Semua Bab BALADA CINTA FANI (Sekuel Nafkah Lima Belas Ribu): Bab 11 - Bab 20
120 Bab
Bagian 11
Part 11Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah."Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.Fani bergeming tak menjawab."Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas."Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de
Baca selengkapnya
Bagian 12
Fani masih berdiri seperti patung. Tidak menyangka sama sekali, bila Ilma yang selama ini ia kenal sebagai gadis alim, menjelma menjadi seorang gadis yang tidak memiliki belas kasihan.  Hanya karena seorang lelaki yang belum tentu menjadi jodoh siapa, dirinya tega menghancurkan jerih payah yang telah ia jalani selama berbulan-bulan.  'Apakah benar dugaanku bila dia dalang dibalik dibatalkannya skripsi aku?' ragunya dalam hati.  Ada sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi misteri. Bila iya, Ilma yang menyebabkan semua ini, bagaimana bisa dia melakukannya?   Fani pulang dengan langkah gontai. Menapaki jalan yang tertutup paving dengan perasaan sedih.   Sampai di tempat kost, dirinya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Setelahnya, membaringkan tubuh dan menarik selimut hi
Baca selengkapnya
Bagian 13
"Mbak Nia, Fani sepertinya sedang merasa tertekan ini, Mbak," ujar Ilma lagi. "Tadi gak kenapa-kenapa ya, Mbak? Kenapa sekarang jadi nangis? Kamu kenapa, Fan?" Ilma heboh sendirian. Doni menangkap ada yang tidak beres dari gadis yang sedari tadi mendominasi pembicaraan.  Pun dengan Dinda. Gadis itu menoleh dan menatap tajam pada Ilma. "Mbak Nia, sepertinya Fani butuh ketenangan. Apa tidak sebaiknya tidak terlalu banyak orang di ruangan ini?" usul Dinda dengan terus menatap pada Ilma.   "Oh, iya, ayo, kita keluar. Biarkan Fani istirahat. Mbak Nia sama Ibu aja yang jagain. Kita semua keluar," ajak Ilma seolah dirinya memiliki kekuasaan untuk mengatur di sana.   "Kenapa kamu yang heboh sih?" tanya Dinda kesal.  "Aku hanya mengusulkan, supaya Fani bisa istirahat,"  "Tapi da
Baca selengkapnya
Bagian 14
Ibu Nia memberi isyarat pada putri bungsunya untuk diam. Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada Umar yang komat-kamit dan mengangkat kedua tangan. "Allahumma sholli 'ala sayyidina muhammadin tibbil qulubi waadawaiha waafiati abdaniwasyifaiha ...." Umar melantunkan sholawat tibbil qulub yang diketahui sholawat untuk mendoakan orang yang sakit dengan suara merdu.   Seketika semuanya hanyut dalam lantunan suara Umar. Terasa menyejukkan hingga semua yang ada di dalam ruangan ikut bersholawat. Rasa benci pada sosok aneh yang berdiri dengan menengadahkan kedua tangan seketika sirna dalam hati Nia.   "Tolong semuanya diam tidak usah ikut-ikutan! Kalian ini jangan sembarangan mengamalkan suatu doa tanpa ijazah dari Kyai sepuh. Jatuhnya malah menjadi sebuah kutukan. Banyak orang yang kemudian gila karena mengamalkan ilmu yang belum mereka pelajari." Suara bariton Umar
Baca selengkapnya
Bagian 15
POV YUDA   Gadis menyebalkan. Sukanya teriak-teriak. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Tapi, kenapa aku merasa kehilangan, bila dirinya tidak terlihat di dalam kelas?    Saat di pagi hari tubuh ini melewati pintu ruangan tempat dimana kami menimba ilmu, ekor mata ini selalu menyapu seluruh sudut, mencari dia untuk membuat sedikit kegaduhan.    "Fan, kenapa pakai jilbab warna merah? Udah jelek, tambah jelek tahu? Kayak emak-emak mau beli ikan asin, tau?"    "Tau dong! Kan yang jadi kuli panggul ikan asinnya, kamu!" jawabnya enteng. Membuat aku selalu diam tak berkutik.   Sepertinya sudah menjadi kewajiban saat berhadapan dengannya , mulut ini setiap hari harus melempar ejekan pada gadis minim adab itu.&
Baca selengkapnya
Bagian 16
Aku biarkan Fani pulang. Menatap punggungnya yang semakin menjauh. Jilbab yang ia kenakan melambai-lambai diterpa angin.         Ada rasa yang sulit untuk aku ungkapkan saat dekat dengannya. Meskipun hubungan kami seperti Tom dan Jerry.       *     Berita Fani yang sakit sudah terdengar di kelas. Aku merasa, dia tertekan dengan apa yang menimpanya yang disebabkan oleh Ilma.         Oleh karenanya, aku berniat untuk mencari tahu, kenapa bisa Ilma berbuat sejauh itu. Dan ada sebuah nama yang sering mereka sebut. Doni!         Siang itu, aku bertemu dengan Pak Arya di depan salah satu kelas. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan untuk mencari tahu perihal pembatalannya skripsi Fani.      
Baca selengkapnya
Bagian 17
Feeling Yuda tepat. Ada sesuatu yang dilakukan Ilma untuk bisa menjatuhkan Fani.  Tak berapa lama, Alex datang. Dan kedua pemuda itu langsung meluncur pulang ke tempat kost.  Malam harinya, Yuda diam. Alih-alih ingin berkonsentrasi melanjutkan mengerjakan skripsi, dirinya malah berpikir keras bagaimana caranya berbicara dengan Ilma perihal apa yang menimpa Fani.  "Yud! Mau nongkrong gak?" tanya Alex sambil menepuk bahu teman akrabnya keras.  "Gak! Lagi males!"  "Aku mau main ke tempat kost Si Putri. Di sana tuh, ceweknya cantik-cantik tahu!"   "Terus kalau ceweknya cantik, kamu mau apa? Dari dulu cari gebetan gak dapat-dapat juga!"  "Kamu kan tahu, Mamakku udah berpesan kalau aku tidak boleh pacaran. Ke sana sekadar cari vitamin. Yuk, a
Baca selengkapnya
Bagian 18
Ketika keluar dari mushola, Yuda melihat Ilma di sana. Menenteng beberapa buku, khas mahasiswa pintar.     "Il!" sapa Yuda.     "Eh, Yuda," jawab Ilma dengan bibir tertarik membentuk seuntai senyum manis.     "Lancar skripsinya?" tanya Yuda basa-basi. Baru kali ini dirinya mengajak gadis yang terkenal alim itu berbincang.     "Alhamdulillah, doanya ya?"     "Amin ... pembimbing skripnya Pak Juan ya?" Mendengar pertanyaan Yuda, Ilma menarik kembali senyumnya.     "Bukan, kenapa?"     "Gak papa! Kok kemarin sore ke rumah Pak Juan sendirian? Emang, boleh ya, wanita mengunjungi pria yang sendirian di rumah? Apalagi yang datang seorang Ilma, lho! Hanya berdua lagi dengan beliau! Bukankah bila seorang orang laki-laki dan perempuan bersama, yang ketiga ada
Baca selengkapnya
Bagian 19
POV DONI  IIlma, gadis cerdas dan manis yang sejak kecil aku kenal.  Bapaknya, Haji Jamal, merupakan juragan beras di kampungku. Beberapa warga yang tidak merantau ke kota besar memilih untuk bekerja pada beliau. Pun dengan bapakku.  Aku adalah sulung dari empat bersaudara. Dua adikku laki-laki sedangkan yang terakhir perempuan. Saat aku berusia sepuluh tahun, Si Bungsu baru berumur satu tahun.  Seringkali bila libur sekolah, Bapak mengajakku membantu bekerja di toko Haji Jamal. Di sanalah kemudian, aku dan Ilma menjadi akrab. Dia tidak diperbolehkan bermain jauh. Sehingga boleh dikatakan, hampir tidak memiliki teman.  Di sekolah, peringkat yang kudapatkan selalu berada dalam tiga besar. Dan itu sudah menjadi sebuah rahasia umum sampai Haji Jamal-pun tahu. Sehingga, saat melihatku membantu pekerjaan Bapak, beliau ma
Baca selengkapnya
Bagian 20
Pak Irsya hanya memberi bayaran padaku cukup untuk uang jajan karena aku meminta tolong untuk uang gaji ditabung agar bisa kuliah.  Sungguh, anugerah yang luar biasa yang Allah berikan.  Aku tidak pernah berkhayal bisa kuliah, meskipun setiap malam, seringkali aku terbangun untuk sekadar bercengkrama dengan Rabb-ku. Tapi, tiada pernah terucap harapan ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi.  Kami berempat selalu diajarkan untuk tidak jauh dari Allah. Bekal ilmu agama yang Bapak berikan sejak kecil, masih kami terapkan sampai sekarang. Sehingga, meskipun hidup dalam keadaan pas untuk makan, aku dan adik-adik tidak pernah mengeluh.  Suatu ketika, saat membawa mobil Pak Irsya seorang diri, mendadak tenggorokan ini kering. Segera kutepikan kuda besi yang aku tumpangi dan mampir ke sebuah toko kelontong yang sudah berada di wilayah kecamatan. Kebet
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status