Semua Bab Kala Cinta Menyapa: Bab 21 - Bab 30
104 Bab
21, Cucu Kepala Desa
ROBERT bergegas turun dari kudanya ketika melihat van Loen berjalan menuruni tangga rumah. Sepertinya lelaki tua itu hendak pergi. Siang sudah berganti menjadi petang. “Om mau ke mana?” Robert menjulurkan tangan sebagai pegangan van Loen turun. Lelaki itu mendadak terlihat semakin tua. Ringkih berjalan goyah mencari pegangan. Semakin hari van Loen semakin terlihat layu. Perubahannya sangat cepat dibanding ketika Robert pertama bertemu di pesta ulang tahun Ells. Robert mengerti kesedihan van Loen. Kehilangan anak gadis satu-satunya setelah kematian istri tentu sangat memukul batin lelaki tua yang jauh dari tanah leluhur. Tentu dia semakin merasa sendiri dan kesepian. “Om mau ke hutan.” “Untuk apa? Ini sudah terlalu sore.” “Om ingin tahu kabar pencarian Ells.” “Belum ada kabar terbaru, Om. Aku baru dari hutan.” “Siapa tahu ada kabar terbaru ketika kau pergi.” Robert menyembunyikan dengus. “Om tunggulah di sini, biar aku kembali ke huta
Baca selengkapnya
22, Hujan di Hutan
RUMAH pohon yang lain dari yang sebelumnya. Itu kesimpulan Ells setelah turun dari punggung penculiknya dan matanya menyapu ruang kecil di depannya. Rumah pohon kedua. Rumah pohon ini sebesar rumah pohon yang kemarin. Sebesar? Lebih tepatnya sekecil. Kembali, Ells duduk di sudut tanpa ada pilihan tempat lain. Matahari sisa segaris di ufuk barat. Sinarnya sudah sangat tipis sampai ke bumi. Bahkan di ketinggian rumah pohon ini, cahayanya sisa redup temaram yang tidak bisa membuat mata jelas melihat. Setelah memastikan di mana tawanannya duduk, Airlangga langsung bekerja. Dia harus menghadirkan cahaya di ruang mungil ini. Sepanjang Airlangga bekerja, Ells hanya duduk tanpa bentuk sambil memikirkan nasibnya. Dia cukup berbahagia ketika menyadari penculiknya sedang berusaha menyalakan pelita. Tidak bisa dia bayangkan nasibnya jika harus bergelap gulita di tengah hutan. Malam pertama mungkin dia masih bisa bertahan. Dia dan kepolosannya h
Baca selengkapnya
23, Hari Keempat
MATA Ells berkedip-kedip tak nyaman. Cahaya itu mengganggu tidurnya. Tidurnya yang paling nyenyak. Berusaha menghilangkan cahaya itu, Ells menggeser kepalanya. Dia mendengar suara degup yang ketukannya semakin cepat. Suara apa itu? Ells berusaha mengingat. Mengumpulkan kembali nyawanya yang tercerai-berai tidur lelapnya. Dia bisa merasakan hembusan udara hangat di lehernya yang tertunduk. Hhmm … hembusan angin dari sela-sela dinding kayu. Hangat. Hangat? Seharusnya dingin…. Dia masih ingin tidur. Berhasil menghindar dari cahaya, tidak mengacuhkan suara degub yang terdengar jelas di telinganya, dan melupakan angin yang bertiup hangat dari celah dinding. Dia meringkuk semakin dalam. Tangannya bergerak melingkari tubuh hangat di pelukannya. Tubuh hangat? Di pelukannya? Tubuh hangat di pelukannyaaaa…??? Kesadarannya datang menghampiri cepat seperti kilat, menggelegar seperti guruh. Itu tubuh penculiknya! Mendadak dia menarik diri
Baca selengkapnya
24, Pemandangan yang Menyentuh Hati
PEMANDANGAN di depannya sungguh menyentuh hati. Ells terdiam melihat pemandangan di depannya. Penculiknya sedang berusaha memindahkan sebuah batu yang menjepit kaki seekor rusa kecil. Sang induk berdiri di samping anaknya, bergerak gelisah. Seekor rusa jantan pun ada di sana. Tanduk panjang dan bercabangnya sungguh indah. Ells asumsikan bahwa itu adalah keluarga kecil rusa. Dia tak tahu, apakah rusa hidup seperti manusia, berkeluarga dan selalu bersama keluarganya. Suara penculiknya terdengar lembut ketika dia menenangkan anak rusa yang ketakutan dan kesakitan. Sesekali tangannya mengelus kepala rusa kecil itu. Batu itu tidak terlalu besar, tapi dia harus berhati-hati menggerakkan batu itu. Salah sedikit, kaki rusa kecil itu akan lebih terjepit. “Apa yang kau lakukan sampai kakimu terjepit seperti ini, Rusa Kecil?” Suaranya pelan menenangkan, tapi terselip cemooh di suara itu, seperti seorang paman mengejek kenakalan kemenakannya. “Tenanglah, aku akan membebaskan
Baca selengkapnya
25, Kejadian Yang Nyaris Sama
DI waktu yang sama, sekelompok manusia berkuda bergerak cepat. Berderap, Robert, Topan, dan sekelompok serdadu bayaran Hindia Belanda memasuki desa dengan senjata terkokang siap menyalak. Tamu tak diundang yang menimbulkan kegaduhan dan kepanikan. Topan memimpin di depan membuka jalan. “Ini rumah kepala desa yang lama, Tuan.” Dia menunjuk rumah Airlangga. “Dan ini rumah kepala desa yang baru.” Dia menunjuk rumah Paman Tirta, tepat di samping rumah Airlangga. Tapi dia hanya menunjuk saja. Dia berhenti di tanah lapang, tanah lapang yang sama tempat kepala desa yang lama meregang nyawa. Ingatan itu masih sangat membekas di kepala semua warga, membuat mereka makin ketakutan. Anak-anak dan wanita berlarian mencari tempat bersembunyi. Para lelaki langsung mengambil senjata, bersiap membela harga diri. . DOR . “AAARRRGGGHHH…!!!” Tapi tangan-tangan itu kalah cepat dengan sentakan senjata api. Sebuah erangan langsung terdengar manakala sebuti
Baca selengkapnya
26, Kawanan Kera
MEREKA kembali berjalan. Dalam diam. Hanya berteman suara binatang, desau angin, gemersik daun, dan sesekali kecipak air dari mata air yang sangat banyak tersebar di penjuru hutan. Senyap yang berhasil menghilangkan pikiran-pikiran yang tadi sempat muncul di benak masing-masing. Tapi apa benar diam itu membantu menghilangkan? Atau diam itu malah menyegarkan isi kepala? Tapi mereka tidak ada pilihan lain selain diam. Kembali menjadi musuh yang berjarak. Ells memang diam. Tapi hanya diam tidak bertanya pada penculiknya. Dia terus menggerutu dan mengeluh dalam hati meski gerutu itu sering tetap keluar dan terdengar penculiknya. Dia memang tidak berharap penculiknya memperlakukan dia seperti perlakuannya ke keluarga rusa, tapi paling tidak lelaki itu mengertilah sedikit kepayahannya berjalan. Penculiknya mendengar gerutu dan keluh kesah itu, tapi dia malah membuat perjalanan terasa makin menyiksa Ells. Di daerah datar, dia berjalan cepat, membuat Ells setengah berlar
Baca selengkapnya
27, Menyambut Tamu
LUKA itu menganga dan mengeluarkan darah terbentuk melintang di dadanya. Melihat sekilas lukanya, Airlangga menarik tawanannya berdiri, dan menempatkan gadis itu di belakang tubuhnya. Sedangkan dia mengamuk mengusir kera-kera itu. Sampai akhirnya kawanan itu menyerah, kabur meninggalkan mereka dengan tubuh lebam terkena pukulan tombak Airlangga. Daniella masih berjongkok dengan tangan menutup wajah. Dia tidak berani melihat pemandangan di depannya, dan takut jika kawanan itu mencakarnya juga. “Sudah. Mereka sudah pergi.” Suara Airlangga jernih tanpa ditingkahi jeritan kera-kera nakal. “Ayo…” ajaknya ketika Ells masih tetap berjongkok tak berani melepas tangan yang menutupi wajahnya. Dia ikut berjongkok dengan sebelah kaki. Tapi tawanannya bergeming. “Ayo. Jangan sampai mereka kembali dengan membawa keluarga besarnya ke sini membalas dendam. Itu bisa berart ratusan kera. Aku tidak bisa menghadapinya sendiri, lebih baik melarikan diri.” Lagi-lagi Airlangg
Baca selengkapnya
28, Rumah Pohon yang Lain
AKHIRNYA Airlangga berhenti. Malam telah datang, bulan sabit semakin menipis. “Kita sampai,” ujar Airlangga pada tawanannya. Baru kali ini dia berkata seperti itu. Ells, yang sudah terbiasa dengan diamnya, sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. Matanya menatap ke pohon trembesi dengan pokok yang besar dan daun yang rimbun. Di atas sana, di cabang utama pohon trembesi itu, berdiri sebuah rumah pohon, terlindung lebatnya daun. Ini rumah pohon yang lain lagi. Entah ada berapa banyak rumah pohon di hutan. Ells tidak peduli. “Aku akan mengantarmu naik. Lalu akan mencari makan malam kita.” Terbelalak, Ells berkata, “Mencari makan?” “Kenapa? Apa kau tidak lapar?” Bukankah tadi dia memetik buah tak begitu lama sehabis menghabiskan makan siangnya dengan lahap? Wajahnya pun sangat kuyu, wajah orang kelaparan.. “Kenapa tidak tadi di perjalanan kau mencari makan?” Suaranya seperti tercekik, Ells begitu panik dan ketakutan. Bibir Airlangga membe
Baca selengkapnya
29, Hari Kelima
SINAR matahari pagi membangunkan Ells dari tidur nyenyaknya. Menggeliat dengan geliat yang bertenaga, tubuhnya terasa sangat segar. Tidak ada jejak lelah seharian berjalan. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis. Ini senyum pertamanya menyambut pagi selama di hutan. Jendela yang terbuka lebar mengirimkan kehangatan matahari ke ruang kecil rumah pohon ini. Membuat suasana hati Ells semakin nyaman. Dia siap berjalan lagi. Mana dia? Dia hanya sendirian saja. Penculiknya pasti berburu. Berapa lama dia sendirian? Tapi dia tidak terlalu takut jika sudah ada matahari yang menemani. Merasa semua baik-baik saja, dia kembali bergelung. Tangannya bergerak-gerak meraba kulit halus berbulu tipis yang menjadi alas tidurnya. Entah kulit apa. Sepertinya kulit rusa. Dia ingin kembali tidur. Sambil memejamkan mata dia menikmati cahaya matahari yang jatuh di kulitnya. Tak lama pintu berbunyi membuka, yang dicari datang. Membawa hasil buruannya. Kali ini dua ekor. Kelinci dan ayam.
Baca selengkapnya
30, Terpisah
PAGI itu sama seperti pagi-pagi yang lain. Namun aura kecemasan semakin terasa sejak kedatangan pemuda Belanda mencari Airlangga. Jejak Airlangga sudah tercium. Itu membuat Tirta tak bisa tenang. Sejak semalam dia bergulang-guling di ranjang tak bisa tidur. Sampai pagi itu, jejak kegelisahannya masih sangat jelas, membuat Rindang semakin diam menyiapkan makan pagi untuk ayahnya. “Rindang, Anakku….” “Sendiko, Ayah.” Gadis itu bergegas mendekat berjalan semi berlari dengan bahu membungkuk. “Ayah akan membawamu ke rumah keluarga mendiang ibumu di desa sebelah.” Pernyataan itu membuat Rindang tersentak. “Kenapa, Ayah? Ada apa sampai aku harus pergi?” “Ayah yakin, mereka akan kembali ke sini. Ketika mereka kembali, Ayah tidak mau mereka melihat kau.” “Aku tidak akan keluar rumah jika mereka datang,” janji Rindang cepat. “Itu jika kau tidak ada di luar atau kau sempat bersembunyi. Bagaimana jika tidak?” “Aku akan bersembunyi terus di dalam
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status