Part 62
Bunyi ponsel berdering tanpa henti. Sementara aku masih sibuk mengganti diaper Abian. Apalagi anaknya bakalan rewel kalau buang air besar tapi tidak segera diganti popoknya.
Akhirnya kuambil ponsel dan menjepitnya antara bahu dan telinga. Misalnya ku loud speaker juga percuma, pasti suaranya tidak begitu jelas.
"Halo, Mas."
"Kenapa tidak lekas di angkat teleponnya, mumpung Mas dapat signal bagus ini," omelnya.
"Maaf, aku lagi ganti popoknya Abian. Tahu sendiri kan dia bakalan rewel kalau popoknya enggak segera di ganti. Mas sudah makan siang apa belum?"
Aku melangkah ke dekat jendela kamar setelah selesai mengganti popok. Abian sendirian di atas kasur.
"Sudah baru saja. Syifa sudah pulang sekolah? Mana dia, Mas mau bicara."
"Lagi main di toko. Nanti saja kalau Mas telepon lagi baru ngomong sama Syifa. Enggak t
Part 63Selesai menidurkan Abian pagi itu, aku cepat-cepat berganti baju. Aku mau ke supermarket sebentar untuk membeli diaper untuk Abian, beberapa peralatan menulis untuk Syifa, dan membeli keperluanku sendiri.Abian dijaga Budhe yang sambil masak di dapur.Aku hanya melapisi kaos dengan jaket, memakai hijab instan, mengambil dompet, lantas menyambar kunci motor di gantungan kunci belakang pintu rumah.Suasana pagi ini tidak begitu panas. Angin juga semilir. Lalu lintas yang lengang membuatku cepat sampai ke tujuan.Troli ku dorong menuju rak perlengkapan bayi. Mengambil beberapa kebutuhan Abian lantas berlanjut ke rak keperluan sekolah.Ponsel di dompet berdering saat aku memilih perlengkapan sekolahnya Syifa. Sepagi ini Mas Ilham menelepon."Halo, Assalamu'alaikum Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi di mana ini. Ko
Ilham's POVSeminggu di lokasi baru benar-benar menyita tenaga dan pikiran. Bagaimana tidak, melihat amburadulnya proyek dan laporan keuangan yang banyak ketimpangan di sana sini, membuat kepala nyut-nyutan.Dan seminggu ini tim kami belum melakukan pekerjaan apapun selain merombak sistem kerja dan mencari solusi untuk pembenahan yang lebih cepat.Belum lagi para pekerja yang susah di atur. Mungkin ini yang membuat pengurus lama angkat tangan dan memilih pergi. Tapi mirisnya mereka pun melakukan banyak laporan keuangan palsu. Memang paket komplit lah tim kerja sebelumnya.Resort ini terletak di daerah pantai, di sebuah pulau dengan hutannya yang masih lebat. Resort ini mengutamakan potensi alam dan laut sebagai daya tariknya. Pemandangan ke arah laut, keindahan pantai, dan fasilitas olahraga air dimanfaatkan sebagai pertimbangan utama desain bangunan. Namun konsep awal yang sangat menar
Ilham's POVPonsel kumasukkan ke saku. Lega bisa bicara sama Vi dan Syifa. Kehadiran Abian menyelamatkan rumah tangga kami. Meski waktu itu Vi tetap ngotot belum ingin punya anak lagi, akhirnya lahir Abian juga."Kenapa aku hamil, ya, Mas? Padahal kita selalu pakai pengaman?" tanya Vi heran campur bingung saat itu. Sepulang opname dari rumah sakit."Ini rezeki, Sayang," jawabku.Dia tidak tahu, kalau dia lupa minum pil dan memintaku harus pakai pengaman. Benda itu diam-diam kubuat berlubang. Akhirnya sukses, bukan?Itu rahasia Mas, Vi.Ketika hendak berdiri dan kembali ke kantor, seorang wanita setengah baya menghampiri. Namanya Bu Asmi. Tukang masak yang juga mencucikan bajuku."Pak Ilham, saya izin mau naruh baju ke kamar, ya," ucap Bu Asmi sopan."Ya, Bu. Silakan."Bu Asmi melangk
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Aku buru-buru menyambar ponsel di meja dan menyentuh tombol hijau di layar. Sejak tadi ponsel berdering tapi aku masih di kamar mandi."Wa'alaikumsalam, Sayang. Dari mana tadi?""Aku masih di kamar mandi. Lagi ngeramasi rambutnya Syifa. Hari ini dia mau berangkat ngaji lebih awal.""Oh, pantesan. Mas telepon dari tadi enggak di angkat.""Mas, sehat, 'kan? Dua hari enggak nelepon. Aku kepikiran kalau Mas lagi sakit.""Alhamdulillah, Mas sedikit flu. Tapi sudah mendingan ini. Dua hari cuaca buruk, Vi. Jadi Mas tidak bisa nelepon.""Syukurlah kalau sudah membaik. Oh ya, Mas jadi pulang, 'kan?" tanyaku tidak sabar.Terdengar Mas Ilham menghembuskan napas kasar."Sepertinya Mas belum bisa pulang. Bagaimana jika Vi dan Abian yang nyusul Mas ke sini?""B
Ini, Ma. Papa mau ngomong sama, Mama!" Syifa memberikan ponselnya padaku. Sudah cukup lama dia bicara dengan papanya. Setelah itu dia berlari keluar. Bermain di teras dengan temannya."Halo, Mas.""Besok jadi di antar Mas Ahmad, 'kan?""Iya.""Penerbangan jam sembilan pagi. Sampai sini sekitar jam dua belas siang. Nanti pagi-pagi sekali Mas berangkat dari proyek.""Kasihan Syifa, Mas. Bolak-balik dia tanya, apa kita perginya jauh. Katanya kalau dia kangen mau minta di anterin sama Pak Nardi. Sedih aku tuh, Mas."Mas Ilham terdiam. Hembusan napasnya terdengar berat."Sebulanan lagi kita bisa pulang.""Hu um.""Syifa sekarang mana?""Lagi main di luar sama Mira. Sejam lagi guru lesnya datang. Ya udah, Mas. Aku mau ngambilin jemuran dulu, ya. Sekalian setrika."
"Habis ini kita langsung pulang ke proyek, kan, Mas?" tanyaku."Tidak, Sayang. Mas sudah booking hotel dekat bandara. Lusa pagi kita baru kembali ke proyek.""Oh.""Mas ngajak kalian menginap dulu di sini biar bisa istirahat. Lagian kita perlu belanja beberapa barang. Kalau langsung kembali, tengah malam baru nyampe sana. Kasihan Abian. Lagi pula jalanan pasti gelap banget. Kita bakalan nempuh perjalanan lima jam."Aku mengangguk paham dengan penjelasan Mas Ilham. Kami menghabiskan makan dan aku sempat menyuapi Abian dengan bubur bayi instan. Dia memang sudah mulai makan dua minggu ini."Kamu cantik banget hari ini," pujinya. Saat kami sudah di dalam mobil dan keliling di pusat kota.Bibirku mencebik. "Iyalah, dua bulan lebih enggak ketemu makanya terlihat cantik."Mas Ilham tersenyum. "Beneran Mas tak bohong."
Kami saling pandang. Kecupannya di bibir membawa desiran hangat yang menyebar di seluruh syaraf tubuh. Menimbulkan riak-riak dahsyat yang menggila dalam jiwa dan kian menuntut."Mas, sudah baca doa?" tanyaku mengingatkan. Sebab aku belum melihat bibirnya bergerak membaca doa seperti biasanya.Dia tersenyum, mengingat kealpaannya. Kemudian dia diam sejenak. Merapal doa seperti biasanya.Ucapan cinta kudengar disetiap helaan napasnya yang tidak lagi teratur. Dua bulan berpisah, telah membuatnya benar-benar tidak bisa menahan diri. Untungnya aku sudah menemui dan konsultasi dengan Dokter Endah seminggu sebelum aku berangkat ke sini. Mengingat dalam kondisi memakai kontrasepsi pun aku bisa hamil.Aku ingin mengikuti program pemerintah, dua anak cukup. Mudah-mudahan Mas Ilham juga begitu. Sebab kami belum pernah membicarakan hal ini.Sesekali aku melirik Abian yang tidur
Aku mendengar pembicaraan mereka di luar kamar. Gorden warna gold yang menutup jendela kaca aku singkap sedikit. Di bawah pohon sana ada seorang pria dewasa dan seorang perempuan seksi yang kuperkirakan seusia Mas Ilham.Mereka berbincang-bincang. Insting perempuan, aku melihat wanita itu tampak berbeda menatap suamiku. Padahal kata Mas Ilham tadi, mereka itu suami istri, 'kan?Abian merengek, aku segera menghampiri ranjang. Bocah itu tampak heran memandang sekeliling."Ini tempat Papa kerja, Sayang. Jangan rewel ya di sini nanti," kataku sambil mengangkatnya dari tempat tidur.Pada saat yang bersamaan Mas Ilham masuk."Eh, sudah bangun anak Papa. Sini, Sayang."Abian langsung menerima uluran tangan papanya. Pipinya yang imut diciumi beberapa kali oleh Mas Ilham."Ayo, Mas kenalkan sama Pak Petra dan istrinya."