Semua Bab Bukan Cinta Buta: Bab 11 - Bab 20
55 Bab
11. Ilalang II (Update)
Viviane menatapku dengan sangat kasihan, aku tidak suka ini tapi sebaiknya memang harus aku manfaatkan. “Kamu membenci orang tuamu, Tami?” “Hah? Apa?” “Karena mereka meninggalkanmu, apakah kamu membenci mereka?” Benci? Bagaimana mungkin aku bisa membenci ayah dan ibuku? Jika pertanyaaan ini diberikan kepadaku sebagai Tami, maka aku akan menjawabnya ‘ya’ tapi sebagai diriku yang lain, aku justru hidup untuk mereka. Orang tuaku rela hancur demi aku. Demi peran, aku menjawab, “Kadang.” “Kadang kamu benci mereka? Ya, itu wajar. Tidak seharusnya seorang anak ditelantarkan setelah ada. Kau tahu, teman bibiku memilih menggugurkan calon bayinya karena tak siap punya anak. Dulu aku pikir itu egois tapi sepertinya tidak. Itu pilihan. Pilihan paling bijak.” Pemikiran macam apa ini? Apakah dia gila? Dia memang sama gilanya dengan Tio. Mereka terlalu menyepelekan nyawa manusia lain. Aku muak dengan pembicaraan ini. “Anjas memintaku supaya punya banyak anak seperti keluarganya tapi aku meno
Baca selengkapnya
12. Ilalang III (Update)
“Selamat datang!” Seorang wanita tua berambut putih sebahu menyambut kami di depan pintu. “Bagaimana perjalanan kalian?” “Baik, Nek!” Viviane mencium pipi kanan perempuan itu, lalu disusul oleh Anjas. “Bagaimana kesehatanmu, Nek?” “Seperti yang kalian lihat, aku sehat. Cepat masuk! Yang lain sudah menunggu.” “Oh iya, Nek, perkenalkan ini sahabatku!” Viviane merangkul bahuku. “Namanya Tami.” Si perempuan tua memperhatikanku selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar. “Aku Yuni, pengurus tempat ini. Selama kamu di sini, bersenang-senanglah tapi jangan sampai tergoda oleh para pria mesum di dalam. Percayalah, mereka berbahaya.” “Baik, Nek!” jawabku sambil tersenyum kecil. Berbahaya? Akulah pemilik bahaya sesungguhnya di sini. Sudah banyak korban tumbang sepanjang karierku sebagai predator. Tidak! Kata itu terlalu kasar, aku bukan predator tapi pekerja. Semua yang datang padaku cuma-cuma, tak ada paksaan. Malah, mereka membayarku. Mereka memberiku uang untuk bersenang-senang. Usia
Baca selengkapnya
13. Sahabat (Update)
Tanpa menunggu jawaban, Viviane menerobos kamar dan mulai mengobrak-abrik isi lemari yang ternyata sangat-sangat banyak. Baju-baju itu memang sudah agak kekecilan untuk Viviane tapi pas di badanku. Hanya saja, bukan tipekal pakaian yang aku suka. Terlalu banyak pakaian kenakak-kanakan, warnanya terlalu terang dengan motif bunga dan binatang. “Bagaimana kalau yang ini saja?” Seperti dugaanku, Viviane memilihkan kaos pendek di atas pusar dengan gambar beruang dan celana jins di atas lutut. “Astaga, kamu mau aku pakai ini?” Dia mengangguk yakin. “Kenapa? Tidak usah cemas, kita semua juga pakai baju santai. Sore ini, kita hanya akan bersantai dan berenang.” “Berenang? Selarut ini?” “Kenapa, tidak?” jawabnya. “Ya sudah, cepat pakai baju ini. Aku akan turun duluan dan membantu yang lain menyiapkan makanan.” Yang benar saja? Aku mengangkat baju yang dipilihkan oleh Viviane lalu menelan ludah kasar. Pakaian ini sangat tidak sopan, meskipun sebenarnya aku juga sering mengenakan pakaian
Baca selengkapnya
14. Sahabat II (Update)
Persaingan di dunia hiburan memang tidak mudah, terlebih saat tidak punya bekal. Akan tetapi, paling tidak jika tak punya bakat akting, untuk bisa menjajal industri adalah dengan punya banyak pengikut. Selebihnya, menyusul. Namun, Denira berbeda. Dia memulai karier sebagai bintang anak-anak dan berakhir memenangkan penghargaan tertinggi dunia perfilman Indonesia. Banyak dari film yang dia mainkan adalah film festival. Bukan film komersil biasa. Dan tampaknya dia juga tak sesombong kawan-kawannya. Mungkin selain karena ayahnya pegawai tingkat menengah, juga karena untuk berada di pencapaian ini dia harus bermandikan darah. Dia agak mirip denganku. “Boleh aku makan daging ini?” tanyaku. “Silakan. Omong-omong, sambalnya enak. Tidak pedas. Aku yang membuatnya.” “Benarkah?” Aku menusuk daging babi panggang itu dengan garpu, mencocolnya ke dalam sambal dan memakannya. Lemak yang segar meleleh di mulut. “Kamu memang sempurna, Denira. Cantik, berbakat dan pandai membuat makanan lezat.” “
Baca selengkapnya
15. Sahabat III (Update)
“Dia kakek buyutku!” kata Anjas sambil tersenyum malu-malu. “Kamu pasti sudah tahu mengenai rumor soal seberapa tampan mendiang kakek buyut kami. Tapi sayangnya, hanya ini lukisan yang tersisa dari masa muda Eyang. Bahkan foto-foto beliau juga tidak kami miliki.” “Kenapa?” tanyaku dengan nada penuh keprihatinan. Anjas menoleh dan menepuk-nepuk pundakku. “Dulu, rumah ini pernah terbakar. Dua kali. Yang pertama saat Eyang masih muda, lalu yang kedua terjadi pada tahun tujuh puluhan.” “Ya. Aku pernah mendengar soal itu.” “Meskipun sempat dirawat selama seminggu, kecelakaan kedua itu juga menewaskan Eyang.” Anak ini terlalu banyak bicara, mirip dengan Angga tetapi semakin dia banyak membuka mulut secara cuma-cuma, semakin banyak informasi yang bisa aku dapatkan tanpa usaha. “Jadi, apakah bangunan ini …, maksudku bangunan yang sekarang adalah hasil renovasi?” Anjas mengangguk lemah. “Begitulah. Banyak yang berubah di sini. Di sesuaikan dengan selera paman tertua kami. Beliau yang meme
Baca selengkapnya
16. Pria (Update)
“Lo nuduh gue jurnalis yang menyamar?” Aku mulai paham alurnya. Juna menoleh. “Memang, kan?” “Bukan! Gue bukan jurnalis.” “Lalu? Kenapa mengambil gambar?” “Ini Eyang Sari, kan?” Aku menunjuk foto tersebut dan mencoba membangun alur paling tepat. Berhasil, kini Juna kelihatan bingung. “Dia eyang gue.” “Lo cucu Eyang Sari?” Aku mengangguk, dan sejujurnya ini tidak terlalu salah karena menurut para pengurus panti, semua anak di sana adalah ‘cucu eyang’. “Kenapa ada foto Eyang di sini?” “Nggak mungkin!” “Kenapa lo ketawa? Ada yang lucu?” Juna menatapku selama beberapa detik lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Mana mungkin dia eyang lo? Jangan asal bicara. Tahu apa lo soal beliau?” “Gue memang cucunya. Eyang Sari punya panti asuhan, kan? Beliau punya satu anak perempuan bernama Bu Galuh?” “Lo anak Bu Galuh?” Matanya sekarang membulat, kaget. Aku sambil memasang tampang meyakinkan mengangguk. “Kalau nggak percaya, mau gue teleponkan?” Juna lagi-lagi menatapku tapi kali ini penuh
Baca selengkapnya
17. Pria II (Update)
“Si Ben, gimana? Masih datang?” “Tadi malam dia ke sini, minta duit buat bayar servis mobil.” “Lagi?” “Gue pusing. Dia benalu.” “Ya mau gimana lagi? Gue berhutang budi ke dia.” “Tapi, masa iya seumur hidup dia harus bergantung sama lo? Kalian sudah putus lho, Tam. Eh, omong-omong, lo bakal dapat kan film itu? Kalau perlu dekati terus Viviane biar dia bisa bikin lo dapat proyek ini.” “Akan gue usahakan.” “Dan jangan lupa oleh-olehnya.” “Di sini hutan. Nggak ada apa-apa. Gue bawakan rumput, mau?” Gina berdecih, lalu kami memutuskan mengakhiri panggilan. Kulihat Juna masih setia di depan komputer, kelihatan sibuk sekali. Kalau diperhatikan, dia sebenarnya cukup tampan hanya saja karena kami seumuran maka dia bukan tipeku. Terlalu muda dan sebenarnya, aku memang belum pernah benar-benar jatuh cinta secara romantis kepada seseorang. Jatuh cinta sebagai manusia secara seksualku, sayangnya malah kuberikan kepada Ben sialan. Dari tingkahnya, jelas Juna bukan hanya memandang Viviane
Baca selengkapnya
18. Perburuan (Update)
Sejujurnya, Juna cukup tampan. Meskipun badannya tidak sebagus Ben –yang menghabiskan hampir setengah jam hidupnya untuk berolahraga, atau setampan Angga tetapi pria muda itu lumayan. Tidak! Aku tidak bisa menyebutnya lumayan karena banyak gadis yang pasti mengejarnya. Tentu saja bekerja dengan Tio Sanjaya akan membuatnya punya lebih banyak uang ketimbang bekerja di lokasi lain, terlebih untuk tugas membuntuti Viviane. Kalau saja situasinya tidak begini, sudah pasti aku akan menjadikannya target keuangan memuaskan. Namun, dia belum beristri. Dia belum tampak seperti ayah yang aku inginkan. Kenapa juga aku mendadak kepikiran hal konyol macam ini? Aku menertawakan diriku sendiri, lalu menggosok lengan dengan lembut. Seandainya saja Juna bersih, mungkin aku akan memperkenalkannya dengan Gina. Sudah lama gadis itu mencari pasangan. Dan jelas Juna masuk daftar pria yang tampan untuk Gina. Kalau itu berhasil, mungkin aku memanfaatkannya sebagai jembatan untuk menggali lebih banyak informas
Baca selengkapnya
19. Perburuan II (Update)
Sebelum perburuan dimulai, aku menyempatkan diri untuk berlatih bersama Bruno sebentar. Kami berkeliling peternakan, menikmati udara bersih dan sesekali bermesra-mesraan untuk mengikat perasaan kami. Dia terlihat sangat menyukaiku. Dia kuda yang ramah, pantas saja banyak yang menyukainya. Sementara itu para remaja itu sedang sibuk juga dengan kuda-kuda mereka. Berlatih di sisi lain peternakan. Beberapa ada juga yang sedang bermain dengan sapi, kambing dan binatang lainnya. Mungkin sedang memilah binatang yang nantinya akan kami buru. Aku penasaran hewan apa yang akan mereka pilih sebagai umpan. Sapi? Terlalu besar. Kambing? Kurang menantang. Atau, kelinci? Ini lebih masuk akal. Hanya saja, perburuan paling menyenangkan biasanya adalah yang dialam liar. Singa tua yang penyakitan, bison yang ganas atau haina? Ketika matahari lebih tinggi, barulah kami dipanggil ke ruang persiapan. Aku berganti pakaian, mengambil busur dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja Juna masuk ke
Baca selengkapnya
20. Perburuan (Update)
Mereka gila! Bagaimana mungkin aku bisa membunuh manusia yang tidak bersalah? Aku tahu bahwa diriku memang bukan orang baik dan berniat menghancurkan hidup orang lain tapi bukan seperti ini! Yang ada, akulah yang bakal menghancurkan hidupku sendiri. Meskipun terobsesi membunuh orang lain tapi aku tak bisa membunuh yang tak ada kaitannya dengan hidupku. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, aku menarik tali pengekang kuda dan mengajak Bruno berjalan ke arah lain. Aku bergegas pergi tapi baru beberapa langkah Bruno berjalan, sebuah panah menancap di tanah, tepat di depan kaki Bruno. Aku menoleh, menatap para remaja itu. “Baron?” Dia sudah gila? Dia mau membunuh kami? “Mau ke mana lo?” Ini terdengar seperti ancaman. Aku membuat Bruno mundur, menghindari anak panah. “Gue mau kembali. Gue nggak mau terlibat pembunuhan.” Namun, mereka malah menertawakanku. Persis seperti pembunuh berdarah dingin di film-film. “Jangan munafik, Tami.” “Bukankah tadi kami sudah memperingatkan lo? Harus
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status