Ibu Nia memberi isyarat pada putri bungsunya untuk diam. Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada Umar yang komat-kamit dan mengangkat kedua tangan.
"Allahumma sholli 'ala sayyidina muhammadin tibbil qulubi waadawaiha waafiati abdaniwasyifaiha ...." Umar melantunkan sholawat tibbil qulub yang diketahui sholawat untuk mendoakan orang yang sakit dengan suara merdu.
Seketika semuanya hanyut dalam lantunan suara Umar. Terasa menyejukkan hingga semua yang ada di dalam ruangan ikut bersholawat. Rasa benci pada sosok aneh yang berdiri dengan menengadahkan kedua tangan seketika sirna dalam hati Nia.
"Tolong semuanya diam tidak usah ikut-ikutan! Kalian ini jangan sembarangan mengamalkan suatu doa tanpa ijazah dari Kyai sepuh. Jatuhnya malah menjadi sebuah kutukan. Banyak orang yang kemudian gila karena mengamalkan ilmu yang belum mereka pelajari." Suara bariton Umar
POV YUDAGadis menyebalkan. Sukanya teriak-teriak. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Tapi, kenapa aku merasa kehilangan, bila dirinya tidak terlihat di dalam kelas?Saat di pagi hari tubuh ini melewati pintu ruangan tempat dimana kami menimba ilmu, ekor mata ini selalu menyapu seluruh sudut, mencari dia untuk membuat sedikit kegaduhan."Fan, kenapa pakai jilbab warna merah? Udah jelek, tambah jelek tahu? Kayak emak-emak mau beli ikan asin, tau?""Tau dong! Kan yang jadi kuli panggul ikan asinnya, kamu!" jawabnya enteng. Membuat aku selalu diam tak berkutik.Sepertinya sudah menjadi kewajiban saat berhadapan dengannya , mulut ini setiap hari harus melempar ejekan pada gadis minim adab itu.&
Aku biarkan Fani pulang. Menatap punggungnya yang semakin menjauh. Jilbab yang ia kenakan melambai-lambai diterpa angin. Ada rasa yang sulit untuk aku ungkapkan saat dekat dengannya. Meskipun hubungan kami seperti Tom dan Jerry. * Berita Fani yang sakit sudah terdengar di kelas. Aku merasa, dia tertekan dengan apa yang menimpanya yang disebabkan oleh Ilma. Oleh karenanya, aku berniat untuk mencari tahu, kenapa bisa Ilma berbuat sejauh itu. Dan ada sebuah nama yang sering mereka sebut. Doni! Siang itu, aku bertemu dengan Pak Arya di depan salah satu kelas. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan untuk mencari tahu perihal pembatalannya skripsi Fani.
Feeling Yuda tepat. Ada sesuatu yang dilakukan Ilma untuk bisa menjatuhkan Fani.Tak berapa lama, Alex datang. Dan kedua pemuda itu langsung meluncur pulang ke tempat kost.Malam harinya, Yuda diam. Alih-alih ingin berkonsentrasi melanjutkan mengerjakan skripsi, dirinya malah berpikir keras bagaimana caranya berbicara dengan Ilma perihal apa yang menimpa Fani."Yud! Mau nongkrong gak?" tanya Alex sambil menepuk bahu teman akrabnya keras."Gak! Lagi males!""Aku mau main ke tempat kost Si Putri. Di sana tuh, ceweknya cantik-cantik tahu!""Terus kalau ceweknya cantik, kamu mau apa? Dari dulu cari gebetan gak dapat-dapat juga!""Kamu kan tahu, Mamakku udah berpesan kalau aku tidak boleh pacaran. Ke sana sekadar cari vitamin. Yuk, a
Ketika keluar dari mushola, Yuda melihat Ilma di sana. Menenteng beberapa buku, khas mahasiswa pintar. "Il!" sapa Yuda. "Eh, Yuda," jawab Ilma dengan bibir tertarik membentuk seuntai senyum manis. "Lancar skripsinya?" tanya Yuda basa-basi. Baru kali ini dirinya mengajak gadis yang terkenal alim itu berbincang. "Alhamdulillah, doanya ya?" "Amin ... pembimbing skripnya Pak Juan ya?" Mendengar pertanyaan Yuda, Ilma menarik kembali senyumnya. "Bukan, kenapa?" "Gak papa! Kok kemarin sore ke rumah Pak Juan sendirian? Emang, boleh ya, wanita mengunjungi pria yang sendirian di rumah? Apalagi yang datang seorang Ilma, lho! Hanya berdua lagi dengan beliau! Bukankah bila seorang orang laki-laki dan perempuan bersama, yang ketiga ada
POV DONIIIlma, gadis cerdas dan manis yang sejak kecil aku kenal.Bapaknya, Haji Jamal, merupakan juragan beras di kampungku. Beberapa warga yang tidak merantau ke kota besar memilih untuk bekerja pada beliau. Pun dengan bapakku.Aku adalah sulung dari empat bersaudara. Dua adikku laki-laki sedangkan yang terakhir perempuan. Saat aku berusia sepuluh tahun, Si Bungsu baru berumur satu tahun.Seringkali bila libur sekolah, Bapak mengajakku membantu bekerja di toko Haji Jamal. Di sanalah kemudian, aku dan Ilma menjadi akrab. Dia tidak diperbolehkan bermain jauh. Sehingga boleh dikatakan, hampir tidak memiliki teman.Di sekolah, peringkat yang kudapatkan selalu berada dalam tiga besar. Dan itu sudah menjadi sebuah rahasia umum sampai Haji Jamal-pun tahu. Sehingga, saat melihatku membantu pekerjaan Bapak, beliau ma
Pak Irsya hanya memberi bayaran padaku cukup untuk uang jajan karena aku meminta tolong untuk uang gaji ditabung agar bisa kuliah.Sungguh, anugerah yang luar biasa yang Allah berikan.Aku tidak pernah berkhayal bisa kuliah, meskipun setiap malam, seringkali aku terbangun untuk sekadar bercengkrama dengan Rabb-ku. Tapi, tiada pernah terucap harapan ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi.Kami berempat selalu diajarkan untuk tidak jauh dari Allah. Bekal ilmu agama yang Bapak berikan sejak kecil, masih kami terapkan sampai sekarang. Sehingga, meskipun hidup dalam keadaan pas untuk makan, aku dan adik-adik tidak pernah mengeluh.Suatu ketika, saat membawa mobil Pak Irsya seorang diri, mendadak tenggorokan ini kering. Segera kutepikan kuda besi yang aku tumpangi dan mampir ke sebuah toko kelontong yang sudah berada di wilayah kecamatan. Kebet
"Fan, apa kamu akrab sama Ilma?" tanya Nia setelah melihat Fani sudah terlihat lebih baik keadaannya."Dia, kelas sebelah. Hanya tahu saja, Mbak. Gak kenal," jawab Fani sambil memainkan ponsel."Oh, kok dia jengukin kamu ke sini, ya?" Nia berusaha memancing."Karena Doni, mungkin!" jawab Fani asal."Apa Ilma suka Doni?""Mbak apaan sih, tanya kayak gitu sama aku? Tanya coba sama Si Ilma.""Apa kamu seperti ini karena IIma? Apa.yang dia lakukan sama kamu, Fani?" tanya Nia terus mendesak membuat Fani gelagapan.Pembicaraan mereka terhenti karena ada suami Nia yang tiba-tiba datang.*Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya, Fani diperbolehkan pula
Mereka masuk ke mobil masing-masing. Ilma menggandeng Dinta dan Danis yang terlihat langsung akrab. Sampai di rumah Pak Irsya, Ilma segera turun lebih dulu dan membukakan pintu. Mereka semua masuk rumah. "Il, buatkan teh, ya!" perintah Pak Irsya membuat Nia menggeleng kecil dengan bola mata seakan memprotes. "Gak papa, dia biasa ke sini dulu. Kamu capek beberapa hari di rumah sakit. Ayo, duduklah! Istirahat," jawab Pak Irsya berbisik di telinga Nia. Namun, istrinya itu tidak peduli. Setelah meletakkan barang pribadinya selama di rumah sakit, dirinya justru masuk ke dapur. "Gak usah, Il. Aku aja yang buat," ujar Ilma setelah sampai di ruang memasak. "Oh, gak papa, Mbak! Aku bisa kok. Aku dulu beberapa kali diajak Mas Doni ke sini. Jauh sebelum Mbak Nia datang.