All Chapters of GAIRAH ISTRI LIAR : Chapter 71 - Chapter 80
88 Chapters
Part 71
 Aku benar-benar tidak menyangka, kalau Papa sudah mengetahui semuanya. Apa yang Papa pikirkan tentang keluarga itu. Seharusnya dia bersikap lebih posesif, dan lebih perhatian.Sikap tak acuhnya selama ini, membuat ia terkesan tak membutuhkan siapapun. Seolah-olah bisa hidup sendiri, tanpa orang lain. Apa pak tua itu tak ingat, kalau usianya sudah tidak muda lagi? Memangnya siapa yang akan mengurusnya jika nanti dia sakit. Aku? No way!.Sudah beberapa hari ini, Elena siuman. keadaannya terus membaik. Wanita itu dengan setia menungguinya setiap hari. Erik sudah bekerja seperti biasa, dan sesekali kami berpapasan. Dia masih masih berusaha menangkap pandangan dari wajahku, sedang aku terus saja bersikap dingin. "Bagaimana keadaanmu, Elena?" tanyaku, saat mengunjunginya siang ini. Matanya masih saja terlihat sembab. Mungkin yang dia lakukan hanya menangis sepanjang malam. Apa dia kecewa, karena nyatanya dia masih hidu
Read more
Part 72
Elena lebih banyak diam. Dia bahkan tak menyahuti pertanyaan-pertanyaan Erik. Aku menarik sudut bibir, merasa aneh dengan hubungan mereka yang ternyata begitu kaku. Sejak kapan mereka terlalu menjaga jarak seperti itu?Apa sebenarnya, Elena juga tak suka, Papa menikah dengan Mamanya? ."Sudah kubilang, Elena lebih percaya padaku," ucapku, saat kami duduk di koridor. "Biarkan aku yang membereskan semuanya.""Apa yang kau rencanakan, Key?" Dia sedikit menunduk, agar bisa memandangku sejajar. "Kau tidak perlu tahu. Sikapmu membuatnya takut.""Sejak kapan kalian akrab? Lagi?"Lagi? Dia mengucapkan kata 'lagi'? Ya. Tentu saja. Meski tak seusia, tapi kami cukup dekat. Sering piknik dan ke taman bermain bersama. Siapa sangka, dua keluarga yang tadinya begitu dekat, kini terpecah belah, hingga tak menyisakan satu kenangan pun. "Hentikan ocehanmu, Erik. Kami tak seakrab itu. Aku menolongnya hanya karena... sesama wanit
Read more
Part 73
Aku ikut berbalik, dan memandang wajah suamiku. Menatapnya dengan penuh tanda tanya. Kenapa tiba-tiba saja mengungkit akan hal itu. Ini bahkan belum memasuki enam bulan pernikahan."Biarkan saja. Aku bisa tidur di ranjang, dan kau tidur bersama bayi kita di bawah," ucapku asal. Dia terkekeh, lalu kembali ke posisinya seperti semula."Kau juga sangat egois, meski sedang berhayal.""I'm serious. Aku tak mau keluar dari sana. Bukankah kita punya banyak kenangan di rumah itu? Aku tak mau kehilangan memori tentangnya." "Ya, aku juga," ucapnya, dengan sebuah helaan napas. "Apalagi kamar itu. Aku menyesal kenapa tak menciummu dari dulu. Harusnya dari dulu kita berpacaran. Agar tak ada Ara atau Erik dalam kehidupan kita.""Kenapa membahas hal itu lagi?""Kau benar. Sorry.""Ya. Semua orang punya masa lalu, kan?""Fi?""Hemmm?""Kau kecewa padaku?""Kenapa?""Karena aku masih belum siap unt
Read more
Part 74
 "Apa tua bangka itu menghubungimu?" tanyaku, saat sedang berada di kamar Elena. "Aku belum mengaktifkan ponselku.""Kalau begitu buang saja nomornya. Kalian sering berhubungan melalui sosial media?""Percuma. Dia akan mencariku di kampus.""Oh, shit! Sejauh apa perbuatannya padamu? Apa dia juga memukul, atau mengancam akan membunuhmu?" Gadis itu menggeleng. "Sama sekali?" selidikku. Dia mengangguk. "Dia hanya mengancammu dengan vidio itu, dan kau sama sekali tak melawan?" kesalku. "Bagimana jika dia berbuat nekat, Key? Aku tak mau membuat malu Papa. Aku semakin takut saat Papa marah soal fotomu saat itu."Oh, shit. Kenapa semua tentang Papa. Baik Kahfi, Erik, bahkan gadis yang hampir mati ini. Apa yang sebenarnya telah mereka dapatkan dari Papa. Aku bahkan tak pernah merasakannya.Yang bisa dia lakukan hanya marah-marah dan memukulku saja. Pipiku mungkin sudah kebal karena tamparanny
Read more
Part 75
 Kurasa semua berjalan dengan lancar. Hubungan Elena dan Dokter Satya mungkin mengalami kemajuan. Pertemuan mereka kini semakin intens, meski terkadang ada rasa takut di hati gadis itu. Namun aku berusaha untuk meyakinkannya, inilah satu-satunya cara agar tua bangka itu mau melepaskannya.Baru saja aku mengantar kepergian Kahfi di halaman depan, ponselku tiba-tiba berdering. Kulihat ada nama Satya sedang memanggil. Why? Bukankah seharusnya dia menghubungi Elena saja? "Morning, Key!" sapanya dari kejauhan."Yes, Dokter," sambutku. "Bisa bertemu hari ini?""Now?""Ya.""Aku akan menghubungi Elena, dan mengajaknya.""Tidak. Kau saja.""Why?""Kenapa? Kau takut bertemu denganku?""No way! Aku hanya merasa kalau aku masih waras."Terdengar suara tawa dari seberang sana."Aku bukan petugas Rumah Sakit Jiwa, Key.""So, apa kita punya urusan?" tanyaku penas
Read more
Part 76
 "Kau salah paham, bodoh. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Apa kau akan menggunakan ini untuk mengancamku, agar tidak mengadu pada Kahfi?""Kau mulai takut? Kalau tak menginginkannya, kau bisa melepasnya. Kau hanya menjadikannya sebagai mainan.""Tutup mulutmu, sialan!" Aku mulai berani menarik kerah kemeja itu lagi. Memangkas jarak yang kubuat tadi. "Sudah kubilang, aku mencintai suamiku.""Dan kau pikir kata-katamu masih bisa dipercaya, setelah apa yang baru saja kulihat?""Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Tapi ini benar-benar bukan seperti yang ada di dalam kepalamu!""Ah, ya. Jadi kau mau bilang, kalau dia itu...?" Erik menggantung ucapannya. Sebuah senyum sinis menatapku, menunggu sesuatu untuk kujelaskan. "Dia Dokter Satya. Psikolog yang saat ini sedang menangani Elena," terangku. Matanya menyipit. Menyiratkan bahwa dia masih belum percaya."Ada banyak psikolog wanita yang membuat Elena
Read more
Part 77
 Tubuh Erik kembali lunglai. Tak mengelak sedikit pun dengan pukulan Papa yang entah sudah berapa kali diterimanya. Tante Winda dan Elena hanya bisa menangis tanpa berani mencegah. Sementara Erik terus mengerang dengan tangisan.Dia terus mengoceh tanpa sadar. Seperti menyesali segala hidup yang telah ia jalani selama ini. "Aku bersalah, Pa. Mengorbankan kebahagiaan semua orang hanya demi membahagiakan Mamaku saja," sesalnya. "Yang kulakukan hanya agar Mama mendapatkan kehidupan yang layak, seperti sebelum jalang itu menggoda Papaku," umpatnya dengan air mata, dan juga liur yang telah menyatu. Dia terlihat benar-benar kacau. "Aku tak lagi memikirkan perasaan orang lain, Pa. Adikku, bahkan rasa cintaku sendiri." Dia kembali meracau. "Aku bahkan tahu, bahwa Papa tak pernah mencintai Mama. Papa hanya menjadikannya pajangan untuk membalas wanita jalang itu!" umpatnya lagi. Plak! Tangan besa
Read more
Part 78
 Suasana pagi ini terasa berbeda. Tak ada yang muncul di meja makan. Hanya Kahfi dan Tante Winda yang kini bersamaku duduk di posisi seperti biasa. "Aku tak berselera," ketusku, sembari meletakkan sendok di atas piring batu. Aku menemui Papa di ruang kerjanya, setelah membiarkan Kahfi pergi ke hotel. Kudengar dari istrinya, bahwa ia tak masuk ke kamar sejak malam tadi. Ia bahkan sama sekali belum keluar dari sana.Kubawakan secangkir kopi buatan wanita itu. Minuman yang biasa dia santap saat pagi. Entah keberanian dari mana aku bisa sampai sejauh ini menemuinya. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali kami bicara berdua. "Tidak berangkat kerja, Dad?" Aku terpaksa memulai percakapan. Ia yang terlihat kusut masih dengan piyama tidur, duduk bersandar di belakang meja kerja. Aku mengambil kursi kayu di sudut ruangan, duduk di hadapannya tanpa dipersilakan. "Minumlah!" Kugeser minuman yang kubawa tadi agar l
Read more
Part 79
 Kurasakan bahu Papa ikut bergetar mendekapku. Dia pasti menahan tangis agar tak bersuara. Masih malu kah dia menumpahkan segala rasa sakitnya di hadapanku? Menunjukkan sifat asli yang selama ini terlihat garang dan tak punya hati. Ia juga manusia biasa rupanya. Punya hati yang rapuh dan juga bisa menangis. Mama terlalu kejam memperlakukan kami seperti ini. Menghancurkan hidup semua orang yang selama ini terlihat begitu dekat dengannya. "I'm so sorry, Dad," ucapku, melepaskan diri dan mendongak menatapnya. "Aku tak pernah tahu bagaimana Papa menderita selama ini. Apa benar seperti yang Mama katakan, Papa membenciku karena aku mirip Mama?""Apa yang kau katakan, Sayang?" Papa menyeka pipinya yang sudah basah. "Mana mungkin seorang Ayah bisa membenci darah dagingnya sendiri.""Papa selalu marah-marah padaku.""Kau marah? Apa kau begitu sakit hati pada Papa?""Why? Kenapa Papa melakukan itu? Apa salahku? Apa karena aku
Read more
Part 80
 Mereka berdua sesenggukan menahan tangis. Kulihat Tante Winda tertunduk dengan isakan yang juga tertahan. Tak perlu lagi aku bertanya, apakah sikapnya tulus atau tidak. Aku tak butuh jawaban. Aku tak harus tahu. Dan aku sama sekali tak peduli. "Jangan ikut campur urusan keluargaku, Key!" Erik kembali berbalik dan menantangku. "Mereka juga bagian dari keluargaku," balasku, ikut menantang ucapannya. Dia berdecih. "Drama apalagi kali ini? Bukankah seharusnya kau senang? Akhirnya kau bisa bebas dari benalu seperti kami.""Seharusnya memang seperti itu. Tapi sudah terlambat. Kalau ingin menyingkir kenapa tak dari dulu saja? Begitu ada masalah, kau langsung melarikan diri. Kau sama sekali tak pernah berubah. Pengecut. Dasar lemah!" sinisku. Matanya menyipit memandangku. Mungkin merasa terhina karena aku benar-benar telah merendahkannya. Ya, sama seperti waktu itu. Mundur teratur dan melarikan diri dari hubungan kami.
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status