All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 61 - Chapter 70
158 Chapters
Part 56
 "Ma, adeknya boleh dicium, enggak?" tanya Syifa sambil memperhatikan adeknya yang tidur di box bayi. Dia baru dijemput papanya habis Maghrib ini dari rumah Ibu. "Boleh," jawabku sambil tersenyum. Aku hendak berdiri dari dudukku, tapi Mas Ilham menahan. "Biar Mas saja yang gendong." Mas Ilham mengendong putranya untuk di dekatkan dengan sang kakak. Mereka bertiga duduk di sofa depan brankar. Syifa mencium adeknya berkali-kali. Mengelus pipi kemerahan itu dengan gemas. Membuat bayi yang masih merah dalam bedong itu terusik. Kepalanya bergerak-gerak tapi tidak terbangun. "Adek namanya siapa, Pa?" "Abian." "Abian?" "Iya, bagus, 'kan?" jawab Mas Ilham sambil memandang putrinya. Abian Aarav Bagaskara, nama yang kami berikan untuk pangeran kecil kami. Syifa mengangguk senang. Aku melihat ke
Read more
Part 57
 Acara aqiqah Abian baru saja selesai. Mama dan para saudara sudah pamitan pulang. Aku masuk kamar dengan rasa lelah. Ingin segera berbaring dan istirahat. Namun, Abian mulai rewel, bahkan setelah minum ASI. "Mungkin dia masih lapar, Vi. Coba kasih ASI lagi," kata Ibu yang masuk ke kamar kami.  Ibu menungguku yang sedang menyusui. Namun Abian tidak mau minum ASI lagi. Mungkin sudah kenyang karena hampir dua puluh menit dia minum tadi. Aku sampai bingung, hingga Mas Ilham masuk kamar setelah selesai Salat Isya. "Kenapa rewel? Sini Papa gendong." Tanpa berganti baju dulu, Mas Ilham mengambil Abian dari pangkuanku. Baru diayun sebentar putra kecil kami diam dan terlelap. Sejak dia lahir, seperti memiliki ikatan batin dengan papanya. Padahal waktu proses kelahirannya tidak ditunggui. Ibu berdiri dan mendekati cucunya. "Manja sama papanya dia, nih," ucap Ibu sambil m
Read more
Part 58
Part 58 [Hari ini, Mas pulang telat, enggak?] Aku mengirim pesan untuk Mas Ilham di jam istirahatnya siang itu. [Insya Allah, tidak Sayang. Ada apa? Mau dibelikan sesuatu?] Balas Mas Ilham beberapa menit kemudian. [Enggak ada. Aku cuman tanya aja.] Tidak lama setelah balasan pesanku terkirim, Mas Ilham menelepon. "Ada apa?" tanya Mas Ilham buru-buru. Ada nada cemas dalam suaranya. Mungkin karena aku tidak biasa menanyakan hal itu. "Enggak apa-apa. Aku tunggu di rumah." Agak lama baru terdengar jawaban, "Ya." Telepon kututup. Aku ke belakang, menyiapkan botol ASI untuk menampung air susu yang akan ku pompa nanti. Harus menyediakan cukup untuk semalam.  Aku sudah bilang ke Ibu kalau aku dan Mas Ilham akan keluar malam ini. Ibu akan ditemani Budhe untuk
Read more
Part 59
Part 59 Mas Ilham membuang pandangan pada hujan di luar. Napasnya tersengal sebentar saat menahan emosi. Untuk beberapa saat kami terdiam.  Rasa sesak juga menghimpit dadaku sendiri. Tidak kupungkiri aku masih mencintainya, rasa sakit dan kecewa tidak merubah segalanya.  "Kenapa kita harus berpisah? Mas mencintaimu dan anak-anak. Berikan Mas kesempatan, Vi," ucapnya sendu. "Aku hanya enggak ingin terluka lagi, Mas. Masalah kita yang kemarin sudah kumaafkan meski mungkin aku enggak akan bisa melupakan. Tapi aku takut, kelak akan ada Nura-Nura yang lain. Mas pria yang mapan. Karier Mas cemerlang, Mas juga tampan, berada di lingkaran pergaulan kelas atas. Jujur aku takut dikecewakan lagi. Aku takut Mas mengkhianati pernikahan kita lagi. Perempuan seperti Nura akan mengincar pria seperti, Mas. Tidak peduli beristri atau belum." Mas Ilham menatapku lekat sambil mendekat. Dia
Read more
Part 60
 "Antarkan Mama ke toilet, Vi," pinta Mama padaku. "Biar saya saja yang ngantar, Tante," sahut Nura cepat sambil berdiri. "Enggak usah, terima kasih. Biar Vi saja," tolak Mama halus. Aku segera berdiri dan memapah beliau. Sedangkan tangan kiriku membawakan infusnya. Mama sudah jauh lebih baik. Tubuhnya cukup kuat untuk berjalan, tidak gemetar seperti kemarin.  "Sini saya bantuin, Ma," ucapku setelah meletakkan infus di capstok. Biar aku dapat membantu Mama membuka celananya. Wanita itu menahan tanganku sambil menggeleng. "Mama enggak pengen kencing," bisiknya pelan. Kemudian beliau memutar keran air. "Jangan hiraukan semua ucapan dia. Kamu harus kuat dan hati-hati. Bertahanlah dengan Ilham, jaga rumah tangga kalian. Kasihan anak-anak." Mama bicara sangat lirih di dekat telingaku. Tatapan netranya pen
Read more
Part 61
 Suasana makin gelap. Hujan juga belum berhenti. "Mas, apa ada yang ingin kamu bicarakan lagi? Ini sudah mau Maghrib" tanyaku memandang Mas Ilham. "Tidak ada, kita pulang sekarang. Kasihan anak-anak menunggu di rumah." "Pulanglah kalian. Nggak perlu mengantarku. Aku bisa pulang sendiri." Nura berkata pelan tanpa memandang kami. "Aku hanya ingin minta maaf padamu, Vi. Aku telah menyakitimu selama ini. Aku juga ingin minta maaf pada Mas Ilham. Maaf, karena aku pernah memanfaatkan keadaan." Perempuan itu bicara dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan isak. Aku sebenarnya terkejut saat dia bicara tentang maaf.  Hatiku tersentuh, entah kenapa aku melihat luka yang menganga di netranya. Jemarinya menyentuh mata dan melepas soft lens yang dipakainya, lantas membuangnya begitu saja. Melihat ambisinya yang selama ini menggebu-gebu, apakah penyesalannya ini su
Read more
Part 62
Part 62 Bunyi ponsel berdering tanpa henti. Sementara aku masih sibuk mengganti diaper Abian. Apalagi anaknya bakalan rewel kalau buang air besar tapi tidak segera diganti popoknya. Akhirnya kuambil ponsel dan menjepitnya antara bahu dan telinga. Misalnya ku loud speaker juga percuma, pasti suaranya tidak begitu jelas. "Halo, Mas." "Kenapa tidak lekas di angkat teleponnya, mumpung Mas dapat signal bagus ini," omelnya. "Maaf, aku lagi ganti popoknya Abian. Tahu sendiri kan dia bakalan rewel kalau popoknya enggak segera di ganti. Mas sudah makan siang apa belum?" Aku melangkah ke dekat jendela kamar setelah selesai mengganti popok. Abian sendirian di atas kasur. "Sudah baru saja. Syifa sudah pulang sekolah? Mana dia, Mas mau bicara." "Lagi main di toko. Nanti saja kalau Mas telepon lagi baru ngomong sama Syifa. Enggak t
Read more
Part 63
Part 63  Selesai menidurkan Abian pagi itu, aku cepat-cepat berganti baju. Aku mau ke supermarket sebentar untuk membeli diaper untuk Abian, beberapa peralatan menulis untuk Syifa, dan membeli keperluanku sendiri. Abian dijaga Budhe yang sambil masak di dapur. Aku hanya melapisi kaos dengan jaket, memakai hijab instan, mengambil dompet, lantas menyambar kunci motor di gantungan kunci belakang pintu rumah. Suasana pagi ini tidak begitu panas. Angin juga semilir. Lalu lintas yang lengang membuatku cepat sampai ke tujuan. Troli ku dorong menuju rak perlengkapan bayi. Mengambil beberapa kebutuhan Abian lantas berlanjut ke rak keperluan sekolah. Ponsel di dompet berdering saat aku memilih perlengkapan sekolahnya Syifa. Sepagi ini Mas Ilham menelepon. "Halo, Assalamu'alaikum Mas." "Wa'alaikumsalam. Lagi di mana ini. Ko
Read more
Part 64
 Ilham's POV Seminggu di lokasi baru benar-benar menyita tenaga dan pikiran. Bagaimana tidak, melihat amburadulnya proyek dan laporan keuangan yang banyak ketimpangan di sana sini, membuat kepala nyut-nyutan. Dan seminggu ini tim kami belum melakukan pekerjaan apapun selain merombak sistem kerja dan mencari solusi untuk pembenahan yang lebih cepat. Belum lagi para pekerja yang susah di atur. Mungkin ini yang membuat pengurus lama angkat tangan dan memilih pergi. Tapi mirisnya mereka pun melakukan banyak laporan keuangan palsu. Memang paket komplit lah tim kerja sebelumnya. Resort ini terletak di daerah pantai, di sebuah pulau dengan hutannya yang masih lebat. Resort ini mengutamakan potensi alam dan laut sebagai daya tariknya. Pemandangan ke arah laut, keindahan pantai, dan fasilitas olahraga air dimanfaatkan sebagai pertimbangan utama desain bangunan. Namun konsep awal yang sangat menar
Read more
Part 65
 Ilham's POV Ponsel kumasukkan ke saku. Lega bisa bicara sama Vi dan Syifa. Kehadiran Abian menyelamatkan rumah tangga kami. Meski waktu itu Vi tetap ngotot belum ingin punya anak lagi, akhirnya lahir Abian juga. "Kenapa aku hamil, ya, Mas? Padahal kita selalu pakai pengaman?" tanya Vi heran campur bingung saat itu. Sepulang opname dari rumah sakit. "Ini rezeki, Sayang," jawabku. Dia tidak tahu, kalau dia lupa minum pil dan memintaku harus pakai pengaman. Benda itu diam-diam kubuat berlubang. Akhirnya sukses, bukan? Itu rahasia Mas, Vi. Ketika hendak berdiri dan kembali ke kantor, seorang wanita setengah baya menghampiri. Namanya Bu Asmi. Tukang masak yang juga mencucikan bajuku. "Pak Ilham, saya izin mau naruh baju ke kamar, ya," ucap Bu Asmi sopan. "Ya, Bu. Silakan." Bu Asmi melangk
Read more
PREV
1
...
56789
...
16
DMCA.com Protection Status