All Chapters of Perjanjian Leluhur: Chapter 311 - Chapter 320

Keesokan harinya Cakra bangun sangat pagi, Dyah Citraningrum masih tertidur kelelahan tanpa sempat berpakaian. Ia benar-benar terkalahkan oleh ksatria pekon. Namun ia mampu menyelesaikan permainan tanpa ketiduran seperti malam kemarin. Puteri bangsawan itu bangun kesiangan. "Aku sangat berminat menjadi juru cicip istana. Apa saja persyaratan untuk menjadi juru cicip?" Cakra sekedar ingin tahu saja. Ia lagi mencari peluang untuk masuk ke istana Selatan. Cakra ingin segera menyelesaikan misi untuk melenyapkan Ratu Qiong Lin, meski sangat betah tinggal di kastil. "Kau serius ingin menjadi juru cicip?" tanya Dyah Citraningrum dengan sinar mata berawan. "Sebaiknya kau kubur keinginan itu." "Kenapa?" pandang Cakra heran. "Apakah perempuan saja yang boleh menjadi juru cicip?" Puteri pembesar istana itu menghela nafas seolah ada hal yang dipertimbangkan. "Aku kira cukup menjadi juru cicip aku," kata Dyah Citraningrum. "Apakah belum cukup kenikmatan yang kau peroleh?"

Lu Qiu Khan bangun kesiangan. Ratu Selatan sudah tidak ada di sampingnya. Barangkali menunggu di graha makan. Lu Qiu Khan pergi ke bilik mandi untuk membersihkan badan. Pertarungan semalam sangat menguras stamina. Ratu Qiong Lin laksana kuda liar yang siap melewati beberapa lintasan untuk mencapai garis finish tanpa mengurangi kecepatan. "Pantas ketua lama sering mengeluh kelelahan," kata Lu Qiu Khan seraya berendam di bak mandi. "Ratu Selatan sungguh tiada duanya." Lu Qiu Khan hampir kewalahan melayani nafsunya yang besar. Ratu Qiong Lin baru minta untuk mengakhiri percintaan menjelang fajar. Selesai mandi dan berdandan, Lu Qiu Khan pergi ke graha makan. Ia heran tidak melihat Ratu Qiong Lin. Barangkali sri ratu ada urusan penting sehingga tak sempat menunggu untuk makan bersama. Lu Qiu Khan bertanya, "Gusti ratu sudah makan?" "Belum tuan," jawab kepala rumah tangga istana. "Apakah ada tamu?" "Tidak ada tuan." "Lalu pergi ke mana gusti ratu?" Kepala rumah tangga istana dan

"Ratu Qiong Lin takkan mampu keluar dari hutan terpencil itu kecuali ada pengelana rimba menolongnya, ia sudah menjadi insan biasa." Cakra menyampaikan kabar itu kepada pembesar yang berkumpul di graha tamu istana terasing. "Ratu Qiong Lin berharap mendapat pertolongan dari ketua lama, sebuah harapan yang menjadi mimpi untuk mengisi sisa hidup bersama seekor orang hutan." Khong Jie Na bertanya, "Lalu bagaimana dengan prajurit?" "Kalian tunggu kedatangan dua ratus tokoh istana Nusa Kencana dan seratus tokoh istana Timur. Kalian menjadi pasukan pendukung dan tidak terlibat secara langsung untuk meminimalkan korban." Cakra memerintahkan tokoh sakti untuk menghadapi kekuatan istana Selatan, meski jumlahnya tidak berimbang. Mereka akan menggunakan operasi senyap, tidak secara frontal. Target utama mereka adalah melumpuhkan pejabat penting istana Selatan, sehingga prajurit secara otomatis akan menyerah dan tunduk pada panglima perang baru. "Aku meminta pasukanmu berjaga di perbatasan

Bao Yu mulai kesal ketika Cakra berjalan kaki meninggalkan kota dan memasuki sebuah hutan. "Kau ingin main di mana, ksatria?" tanya Bao Yu berusaha sabar. Cakra menjawab, "Aku sudah bilang suka-suka aku mau di mana." Empat Perawan Pemetik Teh tergolong bangsawan kaya raya di kadipaten perbatasan. Bao Yu bersedia menerima tantangan karena pemuda itu sangat sedap dipandang. "Kau tahu risikonya kalau menjebak aku," gertak Bao Yu. "Kau akan dijadikan pemanis racikan teh." "Untuk apa aku menjebak perempuan separuh baya, sementara ada tiga perempuan muda turut bersamamu?" "Jangan cari perkara denganku!" bentak Jiang Mi. "Seratus keping emas kemurahan untuk kami berempat!" "Gratis juga tidak apa-apa kalau pemudanya ganteng maksimal begini," bisik Xian Lun. "Jadi ani-ani juga boleh. Cakra tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Jadi kalian juga ingin lost virgin dengan cover boy tertampan di daratan ini? Berapa tarif kalian?" "Jaga mulutmu!" sergah Jiang Mi. "Aku bisa membunuhmu sekarang j

Perempuan bercadar mengangkat kepala ksatria yang tenggelam di daerah terlarang dan menariknya, sehingga wajah mereka berhadapan. Perempuan bercadar memandang lekat-lekat, dan berkata, "Kau begitu rakus. Apakah kau kucing suka bau ikan asin?" Cakra melihat wajah itu demikian rupawan, entah ke mana hilangnya awan yang biasa menghiasi. Energi negatif benar-benar telah membalikkan mata dan mendorongnya untuk beraksi. "Shujin...!" Perempuan bercadar membeliak nikmat menerima hunjaman yang sangat dalam sampai bokongnya melesak ke dalam rumput. Kemudian Cakra mencangkul dengan buas, laksana harimau lapar memangsa kelinci muda. "Kau kasar sekali," rintih perempuan bercadar nikmat. "Tapi aku suka." "Aku tahu apa yang kau suka." "Sok tahu." "Kau suka kasar juga romantis." "Sok tahu." "Kau suka missionary juga the door jam." "Sok tahu." Perempuan bercadar sangat senang mendengar lenguhan keras ksatria itu merasakan nikmatnya sentuhan. "Kau bilang punyaku tanpa taste dan becek," sin