All Chapters of Pewaris Pedang Sulur Naga : Chapter 41 - Chapter 50
239 Chapters
Bab 41. Fitnah Keji
"Cepat pergi, Sempana!" bentak Ki Anjarsewu menekan dadanya yang sakit.Tidak ada jalan lain bagi Ki Sempana selain meninggalkan Ki Anjarsewu untuk mencari kedua anaknya serta membawa Nyai Anjarsewu dan pelayan wanita itu menyingkir. Mereka meninggalkan laki-laki tua itu sekarat seorang diri. "Kakang ...." Nyai Anjarsewu berat meninggalkan suaminya. "Pergilah, Nyai." Tangan ketua Perguruan Tangan Seribu bergerak menyuruhnya pergi."Layangsewu, iblis apa yang telah bercokol di otakmu hingga kau tega melakukan semua ini padaku?" Tubuh ketua yang selama ini menjadi panutan dan pelindung padepokan justru terkulai meregang nyawa. Dari ujung lorong, muncul dua bayangan hitam memegang pedang terhunus. Keduanya terus maju dengan sikap waspada."Kalian … begundal-begundal Layangsewu.""Rupanya kau belum mampus , Orang tua!" Salah satu bayangan hitam itu berkata. Ki Anjarsewu tidak mengenali wajah dua orang itu karena tert
Read more
Bab 42. Kebencian yang Mendarah Daging.
"Menurut keterangan yang berhasil aku korek dari mulutnya, pelaku itu juga murid Padepokan ini sendiri. Hah! Padepokan macam apa ini? Kasihan sekali saudaraku itu, murid yang siang malam dididik untuk menjadi baik justru balik menyerangnya. Ohh … Dewata, tunjukkan keadilanmu!"Layangsewu mendongak ke langit sambil berteriak-teriak memohon keadilan kepada Sang Maha Pemberi Keadilan. Semua murid padepokan semakin geram. Di barisan paling belakang, tepatnya untuk beberapa murid perempuan. Salah satu perempuan muda berdiri dengan suara lantang."Paman Layangsewu, siapakah orang yang telah membutakan hati murid penghianat itu? Tolong tunjukkan pada kami agar keadilan ini bisa ditegakkan."Layangsewu tersenyum dingin."Untuk apa?" tanyanya "Dia harus diadili sekarang juga!" jawab gadis itu lantang."Benar!" sahut yang lain penuh kemarahan."Bawa dia ke sini! Adili murid penghianat itu!"
Read more
Bab 43. Dendam Masa Lalu
"Anggapati, aku memberimu tugas untuk mencari dan menangkap mereka hidup atau mati. Jika perlu cari mereka di seluruh Jawa Dwipa dan daerah lain di Nusantara ini. Aku tidak ingin mereka ada yang hidup," perintah Layangsewu atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Jari Maut. Pria bernama Anggapati itu membungkuk kemudian undur diri melaksanakan perintah ketuanya.Layangsewu duduk di kursi dampar yang ada di Pendopo. Matanya menyapu tubuh-tubuh tak berdosa yang mulai dirapikan anak buahnya, Lalu pandangannya beralih ke atap pendopo. Dia ingat, Pendopo ini dulu dibuat ayahnya dengan susah payah.Masih ingat pesan hari itu, "Kau lihatlah, pendopo ini, Anakku. Kokoh dan kuat. Harapannya, kelak perguruan Tangan Seribu ini akan seperti itu. Menjadi perguruan yang kokoh dalam hal memerangi kejahatan juga kuat di dunia persilatan karena persaudaraan antar murid sangat erat. Semua itu kelak dirimu yang harus mewujudkannya." Ketua pendiri perguruan Tangan Seribu berka
Read more
Bab 44. Pelarian
Sejak penyerangan hari itu, perguruan diambil alih oleh Layangsewu dan anak buahnya. Para murid yang tewas dikubur jadi satu di luar area perguruan. Sedangkan yang terluka di penjara di ruang khusus. Meski demikian, banyak juga yang berhasil melarikan diri dari penyergapan anak buah Layangsewu.Laki-laki tanpa jari kanan memang licik. Sebelum dia mengunjungi saudara tirinya di sanggar pamujan, dia telah menyiapkan sebutir kecil racun yang ia simpan di balik ikat pinggangnya. Sebuah racun keras yang cepat larut dalam minuman. Racun itu tidak merubah rasa dan warna minuman, sehingga sangat aman saat dicampurkan pada jamu yang biasanya Ki Anjarsewu minum selepas bersemadhi.Hatinya berbisik senang saat yang ditunggu-tunggu tiba. Murid yang bertugas mengantar jamu untuk ketua perguruan Tangan Seribu akhirnya datang. Dengan alasan kasih sayang seorang adik kepada kakangnya, mulailah Layangsewu mengambil alih tugas si murid. Tanpa sepengetahuan siapa pun bahkan
Read more
Bab 45. Pergi ke Bukit Tengkorak.
Kembali semua orang diam. Nyai Limbuk menambahkan kayu kering ke dalam api unggun. Api yang semula mulai mengecil, kini membesar kembali. Menyinari wajah dan tubuh depan mereka yang berkilat-kilat karena keringat yang menempel kering di tubuh mereka."Begitu juga dengan angger Mahisa Dahana. Mereka harus bersembunyi, agar keberadaannya tak tercium anak buah Dewa Jari Maut.""Kurasa cara itu lah yang harus kita jalankan, Nyai." Ki Gondo menambahkan.Nyai Anjarsewu merangkul putra sulungnya dengan sedih. Kemudian mencium kening Paksi Jingga dan Mahisa Dahana. "Jika menuruti hati, ibu tidak ingin semua ini terjadi. Kita berempat bekumpul bersama dan bahagia, untuk saat ini harus kita simpan rapat dalam hati. Ibu hanya berpesan padamu, Paksi Jingga. Jadilah manusia yang tangguh dalam mewujudkan cita-cita Padepokan. "Paksi Jingga mengangguk sedih. Dia sekuat hati menahan rasa sedih dan gundah gulana. Sebagai anak sulung, tugas bera
Read more
Bab 46. Manusia Bertopeng Tengkorak
"Hahaha!" Tawa menggema itu terdengar memutari tempat. Mereka menambah kesiagaan penuh, siap menghadapi serangan musuh yang tak tampak. ."Siapa kau?!" Ki Gondo bertanya dengan keras."Mau apa kalian ke hutan ini? Cepat kembali!" Suara itu terdengar lagi."Apa hakmu menyuruh kami kembali? Kami tidak akan pergi sebelum bertemu pendekar penguasa bukit tengkorak ini," ujar salah satu murid Perguruan Tangan Seribu berani.Serangkum angin kencang datang melabrak tubuh murid itu. Untuk sesaat dia terpana. Angin serangan demikian cepat dan tidak tahu siapa yang mengirim. Saking terpananya, hingga lupa untuk menghindar. Tubuh murid yang tergolong tingkat tinggi itu terpental melabrak pohon di belakangnya.Setelah bergelojotan, tubuhnya diam, mati.Nyai Anjarsewu dan Nyai Limbuk menjerit ketakutan."Kakang Gondo, lebih baik kita kembali," bisik Nyai Limbuk semakin ketakutan.
Read more
Bab 48. Ranting Pohon
Ramuan yang ia tumbuk telah selesai. Dengan telapak penuh tumbukan warna hijau, Sekar Pandan menghampiri tubuh Mahisa Dahana. Pemuda itu tengkurap di lempengan batu."Biar aku bantu." Umang Sari berjalan cepat menghampiri Sekar Pandan. Tangan gadis penari ini mengambil ramuan hijau dari telapak tangan Sekar Pandan.Sekar Pandan menggelengkan kepala saat Umang Sari memborehkan ramuan itu di punggung Mahisa Dahana, tanpa meminta petunjuk terlebih dulu padanya. Dara jelita ini menyenggolkan bahunya pada bahu gadis itu.Umang Sari mendongak. Melihat raut wajah Sekar Pandan yang tidak suka dengan perbuatannya tadi. Dia tahu diri. Namun, perasaan tertariknya pada ketampanan Mahisa Dahana membuat tahta angkuh terukir di hatinya demikian tinggi. Sekar Pandan memang memiliki wajah cantik. Sikap Mahisa Dahana yang selalu melindungi gadis itu menciptakan cemburu samar di lubuk hati Umang Sari.Sekar Pandan menggerakkan tang
Read more
Bab 47. Guru bagi Mahisa Dahana
"Entahlah, Mbakyu." Ki Gondo memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut."Ohh … apakah aku sudah di alam baka?" Terdengar sebuah keluhan dari tubuh gemuk Nyai Limbuk yang pingsan. Wanita berbadan subur itu bangun. Matanya mengerjap memandang sekitar. Saat dia masih mengenali tempat itu, dia melompat dan berlari ke belakang tubuh Ki Gondo." Ki, kenapa kita masih di sini?" tanyanya ketakutan."Tenanglah, Nyai. Sebentar lagi kita akan meninggalkan hutan ini. Ayo, kita pergi dari sini." Ki Gondo memerintahkan semua orang untuk meninggalkan tempat ini. Nyai Limbuk menggantikan Nyai Anjarsewu menggendong Mahisa Dahana."Tinggalkan anak itu di sini!" Sebuah suara menghentikan ayunan langkah kaki mereka. Itu suara si laki-laki kecil bertopeng tengkorak. Ki Gondo dan Nyai Anjarsewu saling pandang. Ada aura lega pada wajah mereka."Bagaimana, Adhi Gondo?" bisik Nyai Anjarsewu."Bukankah ini yang kita inginkan, Nyai," jawab lelaki itu.Nyai Anjarsewu terdiam
Read more
Bab 49. Penciuman Manggala
"Kau lupa pada tugasmu, Sekar Pandan?"Gadis itu gelagapan. Rupanya sejak tadi pikiran bawah sadar yang telah menguasainya, membuat dia tidak menyadari kehadiran pemuda bertudung bambu telah duduk di sampingnya.Sekar Pandan menatap wajah tergurat luka. "Kau sangat kami butuhkan. Lihatlah, Paman Gondo saat ini terluka, kau periksalah." Sekar Pandan baru ingat bahwa Ki Gondo ke sini dalam keadaan terluka.Perlahan pantatnya terangkat lalu meninggalkan Paksi Jingga yang segera mengekor di belakangnya. Sekar Pandan mulai memeriksa denyut nadi Ki Gondo. Keningnya berkerut. Lelaki itu terluka dalam cukup parah. Bisa dibayangkan, lawannya bukan orang sembarangan."Kau masih menyimpan ramuan obat untuknya?" Paksi Jingga bertanya pada Sekar Pandan. Suara pemuda itu demikian dekat, hingga Sekar Pandan dapat merasakan dengus napasnya. Dengan hati-hati, gadis berkain hijau itu melangkah satu langkah ke samping kanan. Agar ada jarak d
Read more
Bab 50. Menghadang Musuh yang Datang
Manggala berjalan gagah paling depan menyusuri hutan. Hidungnya bergerak-gerak. Mirip seekor anjing pelacak, mencari tahu letak bau yang sudah dihafal sejak lama. Bau sapu tangan merah yang selalu tersimpan di tubuh para anggota Sapu Tangan Merah. Langkah mereka semakin jauh masuk hutan. Di belakang Manggala, para anggota perguruan Tangan Seribu tidak kalah menajamkan penglihatan dan penciuman. Pedang di tangan tergenggam erat. Mencari keberadaan mereka ibarat bermain petak umpet, seperti saat mereka masih kecil. Rombongan itu terus merambah hutan mengikuti Manggala yang berpatokan pada daya penciuman.seekor landak berlari melintasi mereka dengan ketakutan. Salah satu dari mereka melemparkan pedangnya pada binatang kecil itu. Namun, sayang. Manggala telah terlebih dulu mencengkeram pundaknya."Jangan membuat gaduh! Mereka bisa mengetahui kita."Lelaki itu menunduk dengan perasaan bersalah. Sebenarnya dia ingin menyingkirkan hewan itu karena telah me
Read more
PREV
1
...
34567
...
24
DMCA.com Protection Status