All Chapters of DITOLAK OM-OM : Chapter 41 - Chapter 50
62 Chapters
Menjelang Launching
Aku membuka galery foto-foto lama, sebagian foto waktu kecil yang kuminta dari file di flashdisk milik Om Bas. Jepretan kamera seadanya yang diambil secara diam-diam. Nyengir-nyengir sendiri tiap geser dari satu gambar ke gambar lain. Gak percaya kalau gadis kecil burik dan dekil itu aku. Pantesan dulu Om Bas gak mau ngelirik. Tapi tetap ada manis-manisnya kok. Fix, gak menerima protes. Beranjak remaja, tanda-tanda bakalan jadi cewek cantik itu udah kelihatan. Buktinya banyak teman cowok pedekate dengan berbagai modus. Dari yang pura-pura SMS nyasar, pura-pura lewat depan rumah terus mampir sampai pura-pura jadi anak orang kaya pun ada. Biarpun Sisy kecil genit dan sok dewasa sebelum waktunya, tapi aku gak mau terima mereka. Ceritanya belum bisa move on dari pemuda kota bernama Baskara Abimana. "Mau jadi apa kamu masih kecil main pacar-pacaran! Sudah, gak usah sekolah. Ibuk nikahkan saja sekalian." Ini peringatan tegas dari Ibuk karena aku masih berseragam putih biru. Izin boleh pa
Read more
Kesayangan Ayah Bunda
POV Baskara"Apa lagi yang disiapkan, Sayang?" tanyaku, barangkali Sisy membutuhkan bantuan. "Udah, Ayah duduk manis aja." Jawabannya menunjukkan bahwa aku tidak dibutuhkan. Atau masih kesal karena barang-barang yang kuambilkan tidak berguna semua. "Padahal ingin bantu-bantu, biar bunda gak capek." "Cukup bantu dengan diam dan duduk manis." Aku menurut saja lalu mengempaskan diri di sofa kamar. Sambil memperhatikan istri imutku memasukkan perlengkapan bayi ke tas jinjing yang akan dibawa ke rumah sakit. Hari perkiraan lahir kian mendekat, jika sewaktu-waktu muncul tanda persalinan tinggal angkat saja. Baju, popok kain, gendongan dan lain-lain sudah ter-packing dengan rapi. "Yakin boneka dan mobil-mobilannya gak dibawa?" "Yah, udah dibilangin kalau bayi baru lahir belum butuh itu!" Sama seperti tadi, Sisy gusar saat aku mengeluarkan aneka mainan dari gudang. "Mana terlanjur dikeluarkan lagi." "Siapa juga yang suruh bongkar gudang. Ayah pikir anak kita lahir langsung bisa lari g
Read more
The Real Bunda
Aku menemukan alasan tepat biar gak jadi rebutan mau lahiran di mana. Pusing dan capek sendiri menghadapi dua orang tua yang susah banget dikasih pengertian. "Semua biaya kelahiran Sisy akan ditanggung sama perusahaan, Ma, Buk. Jadi lahirannya nanti di rumah sakit yang udah bekerjasama dengan perusahaan. Kalau harus ke Malang atau ke rumah Mama, sayang banget nanti bisa hangus tunjangannya," kataku waktu video call dengan keduanya. Om Bas aja gak kepikiran tentang ide itu. Mbak Farah yang kasih solusi. Biar sama-sama enak gak memihak salah satu, lebih baik apa-apa usahakan di rumah sendiri. Termasuk bayi tampanku ini, langsung pulang ke rumah ayah bundanya aja. Walaupun nenek dari pihak suami mengeyel, tetapi aku berhasil meyakinkan dengan ajian melasku. "Kalau di rumah Mama, keenakan Sisy nanti apa-apa bergantung sama Mama. Izinkan Sisy belajar jadi bunda yang baik dan mandiri, ya, Ma." Gak langsung dijawab, tapi masih berpikir beberapa saat sebelum bilang oke. Bukan cuma Mama ya
Read more
Jaga Jarak Aman
Om Bas hanya memiliki cuti dua hari, cuti khusus mendampingi istri melahirkan. Setelahnya kembali dengan rutinitas biasa. Menyelesaikan PR yang tertunda atau semakin disibukkan dengan tumpukan laporan di meja kerja. Dulu pernah beberapa kali menemaninya di kantor sekaligus mengantar bekal makan siang. Bisa kusaksikan sendiri bagaimana lelaki itu bergelut dengan file dan komputer. Belum kalau tiba jadwalnya riset ke lapangan juga. Mungkin chat say hello atau video call gak bakalan sempat kalau gak benar-benar di jam istirahat, di sela makan siang. Kaya gitu bukannya sadar, aku malah sering protes. Terlebih saat buah hati hadir di tengah-tengah kami. Puncaknya malam itu, saat Om Bas masih membawa pekerjaan ke rumah. Kalau dipikir-pikir, dia bekerja keras demi kesejahteraan siapa? "Ibuk jangan repot-repot begini, ya. Ini sudah jadi tugas saya. Kalau gak sempat, bisa saya bawa ke laundry." Om Bas melarang Ibuk membawa pakaian Rafka untuk dicuci di belakang. "Gak papa, Le. Yang di-lau
Read more
Bab 45
"Selain air susu yang kurang lancar, bisa jadi karena tali pusat Rafka masih basah dan belum terlepas makanya rewel terus. Bayi bisanya cuma nangis, dan kita harus belajar memahami makna dari tangisan itu. Barangkali haus atau lapar, kepengin digendong atau perutnya sakit," jelas Ibuk. "Betul, Nduk. Kamu dulu juga begitu, bahkan sampai sebulan masih rajin begadang nguji kesabaran orang tuamu ini." Bapak mengupas bawang, membantu Ibuk menyiapkan menu makan malam. "Masa sih, Pak?" Aku menimang-nimang Rafka yang terlelap berbalut kain bedong. "Iya. Sampai Ibukmu kurus kering." Lelaki itu terkekeh dan mencolek pinggul Ibuk, berbalas pelototan tajam. "Gimana gak kurus kering, banyak sekali pantangan makanan. Mbah Utimu benar-benar kolot di jamannya. Gak boleh makan telur, ikan dan protein hewani lainnya. Alasannya, nanti jalan lahir jadi gatal dan memperlambat proses pemulihan. Hari-hari, ibuk cuma makan kuluban (sayur rebus) dan botok tempe semangit (tempe yang hampir busuk)." Masy
Read more
Bab 46
"Masak apa, sih? Harum banget." Sebentuk tangan memeluk pinggangku. Pemilik suara itu menaruh dagu di bahu kananku. "Cuma nasi goreng aja, kok. Bukan sesuatu yang spesial." Nasi dalam wajan telah tercampur dengan aneka bumbu, kol, potongan ayam dadu dan kecap. "Kalau yang masak wanita cantik, pasti jadi lebih spesial." Hmmm. Ceritanya ada bau-bau rayuan, dalam rangka apakah gerangan? Aku mendorong kepala Om Bas dan melepaskan tangan yang menyatu di perut. Gak leluasa eksekusi menu sarapan yang bisa dibilang agak kesiangan. Untuk hari libur, aku gak mau setting alarm pagi-pagi sekali seperti hari biasa. Karena gak perlu masak buat siapin sarapan atau bekal. Bunda Sisy libur kerjaan rumah. "Lihatin Rafka dulu, Yah. Siapa tahu bangun." "Baru ayah tinggal lima menit." Iya. Lima menit buat ngintilin istrinya ke sana sini. Gak bisa diem kaya anak kecil yang gak bisa lepas dari pantat ibunya. "Mending duduk manis di meja makan aja, sambil nunggu telur ceploknya matang." Om Bas nem
Read more
Part 47
"Makanan kesukaan Om apa?" Sisy bertanya, entah dari mana tapi tampak berkeringat seperti habis berlari-larian. Si dekil cilik itu menggantikan Jatmiko menemaniku mengobrol. Beberapa kali pertemuan membuatnya tak malu-malu lagi. Lebih tepatnya sok akrab. "Apa aja yang penting gak pedes." "Kalau warna favoritnya?" "Biru dongker." "Kalau artis suka sama siapa?" "Gak ada." "Om suka kopi, ya?" Sisy terus menanyakan hal tak penting khas bocah. Padahal sudah tahu tiap aku ke Malang, minuman yang disajikan sang nenek selalu secangkir kopi dan dia pula yang mengantar. Begitu saja masih dipertanyakan lagi. "Om suka nonton Upin Ipin, gak?" "Apa itu?" "Animasi baru dari Malaysia." "Enggak." "Lucu lho, Om. Jadi mereka itu kembar, tapi aneh aja, kenapa coba kepalanya botak terus gak numbuh-numbuh?" Penasaran, aku mengetikkan keyword Upin Ipin di mesin pencarian google melalui ponsel tercanggih di masanya. Keluarlah informasi yang kubutuhkan. Termasuk dua karakter kembar identik berke
Read more
Bab 48
Hallo semuanya! Cerita ini adalah sekuel My Lovely Om, ya. Ada Om Bas sama Sisy gak, Thor? Ada, dong, tapi bukan sebagai tokoh utama, ya. Cuma jadi cameo aja. Yang udah pernah baca prekuel-nya pasti tahu, dong siapa Evan dan Erin? Nah, ini tentang kisah mereka ya. Kok bisa jadian? Gimana ceritanya? Happy reading! ____~Cara paling ampuh menunjukkan bahwa kita sudah move on dari mantan adalah dengan mengundangnya ke pesta pernikahan kita~Erin quote__________"Akhirnya dia datang juga." Aku menggumam di sela menyalami tamu undangan. Mataku terpusat di satu titik--pada pria berkemeja batik baru saja memasuki ballroom resepsi pernikahan bernuansa serba putih ini. Dari kejauhan saja aku hafal postur tubuhnya. Juga senyum khas yang ditebarkan untuk orang-orang di sekeliling, termasuk untuk wanita bergaun couple yang menggamit lengan pasangannya penuh mesra. Ingin mengumpat, tapi gak sinkron dengan gaun peach menjuntai indah ini. Aku terlalu cantik jika harus melakukan itu, sekalipun
Read more
Bab 49
"Maksud kamu apa?" Aku bangkit dan mengebaskan debu-debu yang menempel di celana dan lengan. Apa nanti kata klien yang ingin kutemui lihat casing Erin lebih mirip orang stress gini? Rambut acak-acakan, gak pakai sendal atau sepatu, keringat mengucur dan menghapus sebagian riasanku. "Jujur aja, Mbak! Mbak mau b u n u h d i r i, kan?" Cowok lancang itu ikut berdiri dan menggulung kemeja hingga siku. Seperti sedang berancang-ancang kalau aku akan melompat ke dasar sungai. "Sudah lancang, sok tahu lagi. Kamu pikir sungai dangkal kaya gitu bisa bikin aku langsung mati?" Dia melihat ke bawah mengamati apa yang kutunjukkan. Air yang mengalir gak seberapa, hanya ada di bagian tengah saja. Seakan bisa mengira-ngira kedalaman sungai, pemuda berkulit putih itu menggaruk tengkuk dan tersenyum khas orang kena zonk. "Maaf, tapi ngapain Mbak naik-naik ke besi pembatas segala?" "Mau ambil HP yang jatuh di situ. Bisa minta tolong, nggak?" Tadi saja heroik banget kaya pahlawan yang berhasil men
Read more
Bab 50
"Kamu yakin udah pikirin ini baik-baik, Rin?" Vanya menepuk pelan bahuku, tersirat ketidakrelaan di sepasang mata ber-softlens biru itu. Jika aku benar-benar resign, orang pertama yang akan merasa kehilangan pastilah wanita ini. Teman sebangku sejak SMA, juga karibku di kampus yang sama. Banyak ritme hidup yang kami lalui bersama termasuk walk interview di perusahaan ini yang menempatkan kami dalam satu divisi. Hanya garis jodoh saja yang datangnya tidak bersamaan. "Yakin banget." Aku mengeluarkan amplop putih berisi surat pengunduran diriku. "Rin, tapi aku ngerasa ini gak adil. Bisa gak masalah perasaan dipisahin aja dengan jenjang karier impianmu?" "Maunya juga gitu, Van. Tapi aku gak ada pilihan, jika terus menerus berada dalam circle di mana masa lalu selalu lancang dan ikut campur di dalamnya, makin susah buat aku untuk move on. Satu-satunya cara adalah keluar dari semua itu. Please, ngertiin aku, ya! Bukannya kamu seneng kalau aku bisa cepat move on?" "Iya, tapi aku belum
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status