All Chapters of Oleh-oleh dari Mertua: Chapter 51 - Chapter 60
67 Chapters
Bagian 51
Hari merangkai minggu, minggu menguntai bulan. Satu bulan pertama terasa berat untuk dilalui. Mengukir kebersamaan berbatas layar ternyata tidaklah cukup. Justru yang ada hanya menambah kerinduan semakin besar. "Mas mau kemana?" Dahiku mengernyit ketika subuh ini dia menelepon, tampak sedang dalam perjalanan. Ia berada di dalam mobil, duduk di sisi supir. Jam di gawaiku menunjukkan pukul 04.35 wib. Artinya di sana pukul 05.35. Pagi-pagi begini dia akan ke mana? "Jemput kamu, Sayang," jawabnya semringah. Seseorang yang duduk di bangku kemudi berdeham dibuat-buat. "Serius?" "Iya."  "Kok, gak ada rencana?" "Ya, ada, dong. Kamu saja yang gak tahu." "Ish. Gak kasih tahu." Dia tergelak. "Benaran, Mas!" Aku bertanya tegas, meminta kepastian. "Ya benar, sayan
Read more
Bagian 52
"Mas, sudah salat isya?" Aku mengingatkan di antara napas yang memburu. "Sudah tadi di bandara," sahutnya. Ia tetap mengunciku dalam lingkaran tangannya. Tanpa mau mengurangi sedikit pun aktifitas sebelumnya. "Mas bau." Laki-laki itu berhenti sejenak, "Apa, mas, perlu mandi dulu?" lirihnya bertanya sembari menatap syahdu. "Mmm ... tapi aku suka baunya," jawabku malu-malu. Merasa tidak rela lepas dari kehangatan tubuhnya. Tubuhnya memang bau asam. Namun, aku menyukainya. Dia tertawa. Renyah. Terdengar sangat manis dan pelak saja menambah buncah getar di dada. Ransel yang masih terpasang di punggung, ia jatuhkan begitu saja. Masih erat memeluk pinggangku, ia perlahan mengarahkan langkah, menggiringku ke bilik pelabuhan rindu. Malam mengukir sepi tatkala pekatnya kian menjadi. Tidak ada lagi suara, bahkan hewan malam pun membisu. Seolah paha
Read more
Bagian 53
Bandara Supadio. Langkahku terhenti di depan pintu utama. Tidak pernah terlintas dalam benak sebelumnya bahwa aku akan pergi meninggalkan tanah kelahiran, tempat di mana aku menghabiskan dua puluh dua tahun usia. Mas Harsa meraih jemariku, lalu menggenggamnya erat. Seperti tahu hati yang sedikit goyah, ia mengulurkan tangan untuk menopang. Ya! Masih terngiang ucapan Bibi tempo hari ketika kami berpamitan. "Kamu yakin mau ikut suamimu? Hidup di tanah orang antah berantah? Bagaimana kalau dia berulah seperti kemarin? Tidak ada sanak kerabat yang bisa membantumu. Sekarang iya dia berubah, jadi lebih baik. Selanjutnya tidak ada yang tahu." "Sayang," ucapnya pelan. Namun sorot matanya yang teduh melukiskan keyakinan. "Terlalu banyak janji yang telah ,mas, ucapkan. Sekarang biarlah waktu yang membuktikan bahwa di sisa umur, mas akan selalu menjaga agar senyum selal
Read more
Bagian 54
POV HARSA   "Maaas!" Safira keluar dari kamar mandi dengan berlari. Lalu melompat ke atas petiduran ketika sudah berada di kamar. Sedikit bergetar, ia memelukku yang tengah menidurkan Emyr dari belakang. "Kenapa?" tanyaku setengah berbisik. Khawatir Emyr bangun. Jeritannya barusan, juga gerakannya melompat ke atas tempat tidur saja membuat Emyr menggeliat. "Apa itu di kamar mandi, Mas?" tanyanya bergetar.  "Kamu lihat?" "Enggak. Tapi aku belum nyalain kran, udah nyala sendiri." "Ya, gak apa-apa. Mungkin dia mau mandi," ucapku asal.  "Mas!" Ia mencubit pinggangku. Aku tak dapat menahan tawa.  "Tadi diantar gak mau," ucapku sambil meraihnya dalam pelukan. Lalu mengusap punggungnya untuk menenangkan. "Masa mau pipis aja, Mas, harus ikut." "Ya, gak
Read more
Bagian 55
"Alhamdulillah." Kalimat thayyibah terus meluncur dari bibirnya. Bergantian, ia terus menciumiku dan Emyr. "Kamu akan punya adik, Sayang. Akan jadi abang," ucapnya pada bocah yang matanya masih keriyep-keriyep.  "Senang banget, sih?" tanyaku sedikit heran. Seingatku, dulu saat kehamilan Emyr saja ekspresinya tidak sebahagia ini.  "Iya, dong," jawabnya singkat. Lengkungan pada ujung bibirnya seolah enggan turun. Menampakkan kebahagiaan yang teramat dalam. "Dulu perasaan saat hamil Emyr, gak segitunya?" "Kata siapa? Mas, sangat menyayangi Emyr." "Iya. Tahu kalau, Mas, sayang banget sama Emyr. Cuma waktu aku kasih tahu kalau hamil, gak berlebihan seperti ini." Dia menatapku sendu, lalu mengusap kepala kepalaku dengan sangat lembut.  "Satu Emyr bisa mengikat cinta kita dengan kuat. Sehi
Read more
Bagian 56
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..." "Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..." "Saya terima nikahnya dan kawinnya Safira Khairunnisa ..." Gadis manis berkerudung putih, dengan hiasan rangkaian bunga melati itu menggigit bibir. Tiga kali kesalahan yang sama, benar-benar menggores perih hatinya.  Dia tahu sedalam apa cinta yang dimiliki laki-laki itu terhadap sahabatnya, dan dia tahu pula konsekuensi seperti apa yang akan dia terima dengan menerima lamarannya. Namun, tetap saja sanubari terdalamnya terluka.  Bisik-bisik dari tetamu yang hadir mulai mengular, menambah pedih luka yang tercipta.  "Saya terima nikahnya dan kawinnya Nur Azizah Binti Muhammad Iskandar dengan mas kawin sebentuk cincin emas dibayar tunai." Baru lah pada kali keempat namanya diucap dengan benar. &nbs
Read more
Bagian 57
"Mau pakai mobil apa motor?" tanya Haykal ketika mereka bersiap berangkat. Ia sedang duduk di kursi teras, menyambut Nur yang baru keluar dari kamar, mengambil sesuatu yang tertinggal. "Terserah, Abang, saja," jawab Nur.  Sedikit kikuk sebenarnya dia memanggil laki-laki itu dengan sebutan abang. Meskipun selama ini dia memendam debar-debar rasa pada Haykal dan sempat bermimpi akan memanggilnya dengan sebutan itu, tetap saja canggung. Mereka sudah terbiasa blak-blakan.  "Pakai motor saja, ya. Biar lebih dekat," balas Haykal seraya mengeluarkan kendaraan roda duanya dari garasi.  Ada desiran halus menjalari aliran darah Nur. Perlakuan Haykal demikian lembut, andai semua itu dibarengi cinta, maka betapa indah dunia untuknya. Namun, kenyataannya semua itu hanya kepalsuan. Ibarat pil kina, manis di luar, pahit di dalam.  "Pegangan, nanti jatuh." Haykal meraih dua t
Read more
Bagian 58
"Assalamualaikum." Sepulang dari masjid, Haykal mendapati pintu depan rumahnya terbuka. Namun, tidak ada yang menjawab salam yang dia ucapkan.  Langkahnya bergerak menuju dapur, di mana terdengar suara orang berbincang.  "Ibu istirahat saja. Biar Nur yang masak," ucap istrinya sembari memegang lembut tangan Bu Mun. Sepertinya Nur meminta wanita paruh baya itu untuk duduk.  "Tidak apa-apa. Ibu sudah tidur siang tadi sebelum ashar." "Kalau begitu, Ibu duduk saja. Tidak usah ikut masak." "Ibu 'kan juga kepingin, masak bareng menantu ibu," balas wanita itu lembut diiringi senyum yang juga begitu lembut. Nur tersenyum haru. Bersyukur tiada tara dapat menjadi menantu dari sosok guru yang amat dihormati dan disayanginya.  "Terima kasih Ibu sudah mau menjadikan saya sebagai menantu," ucapnya. Ujung jarinya mengusap kristal bening yang nyaris merek
Read more
Bagian 59
Kalut, Haykal mengarahkan motornya menuju Cafe Rajawali dengan kecepatan tinggi. Ia harap cemas. Untuk apa orang itu mengatas-namakan dirinya?  Pikiran buruk berkelebat. Ia berharap ini hanya prank dari Nur aja. Ia ikhlas dikerjai, asal istrinya itu tidak kenapa-kenapa.  Gegas, ia memarkirkan kendaraan di pelataran cafe. Sembarang saja. Kemudian berlari ke dalam. Netranya memindai ruangan secara menyeluruh, mencari sosok Nur. Namun, nihil. Langkahnya segera menuju meja kasir yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Posisi duduk kasir sangat strategis untuk melihat siapa saja tamu yang datang. "Wajahnya manis. Kulit kuning langsat. Bersih. Ada lesung pipi. Berjilbab. Hari ini pakai pasmina warna baby pink. Rok plisket, blouse navy masuk ke dalam. Sekitar satu jam yang lalu katanya mau ke sini," terang Haykal dengan napas yang memburu. Hatinya cemas bukan kepalang. Tidak sanggup rasanya jika sesuatu yang buruk
Read more
Bagian 60
Haykal mendesah resah. Beberapa kali ia menganjur napas berat, mencoba menenangkan pikiran, tetapi nihil. Kecemasannya pada Nur membuatnya tidak bisa tenang sedetik pun. Namun, kemana dia akan mencari? Laki-laki itu mengambil ponsel. Refleks tangannya menggulir gallery, membuka foto Nur yang ia simpan dalam folder sendiri. Sebagai upaya mencintai gadis itu, setiap hari Haykal mengambil gambar Nur dalam banyak posisi, lalu memerhatikan segala yang dia miliki, mencari nilai lebihnya dibandingkan Safira. Akan tetapi, selama ini urung dia temukan. "Kemana kamu, Nur. Abang khawatir sekali. Pulanglah, Nur. Atau telpon. Kasih kabar," lirihnya sembari terus menatapi layar. Kemana lagi dia akan mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya? Lagi, pria itu menghela napas panjang. "Ya Allah. Astagfirullahal'azim. Nur ... kamu di m
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status