All Chapters of Perjanjian Leluhur: Chapter 331 - Chapter 340

Perasaan Cakra sedikit berubah saat mengetahui siapa perempuan bercadar. Ia sampai rela melanglang buana karena takut CLBK dengan ayahnya yang kini berada di istana. Semula Cakra ingin pulang ke istana untuk bertemu dengan orang tuanya, namun kabar dari mahapatih menyurutkan keinginannya. "Ambu melarang gusti pangeran meninggalkan tugas negara," kata Mahameru lewat sambung kalbu. "Rindunya cukup terobati dengan melihat kelahiran cucunya." Cakra sangat gembira mendengar kabar kelahiran anaknya. "Apakah putraku laki-laki?" "Ya." "Aku khawatir seperti bapaknya," gurau Cakra. "Bapaknya idola puteri mahkota di jazirah bentala. Apakah kurang baik untuk ditiru?" "Nyatanya kau tidak meniru kalau baik." "Saya tidak mampu gusti pangeran." Apa yang dilakukan Cakra tergolong biasa untuk ksatria pengembara. Raja Ungu bahkan mempunyai dua ribu selir dan tiga ribu budak cinta. Cakra terbilang selektif dalam bercinta dan memilih selir. Lima srikandi Puteri Rinjani yang semula jadi kandida

Ratu Purbasari merasa sudah saatnya kembali ke istana. Kepergiannya menciptakan stigma negatif di kalangan pembesar kerajaan. Dwipa Agusti Bimantara adalah cerita masa lalu. Cinta pertama telah kandas dan terlupakan karena perjanjian leluhur. Mereka seakan tidak menghormati Wikudara. Kepergian Ratu Purbasari ke wilayah Selatan murni untuk menunjukkan perhatiannya kepada putera mahkota selama masa lahiran, terlepas dari romantika yang terjadi, sebagaimana tradisi yang sudah berjalan turun-temukan, juga meminta ratu pertama pulang ke istana langit. "Jika ke depannya aku banyak mendukung dirimu, bukan memandang apa yang pernah kita lewati bersama," kata Ratu Purbasari sebelum pergi. "Aku banyak belajar dalam perjalanan ini, banyak kekeliruan yang terjadi sehingga muncul kesalahpahaman di antara ratu dan putera mahkota." Kepergian Ratu Nusa Kencana sangat membekas di hati Caka. Baginda ratu berjanji bahwa ke depannya tidak akan mencampuri tindakan yang diambil selama untuk kejayaan ke

Cakra memutuskan untuk mencegat rombongan penduduk yang hendak mencari suaka ke wilayah Timur. Mereka membawa perbekalan seadanya, kebanyakan perempuan dan anak kecil. Mereka terkejut melihat bangsawan pelancong berdiri di tengah jalan yang hendak dilewati. Entah dari mana datangnya. "Lekas kalian sembunyi," perintah Cakra. "Prajurit sedang menuju ke mari." Mereka tampak kebingungan. Mereka tidak mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Jalan ini lurus membelah hutan. Mereka tidak melihat rombongan prajurit di titik terjauh di ujung kelokan. Bangsawan pelancong ini pasti mabuk. Ia tidak ingat jalan ke penginapan dan tersesat di hutan. "Aku adalah Pendekar Lembah Cemara yang akan melindungi kalian." Cakra merasa perlu memberi tahu jati dirinya untuk menumbuhkan kepercayaan mereka. Tidak ada pendekar dan pesihir yang berani mengklaim nama besar itu, murid Ksatria Bayangan satu-satunya makhluk yang tidak dapat disulap dan ditiru. Hasilnya sungguh luar biasa. Mereka serempak bersuj

Cakra bersama Ben Ren berangkat ke pusat kota dengan berkuda. Ia pikir pedukuhan sudah tidak lagi membutuhkan dirinya. Puluhan prajurit tersesat di hutan sehingga ketakutan warga akan penindasan berkurang. Kehidupan mulai tenang meski kecemasan akan kembalinya prajurit membayangi pikiran. "Aku heran dengan Adipati Baltimore," kata Cakra sambil berkuda dengan santai. "Ia begitu senang menindas rakyat kecil. Padahal sejarah membuktikan dinasti otoriter tidak berumur panjang." Adipati Baltimore mendapatkan kekuasaan dari kudeta dan digunakan untuk mencekik rakyat. Mereka akan dikucilkan di jazirah bentala, Tanjungsari tidak akan menjadi destinasi wisata lagi, perekonomian hancur. "Nafsu membuat Adipati Baltimore lupa bercermin," ujar Ben Ren. "Seperti diriku, nafsu membuat diriku ingin menikmati Srintil." "Siapa Srintil? Kuda betina peliharaan adipati?" "Aku tidak tahu Srintil kuda apa bidadari. Dari jauh kelihatan seperti bidadari, dari dekat seperti kuda, bawaannya ingin menungga

"Brengsek!" Ben Ren menghampiri Cakra yang tengah makan pagi di atas tumpukan jerami. Wajah Ben Ren sangat kusut, sekusut jerami santapan kuda dan kotorannya. Ben Ren duduk di dekat Cakra dengan kesal. "Petaruh tidak ada yang menjagokan dirimu pada pertandingan pertama." "Janganlah kecil hati karena petaruh. Berbesar hatilah karena aku peserta tertampan." Cakra yakin Mayleen bukan mencari ksatria terhebat, tapi ksatria tertampan dan perkasa. Maka itu Cakra optimis tidak akan dirugikan wasit di colloseum dengan berbagai tipu daya. Memikat perhatian Mayleen adalah syarat kemenangan dan mencuri cintanya adalah pengukuhan juara. "Ketampanan tidak menolong dirimu," gerutu Ben Ren. "Lawanmu justru semakin bersemangat untuk merusak wajahmu supaya jadi jelek seperti mereka." "Seperti dirimu juga." "Iya!" "Kau bilang cukup membuat Mayleen klepek-klepek. Dasar manajer plin-plan." "Petarung lain giat berlatih, kerjamu cuma makan dan memelototi bokong kuda." "Bodo amat