Semua Bab Cintaku Terhalang Status: Bab 71 - Bab 80
90 Bab
70. Melepaskan Pria Terbaik
"Makasih, Pak," ucap Mas Vincent seraya menyerahkan sejumlah uang kepada pak sopir. Kami telah tiba di depan Mall. "Sama-sama, Mas. Sebentar saya ambilkan kembaliannya." Pria itu hendak membuka laci yang ada di dekat setir, tetapi Mas Vincent berseru cepat untuk mencegahnya. "Nggak usah, Pak, kan tadi saya bilang mau kasih Bapak bonus buat beli teh dan pisang goreng," larangnya sambil terkekeh. Sang sopir taksi tampak sumringah, mungkin tidak menyangka bonus yang diberikan lebih banyak dari yang diperkirakannya. "Wah, ini banyak sekali lho, Mas. Rejeki nomplok ini." "Nggak apa-apa, Pak." "Jadi senang lho saya," kekehnya dengan senyuman lebar. "Hahaha," Mas Vincent ikut tertawa. "Saya doakan urusannya dengan calon istri Mas lancar ya, cepat naik ke pelaminan," ucap pak sopir dengan segala kesungguhan hati. Ah, si bapak ini, kenapa mesti menyebut lagi bahwa aku ini calon istri Mas Vincent. Yah, setidaknya statusku masih begitu sampai detik ini. "Amin, Pak. Mohon doanya saja," s
Baca selengkapnya
71. Merindukanmu
Kata orang kita baru akan mengerti betapa berharganya seseorang untuk kita, saat sosok itu tidak bersama kita lagi. Itu benar! Baru memandang punggung Mas Vincent yang berjalan perlahan menghilang dari pandangan mataku saja sudah membuat separuh hatiku terasa kosong. Apalagi sekarang, dia tak ada di sini. Seperti ucapannya yang akan menyingkir dari rusun untuk sementara waktu, sudah beberapa hari ini aku tak melihat pria itu. Hatiku semakin hampa, nggak lagi separuh, tapi sepenuhnya. Seolah baru tersadar bahwa sosok Mas Vincent telah mengisi seluruh ruangan khusus di dalam hatiku. Merana banget, apalagi tidak ada kabar darinya. Apakah dia sehat-sehat saja? Apakah dia sudah makan hari ini? Apakah dia sudah berhasil mencari tahu alasan ayahnya tak merestui kami? Apakah masih ada harapan untuk kami bersatu? Banyak yang ingin kutanyakan, namun untuk bertanya kabar duluan aku juga malu. Ah, kacau! Namun, yang merasakan hal itu bukan cuma aku. Anakku juga sedih dan mencari-cari Pip
Baca selengkapnya
72. Kembali ke Kafe
"Kenapa Kak Velove ngeliatin aku kayak gitu? Aku cantik, ya?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Selvi yang begitu penuh kepercayaan diri. "Iya, Selvi. Kamu cantik, cantiiiik banget!" sahutku gemas. Selvi ... bocah satu ini telah menjadi suatu berkat bagiku selama masa kegalauanku. Sikapnya tiba-tiba sangat dewasa. Walau bukan berarti dia bisa memberikan semua solusi yang kubutuhkan, ia siap menemaniku saat aku harus atau ingin pergi ke suatu tempat. Seperti di hari ketika aku rindu dengan teman-teman di kafe, ia menemaniku ke sana. "Nggak apa-apa, Vi, aku bisa sendiri," ucapku untuk menolaknya secara halus. Aku nggak enak hati kalau merepotkan terus-terusan. "Santai aja kali, Kak. Aku jagain aja, mana tahu nanti Kak Velo limbung di jalan karena teringat Bang Vincent," celetuknya seenak hati. "Ish, aneh-aneh saja kamu ini." Masih saja sempat menggoda lho, anak satu ini. "Tenang saja, Mamak pasti kasih izin, yang penting pulangnya jangan kayak waktu Kak Velo masih kerja dulu," ja
Baca selengkapnya
73. Reuni Tak Terduga
"Duh, rame banget ini, Vi," keluhku di tengah kerumunan massa di dalam gedung ini. "Namanya nonton konser beneran memang kayak begini, Kak. Wuhuu!" Anak tetanggaku itu menggoyangkan tubuhnya dengan antusias, tanpa memedulikan keluhanku. Saat ini kami berada di mall T, bukan mall yang biasa kami datangi. Demi balas budi pada Selvi yang sudah selalu menemaniku, siang ini aku gantian menemani dia menonton acara live music Band Biru. Namanya memang lucu, Band Biru, kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris kan jadi merk margarin tuh. Selvi katanya lagi tergila-gila dengan vokalisnya yang bersuara serak-serak basah, dan wajahnya sedikit mirip Donghae Super Junior ... kata Selvi. "Selamat siang semuanya ...," seru sang vokalis mulai menyapa penonton. Kalau diperhatikan sebenarnya dia nggak mirip-mirip amat sama Donghae, agak halu memang penggemarnya. Cuma senyumannya lumayan mendekati senyum si anggota boyband K-Pop itu. "Siaaaang!" "Wuhuuuhuuu ...!" "Tony ... Tony ... I love you!"
Baca selengkapnya
74. Pria Sejati Tidak Akan Mundur
Berbicara dengan Erick bukanlah hal yang sulit, yang sulit memulainya. Sudah beberapa bulan ini kami tidak berkomunikasi. Palingan ketika aku mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningku untuk Ricky, aku mengirimi dia pesan singkat untuk berterima kasih. Itu pun hanya dijawabnya dengan singkat, hingga kami terbiasa seperti itu karena kesibukan serta kehidupan masing-masing. Dan kini, sejak hubunganku dengan Mas Vincent terhalang restu ayahnya, aku teringat pada Erick. Tentu saja bukan untuk mengajaknya balikan, itu tak mungkin terjadi, tapi aku ingin berkonsultasi dengannya ... jika memungkinkan. Maka siang itu aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat padanya, berharap dia akan menanggapi. Kalaupun kami tidak bisa berbicara di telepon, aku masih bisa bercerita dengannya melalui chat. 'Hai, Papa Ricky! Apa kabar?' begitu kutuliskan dalam pesanku. Ah, sapaan itu terdengar sedikit licik. Ketimbang menyebutnya dengan namanya, aku menggunakan panggilan 'Papa Ricky'. Dan
Baca selengkapnya
75. Mengejar Restu
Belahan Jiwa. Untuk kali pertama dalam hidupku aku memahami makna sebutan ini. Seseorang itu telah menempati seluruh ruang di hatiku, hingga tak ada sisa cinta untuk yang lain. Dan ketika orang itu pergi, aku merasakan apa yang dikatakan Mas Anang Hermansyah, "Separuh jiwaku pergi ...." Ada momen dan tempat yang mengingatkanku akan sosok itu dan kebersamaan dengannya yang begitu manis, sampai nggak bisa dilupakan. Sudah hampir sebulan berlalu sejak Mas Vincent meninggalkan rusun. Dan nggak ada kabar darinya sama sekali. Sungguh tega kamu, Mas! Aku sendiri, meskipun rindu serindu-rindunya, tidak punya keberanian untuk menghubunginya duluan. Entahlah, aku bingung bagaimana harus memulainya, selain karena aku merasa malu tentunya.Walaupun sudah banyak yang mendukungku, aku masih ragu untuk memulai duluan. Mana tahu pria itu berubah pikiran, dan ingin mundur.Lagi-lagi aku mengkeret karena berpikir kalau dia mungkin menemukan perempuan yang lebih baik dariku. Atau jangan-jangan dia l
Baca selengkapnya
76. Eksekusi
"Mas, kamu serius dengan rencana ini?" tanyaku masih sulit percaya. "Serius lah!" jawabnya kalem. "Yakin?" Aku masih belum menyerah. "Yakin dong! Kenapa tiba-tiba kamu nanya kayak gitu? Kamu jadi nggak yakin?" Mas Vincent menatapku dengan tatapan mata jenaka, sayangnya aku terlalu tegang untuk tertawa. "Ya, bukan gitu juga sebenarnya, aku mengkhawatirkan Ricky saja," dalihku. Aku memandang Mas Vincent dengan wajah cemas. Bukan hanya aku yang terlibat sekarang, anakku juga. Kok bisa? Strategi pertama yang diusulkan kekasihku adalah mendapatkan hati ibunya. Kalau bapaknya masih sulit, dekati dulu istrinya agar nanti ia bisa mendukung kami dan membujuk suaminya yang keras kepala itu. "Mami 'kan suka anak kecil, apalagi cucunya tinggal jauh dari sini. Jadi kita coba mendekatkan Ricky dengan Mami. Kalau Mami sudah suka sama Ricky, ia pasti akan menerima kamu juga," usul Mas Vincent penuh keyakinan. Masuk akal sih, tapi tetap saja aku merisaukan anakku. Bagaimana kalau nanti dia ti
Baca selengkapnya
77. Interogasi
"Eh, anu ... itu ... Mami, eh, Ibu, eh, Tante ...." Dalam upaya bersikap sopan aku mencoba berbicara, namun hasilnya aku malah terbata-bata. Tubuhku lemas sekali, tetapi aku harus kuat bertahan dan berdiri. Lebih parah lagi ibunda Mas Vincent menatapku tajam. Nyaliku entah lenyap ke mana, hilang bersama pintu yang ditutup kasar tadi. "Ah, eh, ah, eh. Kamu sudah sarapan?" Pertanyaan yang tidak terduga. Kupikir si Mami bakalan langsung marah-marah, eh, malah nanyain aku sudah sarapan atau belum. "Sudah, Tante," jawabku takut-takut. "Ya sudah, ayo temani saya makan," titahnya, sembari menggandeng Ricky dan mengajaknya masuk ke ruangan dalam. Lah, padahal kujawab aku sudah sarapan, kenapa malah diajak? Duh, kalau kayak gini, feeling-ku bilang kalau aku bakalan diinterogasi sama Kanjeng Mami. Benar saja, tak ada basa-basi, aku langsung disuruh duduk, ambil makanan dari meja, dan makan. Lah, padahal aku bilang sudah sarapan, dan Mami cuma bilang minta ditemani, kok malah disuruh maka
Baca selengkapnya
78. Diskusi
Aku dan Mami tenggelam dalam kebersamaan. Mami sibuk dengan ceritanya, dan aku fokus mendengarkannya, hingga kami tak sadar, ada mobil yang berhenti di depan rumah. Mungkin juga karena kami berada di ruang tengah sehingga tidak mendengar suara mesin kendaraan itu. Di tengah keasyikan kami, tiba-tiba terdengar suara pintu depan terbuka, dan langkah kaki memasuki rumah. "Siapa itu, Velove?" tanya Mami dengan suara yang terdengar mengandung suspense. Mata Mami melirik ke ruang tamu, sedangkan aku tercengang dengan kedua tangan di dada, mencoba menenangkan debaran jantungku yang seolah meronta-ronta. Jangan sampai jantungku copot, mahal biaya memasang kembali. Aku memejamkan mata sejenak, berharap untuk memiliki keberanian jika orang yang datang itu adalah si Papi. "Kok sudah ke mari, Kangmas? Bukannya kamu mau datang sore?" tanya Mami dengan suara ramah kepada orang itu. Lalu sosok itu muncul dengan senyuman lebar di wajahnya. "Pipiii!" Anakku berseru girang, dan berlari menyambu
Baca selengkapnya
79. Agresi
"Hahahaha." "Hahaha, lucu banget, Mi! Hahaha." Suara tawa pasangan ibu dan anak itu memenuhi seluruh ruangan. Aku sendiri hanya bisa meringis, mau ikut tertawa keras seperti mereka, takut nanti kualat. "Kan sudah Mami bilang, Papi tuh mesti diluluhin pakai makanan. Juragan makanan, mesti beneran disuap pakai makanan juga. Hahaha." "Hahaha." Kembali mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Strategi pertama yang kami gunakan untuk 'menyerang' Papi adalah menaklukkan hatinya dengan hal yang ia sukai, makanan. Dan seolah sangat kebetulan, makanan kesukaan Om Setiawan, si Papi, adalah kacang; segala macam kacang. Mulai dari kacang tanah, kacang hijau, kacang polong, hingga kacang merah. Untung saja dia nggak kena asam urat. Maka minggu lalu kami memberikan kacang buatanku, semua rasa, termasuk rasa cinta yang kami perjuangkan, eh, kepada Mami untuk diberikan pada suaminya. Papi tentu saja berbunga-bunga, dan dengan santai menikmati kacangnya, hingga dalam hitungan hari kacang itu suda
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status