Semua Bab Pewaris Pedang Sulur Naga : Bab 31 - Bab 40
239 Bab
Bab 31. Merawat Mahisa Dahana
Demikian tajam bagai seekor elang yang mengincar anak ayam. Anak ayam itu adalah dirinya. Dia berusaha tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh, sembari mengikuti gerak tubuh Umang Sari dalam hentakan pukulan gendang. Pemilik mata itu adalah Paksi Jingga. Pemuda berusia tiga puluh warsa, anak tertua ketua padepokan Tangan Seribu yang lama, sekaligus calon ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang.Setelah selesai berlatih menari, Sekar Pandan melirik pada Paksi Jingga yang masih duduk di atas pohon sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Mata keduanya bertemu. Tajam menusuk kalbu, itulah tatapan Paksi Jingga yang dirasakan Sekar Pandan. Apalagi wajah tampan itu banyak sayatan luka, menambah seram pemiliknya. Sangat jauh berbeda dengan pandangan Raden Prana Kusuma yang teduh padanya. Sehingga selalu membuat hatinya tenang setiap bersama pemuda bangsawan Majapahit itu."Tatapan matanya begitu tajam. Apakah dia marah padaku?" tanya Sekar Pand
Baca selengkapnya
Bab 32. Tiga gadis perambah hutan.
Dengan sedikit gemetar, tangan pemuda itu menggenggam tangan Sekar Pandan lalu mengangguk. Tangan kecil halus itu meloloskan diri dari genggamannya. Wajahnya memerah karena malu.Mahisa Dahana mengulum senyum. Getar aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda itu mulai menyayangi Sekar Pandan. Hatinya selalu bahagia jika berdekatan dengan Dewi Bunga Malam itu."Apakah aku mencintai Sekar Pandan?" tanyanya dalam hati.Hari itu Sekar Pandan membawa keranjang bambu dan sabit pinjaman dari Ki Gondo untuk pergi ke hutan mencari dedaunan obat. Kepergiannya diikuti Umang Sari dan Palasari atas perintah Paksi Jingga. Pemuda itu tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis pemilik Pedang Sulur Naga. Paksi Jingga yakin, gadis itu akan mengubah pendiriannya untuk kemudian meminjamkan pedang miliknya pada perkumpulan Sapu Tangan Merah.Untuk itu pihaknya harus memperlakukan Sekar Pandan dengan lebih baik. Paksi Jingga bukan asal memilih pengawal untuk gadis itu. Dia
Baca selengkapnya
Bab 33. Goresan Masa Lalu
Sekar Pandan gelagapan karena sulit bernapas. Pegangan tangannya pun terlepas. Dia mencoba menggapai lengan Palasari. Usahanya berhasil. Dengan seluruh tenaganya, tubuh Sekar Pandan merunduk sambil melemparkan tubuh Palasari ke udara.Gadis penari itu menjerit merasakan kekuatan yang luar biasa melontarkan tubuhnya ke udara. Saat tubuhnya masih melayang di udara, dia segera meliukkan tubuh mengatur keseimbangan. Tak ayal, mulutnya tetap meringis kesakitan saat tubuhnya jatuh terjerembab di atas tanah.Buk!"Kau!" Gadis itu menuding Sekar Pandan yang memegangi leher akibat cekikannya. Saat itu muncul niat jahat di hati Umang Sari. Diam-diam dia mendekati Sekar Pandan. Tangannya terulur hendak merampas pedang gadis itu yang ada di punggungnya.Suara daun kering yang terinjak kaki Umang Sari memberitahu kewaspadaan Sekar Pandan akan adanya bahaya dari arah belakang. Tanpa disangka Umang Sari, tubuh Sekar Pandan meliuk cepat sambil
Baca selengkapnya
Bab 34. Terkepung Musuh
Sekar Pandan memalingkan muka dari Umang Sari agar bisa mengusap sudut matanya yang meneteskan air mata. Itu merupakan awal dari  hilang suaranya."Ayah bawa minuman?" Mata Sekar Pandan kecil berseri-seri saat melihat seorang murid ayahnya membawa mangkuk. Kerongkongannya terasa kering akibat kebanyakan menangis."Minumkan ramuan itu!""Baik, Guru!" Salah satu murid memegangi tangannya dan satunya meminumkan ramuan pada Sekar Pandan."Ayah angkat …! Ampuni Sekar. Sekar tidak akan mengulanginya lagi. Tidak akan mempelajari kitab racun itu lagi. Sekar janji, Ayah!"Sekar Pandan menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangannya. Hatinya bagai diiris sembilu setiap mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatnya jatuh  sakit berhari-hari hingga suaranya hilang setelah meminum ramuan obat pemberian ayah angkatnya."Kau menangis?" Umang Sari bertanya halus. Sekar Pandan mengusap air ma
Baca selengkapnya
Bab 35. Pertarungan dengan Manggala
"Hahaha! Sudah mau mampus masih sombong!" dengus Manggala muak. Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat pada anak buahnya. Sesaat kemudian suara dentingan senjata beradu terdengar riuh di selingi pekik kemarahan dan jeritan menyayat.Sementara di kamar Mahisa Dahana, para penari perempuan dan Nayaga tengah berkumpul di sana. Wajah mereka tegang. Setiap mendengar jeritan kematian dari luar, keringat dingin semakin mengalir. Bukan mereka takut, tapi mereka tidak tahan melihat orang-orang sesat dari perguruan Tangan Seribu itu berbuat telengas terhadap orang-orang yang tidak berdosa.Paksi Jingga membuka pintu kamar pelan, lalu mengajak semua saudaranya menyelinap keluar lewat pintu belakang. Di sana, dekat dengan dapur, ada satu lagi pintu yang menuju keluar."Bagaimana, Kakang?" gumam Mahisa Dahana cemas. Paksi Jingga menatap wajah adiknya yang belum pulih dengan pandangan tegang. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan adik d
Baca selengkapnya
Bab 36. Serangan Pedang Manggala
Di tempat persembunyian, Paksi Jingga tersenyum puas. Dia memutar tubuhnya untuk menghadang Manggala dan anak buahnya. Mereka tidak boleh mengejar kedua paman yang telah ia anggap pengganti orang tuanya itu, tekad pemuda berwajah cacat ini."Kau, Pendekar Bertudung Bambu. Akhirnya menampakkan diri secara terang-terangan. Bagus! Sudah lama aku menantikan saat ini." Manggala berdiri gagah dengan menggenggam kuat gagang pedangnya. Sorot matanya tajam menantang. Dia tidak takut dengan lawan di depannya. Bagi Manggala, semua yang berhubungan dengan mantan orang-orang perguruan Tangan Seribu yang kini menamakan diri sebagai perkumpulan Sapu Tangan Merah harus dibinasakan. Para anak buah pemuda itu telah mengurung Paksi Jingga. Pedang mereka bergerak kesana kemari mengimbangi gerak kaki mereka."Huh! Jurus curian ingin kalian gunakan untuk menghadapi pemilik jurus yang asli? Hahaha. Kalian para Dagelan yang tidak lucu!" Paksi Jingga tertawa mengejek pada anak buah Manggala.
Baca selengkapnya
Bab 37. Persembunyian
Siang yang panas di musim kemarau memang sangat nyaman untuk berteduh di bawah pohon rindang sembari meneguk air dari buah kelapa muda yang dipetik dari pohonnya. Air sungai yang jernih pun bisa menjadi air dari Nirwana.Tiga gadis cantik yang tidak lain adalah Sekar Pandan, Palasari, dan Umang Sari membuka perbekalan yang diberikan pelayan Ki Gondo. Rasa lezat dari masakan itu membuat keduanya terdiam. Pikiran mereka melayang ke masa lalu. Pada seorang perempuan bijak yang dipanggil ibu yang selalu memasakan makanan lezat untuk anaknya. Alih-alih dimasakan ibu, Sekar Pandan hanya bisa merasakan masakan bibi pengasuhnya.Umang Sari menoleh pada Sekar Pandan. Pelan sekali suaranya ketika mengajukan pertanyaan. "Apakah kau juga merindukan ibumu, Sekar Pandan?"Sekar Pandan menoleh. Mengamati wajah gadis itu sebentar sebelum menganggukkan kepala. Lalu telunjuk kirinya yang tidak memegang makanan menulis huruf di atas tanah. "Ibuku telah meningg
Baca selengkapnya
Bab 38. Kunjungan Layangsewu
"Sekar, kapan aku akan benar-benar pulih dan bisa bertarung kembali. Saudara-saudaraku sudah membutuhkanku," keluhnya.Sekar Pandan membalasnya dengan tersenyum pedih. Lalu pergi ke bagian lain dari gua untuk membuat ramuan obat yang sudah ia kumpulkan dalam keranjang. Umang Sari pun segera mengambil umbi yang mereka dapatkan untuk dibakar sebagai pengganjal perut. Sengaja mereka tidak membuat api di luar gua, takutnya pihak musuh akan dapat mencium tempat persembunyian mereka.Dengan telaten, Sekar Pandan mengganti ramuan obat pada tubuh Mahisa Dahana dengan ramuan yang baru."Kau harus tenang dan sabar," ujarnya dengan gerakan tangan disela-sela jari lentik miliknya mengurut dan membetulkan tulang Mahisa Dahana, yang tentu saja sembari dilambari ilmu tenaga dalam. Mahisa Dahana merasakan hawa hangat menjalar ke dalam tubuhnya, lalu berkumpul menjadi satu di tulang yang terluka. Hawa hangat itu semakin panas hingga membuat sekujur tubuhnya berk
Baca selengkapnya
Bab 39. Rencana Licik
Dewa Jari Maut melompat turun diikuti empat anak buahnya. Membiarkan kuda mereka dibawa murid yang bertugas membersihkan kandang kuda.Dengan langkah gagah dan angkuh, Dewa Jari Maut menemui ketua padepokan di ruang Sanggar Pamujan. Dia tahu, setiap saat ketua selalu bermeditasi di sana. Empat anak buahnya mengikutinya dari belakang.Dewa Jari Maut menyapa ketua Perguruan Tangan Seribu dari luar. Pria yang telah berusia lanjut tapi tetap gagah itu membuka matanya yang tertutup alis yang mulai putih. Pandangannya teduh."Rupanya kau yang datang, Adhi. Kok janur gunung ( tumben) datang di waktu matahari akan beristirahat di peraduannya. Ada masalah apa, Adhi?" Ketua perguruan Tangan Seribu bertanya dengan sopan dan halus. Dia tetap duduk bersila. Dewa Jari Maut mendekat."Aku sangat membutuhkan bantuanmu, Kakang." Suaranya mengiba."Apa itu, Adhi?""Sebuah tempat tinggal.""Kenapa dengan tempat tinggalmu yang lama?"
Baca selengkapnya
Bab 40. Sang Penghianat Perguruan
Lain halnya dengan Layangsewu, laki-laki tak berjari tangan kanan itu duduk menyeruput wedang jahe hangat kesukaannya. Murid pelayan di sini sudah hafal dengan segala hal tentang dirinya. Baik itu tentang sesuatu yang disukai maupun yang tidak disukai.Pria itu hampir saja melompat dari tempat duduknya, saking kagetnya, ketika mendengar kakangnya menyemburkan cairan berwarna merah."Kakang …! Kau baik-baik saja …?" Layangsewu memapah tubuh Ki Anjarsewu yang mulai sempoyongan akibat pengaruh racun. Wajah pria tua itu pucat dan gemetar. Seluruh tubuhnya bagai dicengkeram sebuah kekuatan yang sulit dikendalikan. Semua kekuatannya telah dikerahkan untuk melawan pengaruh kekuatan racun yang telah merasuk  dan mengendap pada darah."Kau … kau membubuhkan racun dalam minumanku, Layangsewu?!" sergahnya seraya mengibaskan lengan adiknya. Matanya yang sayu menatap adiknya dengan kecewa dan pedih."Apa maksudmu, Kakang?" tanya Layangsewu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
24
DMCA.com Protection Status