Lahat ng Kabanata ng KUTUKAN LELUHUR: Kabanata 31 - Kabanata 40
279 Kabanata
BAB 31-HAJAT
Kampung Parigi kini tampak sedang ramai, sebuah kampung yang tepat bersebelahan dengan Kampung Sepuh yang aku tempati. Truk-truk pengangkut peralatan dari kota datang silih berganti, dengan muatan yang menumpuk hingga ke atas. Truk tersebut sengaja di datangkan dari jauh, butuh lima hingga delapan jam perjalanan untuk truk tersebut sampai ke tempat itu. Sebuah tempat yang nantinya akan menjadi pusat keramaian di Kampung Parigi dalam beberapa hari. Tiang-tiang besi mereka turunkan satu-persatu, dan di susun sedemikian rupa sehingga menjadi panggung yang agak luas di dekat Kantor Kepala Desa di Kampung Parigi itu. Belum lagi beberapa genset dengan persediaan solar yang banyak, yang akan dipakai untuk menyalakan listrik dan keperluan acara sepanjang malam. Hari ini, adalah hari yang membahagiakan bagi temanku. Dia adalah salah satu anak dari orang paling terpandang di Kampung Parigi, seorang anak dari kepala desa yang dipegang turun temurun oleh keluarganya.
Magbasa pa
BAB 32-TANGAN KECIL
Sepi, itulah sebuah kata yang aku pikirkan sekarang. Hanya semilir angin yang berhembus kencang ke arah kampung dari Gunung Sepuh yang menemani soreku sekarang. Semua warga di Kampung Sepuh kini menghilang, tua, muda, kakek, nenek, anak kecil, dewasa. Semuanya berangkat ke Kampung Parigi dengan truk yang sengaja mereka sewa secara patungan. Meskipun ada jalan sawah yang membentang hingga ke Kampung Parigi. Namun warga lebih memilih untuk naik truk sebagai alat transportasi yang mereka gunakan untuk ke Kampung Parigi, tidak ada angkutan lain selain truk tersebut, tidak ada angkutan kota seperti di kota besar yang melewati kampung ini. Hanya ada sebuah mobil elf saja yang melewati jalanan provinsi yang masih berbatu dan terjal. Dan untuk sampai ke jalan provinsi itu, para warga harus menempuh satu jam perjalanan dengan berjalan kaki melewati kebun teh yang membentang luas hingga sampai ke jalanan provinsi. Aku kini hanya duduk di depan warung, melihat ke arah k
Magbasa pa
BAB 33-RADIO
Malam semakin larut di Kampung Sepuh yang sangat sunyi dan sepi ini, semuanya gelap gulita. Yang ada hanyalah tiga buah lampu minyak yang di tempel di dalam warung dan di depan warung, sinarnya yang berwarna kuning kemerah-merahan membuat suasana semakin sunyi dan sepi pada malam itu. Tidak ada satu pun warga kampung yang kini tidur di dalam rumah-rumah mereka pada malam ini, karena semuanya berangkat ke kampung sebelah untuk menghadiri acara hajatan dengan berbagai pertunjukan yang digelar sepanjang malam. Samar-samar terdengar sebuah gamelan dan calung untuk pengiring pertunjukan yang terdengar olehku, suara yang terdengar sangat jauh hingga sampai ke Kampung Sepuh. Mencoba menarik semua masyarakat dengan suaranya yang khas, agar datang dan menonton pertunjukan itu sepanjang malam. Aku kini sedang membuka tutup dari termos air panas di ruangan belakang. Sebuah ruangan yang menjadi gudang sekaligus dapur dan kamar mandi kecil untuk mencuci mangkuk dan gelas-
Magbasa pa
BAB 34-CEMILAN
Radio, adalah salah satu hiburan favorit bagi masyarakat di kala itu. Dengan berbagai ragam acara yang bisa menghibur para pendengarnya, juga lagu-lagu hits yang sering di putar setiap waktu. Membuat radio menjadi sangat populer pada tahun 1980 di masyarakat luas. Namun, di Kampung Sepuh tidak semua orang mempunyai radio. Butuh perjuangan yang sangat besar untuk bisa mendengarkan radio, apa lagi listrik belum masuk ke Kampung Sepuh pada saat itu. Sehingga membuat mereka tambah susah untuk bisa mendengar saluran radio yang diputar setiap harinya. Bapak adalah salah satu yang beruntung, sebuah radio kecil dengan antena yang bisa dipanjangkan untuk menangkap sinyal bisa dia dapatkan dari seseorang yang singgah ke warung sebelum orang tersebut pergi ke Gunung Sepuh untuk melakukan sesuatu. Sebuah radio kecil berwarna hitam dengan speaker di bawahnya, juga tombol pemutar frekuensi dengan sebuah garis dengan nomor AM dan FM untuk mencari radio yang bisa Bapak denga
Magbasa pa
BAB 35-MERANGKAK
Malam yang bertabur bintang dengan sinar bulan yang kini terang menyinari hiruk pikuk masyarakat yang sedang berlalu lalang pada malam itu di Kampung Parigi, banyak orang kini sedang tertawa terbahak-bahak, karena melihat lima orang yang sedang bercerita dan bercanda dengan alat musik calung yang mereka bawa. Calung yang terbuat dari bambu yang bernada da mi na ti la da atau do re mi fa so la si do yang disusun dengan cara berjejer dan dipegang dengan salah satu tangan oleh para pemain itu, dan salah satu tangannya lagi memegang pemukul untuk memukul alat musik calung sembari bercanda satu sama lainnya. Sebuah pertunjukan yang populer pada zamannya, sebelum nantinya ada tarian jaipongan dan dilanjut dengan wayang golek di penghujung acara hingga pagi tiba. Banyak orang dari berbagai kampung datang ke Kampung Parigi, biasanya mereka menyewa truk atau mobil bak terbuka untuk berbondong-bondong datang melihat pertunjukan yang di laksanakan semalam suntuk.
Magbasa pa
BAB 36-TUMBAL
Blug Tubuhku tiba-tiba terjatuh, tepat di atas tumpukan kardus ketika aku melihat makhluk yang sedang merangkak itu dari arah langit-langit, makhluk yang aku pun sendiri tidak tahu namanya. Karena dalam cerita-cerita hantu dan mitos yang aku sering dengar ketika aku masih kecil, tidak ada yang pernah menyebutkan nama dari makhluk ini. Tangan dan kakinya sangat kecil dan kurus. Namun kukunya panjang sehingga bisa merangkak di langit-langit warung yang terbuat dari kayu, tubuhnya terlihat sangat kurus. Bahkan tulang-tulangnya terlihat dengan sangat jelas olehku yang muncul di antara kulit-kulitnya yang sangat pucat. Rambutnya yang hitam terlihat terurai lurus kebawah. Meskipun aku hanya melihat punggungnya, tapi itu membuat ku kini merasa ketakutan bahkan tubuhku sendiri mendadak lemas hingga terjatuh di antara tumpukan kardus yang ada di ruangan belakang. Kikikiki Kikikiki Dia seperti sedang mempermainkanku, lampu minyak yang aku tempel
Magbasa pa
BAB 37-KAMBING HITAM
Suatu perjanjian yang selalu berhubungan dengan para makhluk gaib yang selama ini berada di sekitar kita tanpa kita sadari, selalu menimbulkan resiko dan akan disesali oleh seseorang yang melakukan perjanjian itu semasa hidupnya. Terutama, perjanjian-perjanjian yang mewajibkan para manusia untuk mengirimkan tumbal kepada mereka. Sebagai syarat bahwa derajat mereka lebih tinggi dan para manusia tersebut tunduk kepada mereka sebagai seseorang yang lemah dan butuh bantuan mereka dalam hidupnya. Mereka akan mengabulkan apapun mau itu kekayaan, kejayaan, ataupun keilmuan. Semua keinginan manusia akan terkabul secara instan, asal mereka harus di agungkan layaknya dewa, dengan persembahan-persembahan yang harus mereka berikan kepada makhluk itu di malam-malam tertentu. Dan itulah yang terjadi dengan Gunung Sepuh, gunung yang sangat erat kaitanya dengan Kampung Sepuh sendiri tempat aku tinggal. Banyak sekali manusia dari berbagai daerah berbondong-bondong ke tempat ini dengan segala tujuann
Magbasa pa
BAB 38-DUA BELAS
Jalanan yang menanjak dan berliku-liku, bersamaan dengan rintik hujan yang kini membasahi jalanan di antara pegunungan yang Pak Budi lewati. Sudah hampir satu jam setengah Pak Budi berkeliling di daerah selatan Kota Bandung, berusaha mencari kambing berwarna hitam pekat yang tak kunjung ditemukan saat ini. Suara dari deru mesin yang terdengar kencang dengan roda yang menggerus jalanan dan genangan air yang turun ke jalan pada sore itu, membuat mobil yang di kendarai Pak Budi melaju sangat kencang di jalanan yang berliku di selatan Kota Bandung. “Aku harus ke mana lagi mencarinya? ” Kata Pak Budi panik. Kedua tangannya memegang setir mobil dengan lihainya, jalanan yang sangat lengang ketika masuk ke perkampungan membuat Pak Budi bebas menjalankan mobil tersebut dengan sekencang-kencangnya, apalagi dengan air hujan yang turun dengan sangat deras bersamaan dengan langit sore yang sangat gelap, hingga menutupi matahari sore yang ingin menyinari Pak Budi dengan sinarnya yang hangat. Waj
Magbasa pa
BAB 39-MATI
ZRAASSS Hujan masih deras di luar dan wajah Pak Budi tampak semakin panik, ketika sosok yang ada di depannya kini menampakan dirinya sendiri di antara cahaya petir yang menggelegar pada malam itu. Dia melihat jam tangannya, tinggal lima jam lagi sebelum tengah malam. Dengan perasaan yang gelisah dan wajah yang tidak karuan, dia berdiri dari duduknya untuk membayar apa yang dia makan dengan tergesa-gesa. Mulutnya penuh dengan sisa nasi yang menempel di sekitar mulutnya, Namun dia tidak peduli, dia lebih memikirkan kambing berwarna hitam pada saat ini daripada harus memikirkan penampilannya. Jaket mewahnya yang tadi dia lepas hanya di simpan di dalam mobil, bersamaan dengan ayam cemani dan buah-buahan serta kemenyan yang dia bawa di dalam bagasi. Dia kini hanya memakai kaus oblong bergambar artis band rock terkenal pada masa itu, dengan gayanya yang nyentrik dan rambut kribo nya yang menjadi ciri khas dari band rock tersebut. “Berapa Kang? ” Kata Pak Budi sambil mengeluarkan dompet
Magbasa pa
BAB 40-PINTU BELAKANG
“Kok pintunya gak bisa kebuka?” Brag, Brag, Brag, Aku yang panik kini sedang berada tepat di depan pintu rumah, rumahku yang sangat sederhana yang berdinding bilik kayu yang di cat putih dan hijau. Rumah yang turun temurun di berikan oleh kakek dan kakek buyutku, sehingga rumah yang ku tempati ini terlihat beberapa kali sudah di renovasi mengikuti jaman. Rupanya, ibu dan Bapak mengunci pintu rumah. Sehingga aku yang berusaha masuk ke dalam rumah untuk menyelamatkan diri dari makhluk tersebut pun hanya bisa berdiri di depan rumah sambil berusaha membuka pintu yang terkunci itu. Suara cekikikan dari depan warung masih terdengar, bersamaan dengan cahaya lampu minyak yang mati dan menyala tidak karuan, sepertinya makhluk itu sangat menikmati suara radio yang dia dengarkan sepanjang malam ini. Meskipun, aku sendiri tidak tahu kenapa makhluk tersebut sangat terobsesi dengan radio yang Bapak punya. Kikikiki Kikikiki “Ieu barang urang, barang urang hiji-hijina di dunia ieu. (Ini barangk
Magbasa pa
PREV
123456
...
28
DMCA.com Protection Status