebenarnya juga tidak percaya. Lalu muncul dua orang laki-laki yang memang mereka tunggu dari tadi. Setelah cipika-cipiki hangat, tangan Dimas dan Arfan meletakkan pantatnya di sofa. Pelayan
Aisyah ditemani Rahman menuju ke receptionist untuk mengecek kembali jadwal dengan dokter. Hari ini sudah ada janji temu. Rahman berdiri di samping Aisyah sambil mengisi formulir yang harus diisi. Tanpa sengaja ekor mata Aisyah melihat ke arah sekitar dan melihat laki-laki yang diduga sebagai Arfan. Aisyah sangat paham kalau wajah Arfan belum melakukan operasi plastic jadi tidak mungkin dia salah lihat. “Mas, tunggu sebentar yah…” “Mau ke mana sayang?” “Sebentar saja.” “Baiklah, jangan lama-lama.” Masih dengan menggendong bayinya, Aisyah berjalan menuju ke ruang kamar yang tadi Arfan masuk ke dalam. Aisyah mendekatkan telinganya ke pintu. “Bagaimana kabarmu Denia?” Terdengar suara Arfan. Aisyah merasa penasaran kenapa Arfan menanyakan kabar Denia. Tidak mungkin Aisyah salah dengar, dia belumlah tuli. “As you see. Aku fine kan?” jawab Denia dengan senyuman. “Kamu memang wanita kuat. Sudah tidak sakit lagi