Semua Bab Rahasia Terkutuk: Bab 11 - Bab 20
29 Bab
Penglihatan Yang Sama
Joey lagi-lagi berdeham dan pergi menjauhi Diana. Dia merasa tidak nyaman memandang wajah gadis itu terlalu lama. “Y-ya terserah saya dong! Kamu ngapain ngatur saya?”  Diana sendiri mengangkat bahunya acuh. Dia mulai merasa lapar karena memang sudah lewat tengah hari. “Pak Amin mau Roti? Kebetulan saya bawa roti.” Diana mengeluarkan sebungkus besar roti lima rasa dari dalam tas ranselnya. Pak Amin hanya menggeleng dan memberi senyum teduh. Diana mengingatkannya terhadap sang putri di rumah. “Mbak enggak tawarin Pak Joey dan Mbak Jovanka?” “Mana mau mereka sama roti murah begini. Daripada saya dengar cacian, mending enggak usah.” Diana mengambil sepotong roti dan langsung makan dengan lahap. Tak dia sadari seseorang memandang ke arahnya sembari menelan ludah. Siapa lagi kalau bukan Joey. Lelaki dingin itu juga manusia, bisa lapar. Ditambah tadi pagi tidak sarapan membuat perutnya berbunyi nyaring sekarang. “Pak Joey kayaknya lapar, Mbak. C
Baca selengkapnya
Meminta Pertolongan
Raut muka Joey menahan kesal yang tak terkira. Dia sudah berjalan seratus meter dengan jalan yg sedikit terjal, lalu kembali lagi ke tempat semula hanya karena teriakan halu Jovanka. “Mana ularnya? Di sini ada Pak Amin, kenapa kamu pakai teriak-teriak sampai seperti itu?” cecar Joey dongkol. Tadi wanita ini berteriak seperti melihat setan, tetapi begitu dia dan Diana kembali, ternyata Jovanka hanya merasa melihat ular. “Tadi ada di situ, Pak. Saya takut banget.” Jovanka bangkit dan langsung memeluk Joey dengan manja. Diana sendiri rasanya ingin mempersembahkan wanita semampai itu pada anaconda betulan. Bisakah mereka sampai Anyer jika begini terus? Atau paling minim bisakah mereka pulang dengan selamat? “Enggak ada apa-apa kok, Pak. Tadi saya sudah periksa,” jelas Pak Amin. Jovanka memandang tajam ke arah sang sopir, seolah tidak suka dengan jawaban itu. “Kamu mau cari perhatian saya, ya? Kalau kamu ny
Baca selengkapnya
Jangan Perkosa Saya
Perjalanan ke Anyer berlanjut pada pukul empat saat Ken datang untuk menjemput Joey. Meski kakaknya menyebalkan, tetapi lelaki berkulit sawo matang itu tidak tega melihat kakaknya dimakan penunggu hutan jati jika dibiarkan lebih lama di sana. Ken merasa beruntung karena ternyata Joey membawa dua gadis cantik bersamanya. Sedangkan Pak Amin ikut dengan mobil derek untuk kembali ke Jakarta. “Kamu mau threesome, ya? Kok bawa dua cewek?” Joey melirik tajam sang adik yang sedang menyetir di sebelahnya. “Mulutmu memang sembarangan. Satu itu sekretarisku, satunya yang dekil itu kacungku.” Ken melihat ke belakang lewat spion. Jika dilihat dari tipe kakaknya, sudah pasti yang berbaju ketat itu sekretarisnya. Akan tetapi yang satu lagi, tidak dekil sama sekali. Malah lebih cantik dari si gadis berbaju ketat di mata Ken. “Yang cantik itu namanya siapa, Kak?” “Siapa? Sekretarisku? Namanya Jovanka.”
Baca selengkapnya
Penghinaan Menyakitkan
Badan besar Joey merebah di kasur empuk dengan ukuran king size. Badannya benar-benar terasa lelah karena perjalanan hari ini. Niatnya untuk mendapat penyegaran, tetapi malah kesialan yang justru datang. Semua salah Diana, si gadis sialan menyebalkan. Dia benar-benar menyesal membawa gadis itu untuk semobil bersamanya. “Aku butuh nikotin.” Joey merogoh saku celananya dan mengeluarkan sekotak rokok campuran khusus yang sangat dibenci oleh Ken. Beruntung adiknya sudah kembali ke Jakarta, kalau tidak mungkin mulut Ken sudah mengomel tak karuan. Setelah menghisap rokok terlarang itu, tangan Joey dengan lihai menari di atas ponsel. Dia mengirim pesan pada Jovanka untuk datang ke kamarnya. Dalam pikiran Joey, bercinta sebentar sambil menunggu makan malamnya siap, tidak buruk juga. Tak berapa lama, ketukan pintu terdengar. Joey yang sudah di ambang kesadarannya mengulum senyum laknat. Dengan segera dia menuju pintu dan menarik gadis yang dia pikir Jovanka.
Baca selengkapnya
Fitnah Keji
Tawa dua anak kecil mengusik lubang pendengaran Diana. Mata bulatnya ingin terbuka, tetapi tidak bisa. Sayup-sayup terdengar lagi suara yang tak asing berbicara. “Dek, mau main ke luar, enggak? Jangan di rumah terus.” “Nanti mama marahin Kak Rara lagi kalau ketahuan bawa aku ke luar.” “Kakak enggak apa-apa demi kamu, Dek.” Diana mengernyit. Percakapan itu seperti tak asing untuknya. Badannya ingin bergerak tapi tak mampu. Udara dingin kian menyapu kulit Diana. Dia baru ingat bukankah sedang tidur di gazebo? Jadi dia sekarang sedang bermimpi? Pikiran Diana kembali pecah saat menangkap percakapan yang kian jelas di telinganya. “Kak, dingin ... Ayo masuk ke rumah.” “Kakak peluk, ya, Dek. Hangat, kan?” Entah kenapa hati Diana tersentuh mendengar kalimat-kalimat yang terlontar. Dia kembali menangis dalam tidur, tetapi kali ini dia menangis karena merasakan kerinduan yang amat dalam. “Kak....” Bibir Diana otomatis mer
Baca selengkapnya
Upaya Bunuh Diri
Diana berlari kecil keluar dari vila. Kakinya membawa gadis itu ke pantai yang ada di belakang penginapan. Dia butuh ruang sendiri. Ingin rasanya mengeluarkan segala perasaan sakit yang menumpuk di dada. Desir angin menyapa kulitnya yang berbalut pakaian basah. Dingin, sama seperti hati Diana saat ini. Tidak cukupkah cobaan yang Tuhan beri padanya selama ini? Kenapa dia harus mengalami hal-hal buruk ini? Diana merasa tidak pernah menjahati siapa-siapa, tetapi kenapa banyak orang membencinya tanpa sebab yang jelas? Begitu banyak tanya bersarang di kepala Diana. Bulir-bulir air dari mata bulat itu kian deras. Manik mata si gadis menatap kosong hamparan lautan di depannya. Air biru itu seolah memanggil Diana untuk datang dan menawarkan segala penyembuhan. “Kalau aku mati, mungkin semuanya selesai.” Diana berada di atas ambang rasa sedihnya. Jika orang yang tidak merasakan, mungkin akan mengatainya kurang iman. Namun, jika mereka mengalami apa yang Diana alami, b
Baca selengkapnya
Mengintip Luna dan Yuda
Hamparan pepohonan menjulang tinggi menemani langkah tertatih Diana. Gadis bersurai gelombang itu memandang bingung sekeliling. Diujung jalan sayup-sayup terdengar rintihan pilu. Diana menajamkan pendengarannya. Rintihan itu kini berubah menjadi tangis menyesakkan. Entah keberanian dari mana, tetapi kaki kurus gadis itu berjalan mendekat. Seolah memang gerangan di ujung sana memanggil dirinya. “Siapa?” Hanya satu tanya itu yang mampu Diana lontarkan. Namun, seperti dugaan, sosok yang tengah berjongkok seraya memeluk lutut itu bergeming. “Permisi, Mbak...,” cicit Diana takut-takut. Tinggal lima puluh meter, Diana akan sampai pada sosok gadis lusuh yang kian keras melantunkan tangis pedih. Tepat saat kaki Diana akan sampai, sosok gadis sebaya dirinya itu menoleh. Rambut pendek sebahu milik gadis itu terkibas diterpa angin yang tiba-tiba datang. “Kamu datang?” tanya sosok itu dengan suara serak. Dian
Baca selengkapnya
Antara Mimpi dan Nyata
Yuda melirik kesal Luna yang terus saja mengikuti dirinya. Terhitung sudah hampir sebulan wanita itu semakin menjadi-jadi saja. Bahkan beberapa kali Luna nekat mendatangi kediaman Yuda. Alasannya hanya karena ingin melihat wajah lelaki itu. Seperti siang ini, Luna terus saja mendekatinya di kantor. Beberapa kali wanita itu kedapatan memegang tangan Yuda. Jika ini adalah Diana, dengan senang hati Yuda akan merentangkan tangannya menyambut sang pujaan hati. “Apa peletnya salah sasaran?” gumam Yuda di sela langkahnya menuju gudang pantri untuk mencari Pak Imron. Namun, langkah lelaki itu terhenti saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Luna! Kamu ngapain? Ini di kantor!” hardik Yuda saat tahu siapa gerangan yang memeluknya. “Aku enggak tahan, Da. Aku pengen banget peluk kamu.” Yuda melepas paksa pelukan Luna. Meski lorong ini sepi, tak menutup kemungkinan ada karyawan l
Baca selengkapnya
Kemeja Kebesaran Pak Bos
Diana meringis saat Luna menarik kerah bajunya menuju pintu darurat. Entah apa yang akan wanita ini lakukan padanya. Beberapa kali Diana mencoba memberontak, tetapi wanita yang berstatus seniornya itu malah menjambak rambut Diana. “Anggap saja ini pelajaran buat kamu, dasar maling dan tukang ngintip!” Luna menarik kemeja Diana hingga kancing kemeja itu lepas semua. Wanita licik itu mengambil ponsel dari saku dan merekam Diana. “Kamu maling celana dalamku buat apa? Jangan-jangan dalaman kamu hasil maling semua, ya? Sini sekalian pamerin hasil maling kamu!” Tanpa ampun Luna menarik pakaian gadis di depannya hingga terlepas. Sementara Diana sibuk menutupi dadanya yang hanya terbalut bra hitam. Beberapa kali mulut gadis bermata bulat itu memohon ampun, tetapi Luna seakan tuli dan tak peduli. “Jangan rekam saya, Bu. Saya benar-benar minta maaf tadi enggak sengaja lihat Bu Luna dan Kak Yuda.”
Baca selengkapnya
Kejutan Untuk Diana
Diana dan Yuda berlari menuju ruangan Luna. Benar saja, di sana Luna tengah berteriak seraya merapalkan nama Yuda. “Kak ... Bu Luna kenapa?” Yuda menatap Luna yang tengah dipegangi beberapa orang dengan pandangan sulit diartikan. Bahkan pertanyaan Diana tak kunjung dia jawab. “Yuda! Aku cinta kamu. Argh!” pekik Luna saat melihat sosok Yuda. Wanita itu meracau tak karuan. Matanya terus menatap Yuda seakan tak ada siapa pun di sana. Luna kini tertawa melengking seraya menggaruk lehernya kasar. Tubuhnya pun menggelinjang tak karuan di lantai. Beberapa orang termasuk Diana berusaha memegangi Luna, tetapi wanita itu terasa memiliki kekuatan super. “Luna sadar!” Bentakan Yuda membuat Luna seketika diam. Wanita itu diam dan mengikuti apa pun instruksi Yuda. Beberapa staf di sana saling pandang. Padahal mereka sudah melakukan banyak cara agar Luna sadar, tetapi tak be
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status