Radio, adalah salah satu hiburan favorit bagi masyarakat di kala itu. Dengan berbagai ragam acara yang bisa menghibur para pendengarnya, juga lagu-lagu hits yang sering di putar setiap waktu. Membuat radio menjadi sangat populer pada tahun 1980 di masyarakat luas.
Namun, di Kampung Sepuh tidak semua orang mempunyai radio. Butuh perjuangan yang sangat besar untuk bisa mendengarkan radio, apa lagi listrik belum masuk ke Kampung Sepuh pada saat itu. Sehingga membuat mereka tambah susah untuk bisa mendengar saluran radio yang diputar setiap harinya.
Bapak adalah salah satu yang beruntung, sebuah radio kecil dengan antena yang bisa dipanjangkan untuk menangkap sinyal bisa dia dapatkan dari seseorang yang singgah ke warung sebelum orang tersebut pergi ke Gunung Sepuh untuk melakukan sesuatu.
Sebuah radio kecil berwarna hitam dengan speaker di bawahnya, juga tombol pemutar frekuensi dengan sebuah garis dengan nomor AM dan FM untuk mencari radio yang bisa Bapak denga
Apa yang akan kalian lakukan apabila sedang berada di posisi Amat sekarang? Vote dan komen ya, karena dua itu adalah sumber semangat agar bisa mengupdate setiap hari terima kasih
Malam yang bertabur bintang dengan sinar bulan yang kini terang menyinari hiruk pikuk masyarakat yang sedang berlalu lalang pada malam itu di Kampung Parigi, banyak orang kini sedang tertawa terbahak-bahak, karena melihat lima orang yang sedang bercerita dan bercanda dengan alat musik calung yang mereka bawa. Calung yang terbuat dari bambu yang bernada da mi na ti la da atau do re mi fa so la si do yang disusun dengan cara berjejer dan dipegang dengan salah satu tangan oleh para pemain itu, dan salah satu tangannya lagi memegang pemukul untuk memukul alat musik calung sembari bercanda satu sama lainnya. Sebuah pertunjukan yang populer pada zamannya, sebelum nantinya ada tarian jaipongan dan dilanjut dengan wayang golek di penghujung acara hingga pagi tiba. Banyak orang dari berbagai kampung datang ke Kampung Parigi, biasanya mereka menyewa truk atau mobil bak terbuka untuk berbondong-bondong datang melihat pertunjukan yang di laksanakan semalam suntuk.
Blug Tubuhku tiba-tiba terjatuh, tepat di atas tumpukan kardus ketika aku melihat makhluk yang sedang merangkak itu dari arah langit-langit, makhluk yang aku pun sendiri tidak tahu namanya. Karena dalam cerita-cerita hantu dan mitos yang aku sering dengar ketika aku masih kecil, tidak ada yang pernah menyebutkan nama dari makhluk ini. Tangan dan kakinya sangat kecil dan kurus. Namun kukunya panjang sehingga bisa merangkak di langit-langit warung yang terbuat dari kayu, tubuhnya terlihat sangat kurus. Bahkan tulang-tulangnya terlihat dengan sangat jelas olehku yang muncul di antara kulit-kulitnya yang sangat pucat. Rambutnya yang hitam terlihat terurai lurus kebawah. Meskipun aku hanya melihat punggungnya, tapi itu membuat ku kini merasa ketakutan bahkan tubuhku sendiri mendadak lemas hingga terjatuh di antara tumpukan kardus yang ada di ruangan belakang. Kikikiki Kikikiki Dia seperti sedang mempermainkanku, lampu minyak yang aku tempel
Suatu perjanjian yang selalu berhubungan dengan para makhluk gaib yang selama ini berada di sekitar kita tanpa kita sadari, selalu menimbulkan resiko dan akan disesali oleh seseorang yang melakukan perjanjian itu semasa hidupnya. Terutama, perjanjian-perjanjian yang mewajibkan para manusia untuk mengirimkan tumbal kepada mereka. Sebagai syarat bahwa derajat mereka lebih tinggi dan para manusia tersebut tunduk kepada mereka sebagai seseorang yang lemah dan butuh bantuan mereka dalam hidupnya. Mereka akan mengabulkan apapun mau itu kekayaan, kejayaan, ataupun keilmuan. Semua keinginan manusia akan terkabul secara instan, asal mereka harus di agungkan layaknya dewa, dengan persembahan-persembahan yang harus mereka berikan kepada makhluk itu di malam-malam tertentu. Dan itulah yang terjadi dengan Gunung Sepuh, gunung yang sangat erat kaitanya dengan Kampung Sepuh sendiri tempat aku tinggal. Banyak sekali manusia dari berbagai daerah berbondong-bondong ke tempat ini dengan segala tujuann
Jalanan yang menanjak dan berliku-liku, bersamaan dengan rintik hujan yang kini membasahi jalanan di antara pegunungan yang Pak Budi lewati. Sudah hampir satu jam setengah Pak Budi berkeliling di daerah selatan Kota Bandung, berusaha mencari kambing berwarna hitam pekat yang tak kunjung ditemukan saat ini. Suara dari deru mesin yang terdengar kencang dengan roda yang menggerus jalanan dan genangan air yang turun ke jalan pada sore itu, membuat mobil yang di kendarai Pak Budi melaju sangat kencang di jalanan yang berliku di selatan Kota Bandung. “Aku harus ke mana lagi mencarinya? ” Kata Pak Budi panik. Kedua tangannya memegang setir mobil dengan lihainya, jalanan yang sangat lengang ketika masuk ke perkampungan membuat Pak Budi bebas menjalankan mobil tersebut dengan sekencang-kencangnya, apalagi dengan air hujan yang turun dengan sangat deras bersamaan dengan langit sore yang sangat gelap, hingga menutupi matahari sore yang ingin menyinari Pak Budi dengan sinarnya yang hangat. Waj
ZRAASSS Hujan masih deras di luar dan wajah Pak Budi tampak semakin panik, ketika sosok yang ada di depannya kini menampakan dirinya sendiri di antara cahaya petir yang menggelegar pada malam itu. Dia melihat jam tangannya, tinggal lima jam lagi sebelum tengah malam. Dengan perasaan yang gelisah dan wajah yang tidak karuan, dia berdiri dari duduknya untuk membayar apa yang dia makan dengan tergesa-gesa. Mulutnya penuh dengan sisa nasi yang menempel di sekitar mulutnya, Namun dia tidak peduli, dia lebih memikirkan kambing berwarna hitam pada saat ini daripada harus memikirkan penampilannya. Jaket mewahnya yang tadi dia lepas hanya di simpan di dalam mobil, bersamaan dengan ayam cemani dan buah-buahan serta kemenyan yang dia bawa di dalam bagasi. Dia kini hanya memakai kaus oblong bergambar artis band rock terkenal pada masa itu, dengan gayanya yang nyentrik dan rambut kribo nya yang menjadi ciri khas dari band rock tersebut. “Berapa Kang? ” Kata Pak Budi sambil mengeluarkan dompet
“Kok pintunya gak bisa kebuka?” Brag, Brag, Brag, Aku yang panik kini sedang berada tepat di depan pintu rumah, rumahku yang sangat sederhana yang berdinding bilik kayu yang di cat putih dan hijau. Rumah yang turun temurun di berikan oleh kakek dan kakek buyutku, sehingga rumah yang ku tempati ini terlihat beberapa kali sudah di renovasi mengikuti jaman. Rupanya, ibu dan Bapak mengunci pintu rumah. Sehingga aku yang berusaha masuk ke dalam rumah untuk menyelamatkan diri dari makhluk tersebut pun hanya bisa berdiri di depan rumah sambil berusaha membuka pintu yang terkunci itu. Suara cekikikan dari depan warung masih terdengar, bersamaan dengan cahaya lampu minyak yang mati dan menyala tidak karuan, sepertinya makhluk itu sangat menikmati suara radio yang dia dengarkan sepanjang malam ini. Meskipun, aku sendiri tidak tahu kenapa makhluk tersebut sangat terobsesi dengan radio yang Bapak punya. Kikikiki Kikikiki “Ieu barang urang, barang urang hiji-hijina di dunia ieu. (Ini barangk
Sebuah ruangan yang memanjang hingga ke pintu depan yang berwarna cokelat tua, dengan dua jendela yang tertutup sebuah tirai putih yang sudah kotor dan berdebu. Ruangan yang berdinding bilik dari bambu itu tampak seperti baru, dengan corak dari bambu hitam yang membentuk sebuah belah ketupat yang dianyam sedemikian rupa dengan bilik bambu berwarna cokelat. Bentuk rumahnya tampak seperti rumahku, dengan ruangan tengah dan di dua buah kamar tidur yang ada di sebelah kanan juga dapur tempat aku masuk tadi. Tapi, isi di dalamnya tampak berbeda, dinding di ruangan rumahku sudah di cat putih. Tidak seperti ruangan ini yang berwarna cokelat. Juga benda-benda seperti jam dinding atau lemari besar pun tidak terlihat di sini, yang ada hanyalah lemari kecil seukuran tubuhku dengan beberapa lubang kecil di pintunya. “Kenapa rumahku tiba-tiba berubah? Atau aku salah masuk rumah?” “Tapi meskipun di luar gelap aku yakin sekali tidak salah masuk rumah, hanya bagian dalamnya saja yang berbeda.” Ak
Ruangan tengah rumah, yang beralaskan kayu yang akan berdecit ketika kita menginjaknya, dinding-dindingnya masih memakai bilik bambu yang berwarna cokelat tua dengan beberapa titik berwarna hitam yang berbentuk motif belah ketupat. Tidak ada yang spesial dari ruangan ini, tidak ada lemari kaca yang berisi perabotan seperti di rumah, tidak ada jam dinding sebagai penentu waktu, juga tidak ada lampu minyak yang menempel di dinding. Yang ada hanyalah ornamen-ornamen yang menggantung , ornamen-ornamen yang aku pun sendiri tidak tahu bentuk apa itu. Di ruangan itu hanya ada satu lemari, lemari yang sudah usang dengan banyaknya lubang-lubang yang sepertinya habis dimakan oleh rayap. Dan kini, di lemari itu sekarang menjadi tempat aku bersembunyi, dengan suasana yang mencekam karena melihat tiga makhluk yang sedang duduk di tengah rumah bersamaan dengan beberapa lilin kecil yang menerangi mereka. Mereka kini tengah sibuk memakan makanan yang ada di depan mereka, makanan yang berbentuk dagi