All Chapters of JODOH HASIL RAMPASAN: Chapter 21 - Chapter 30
83 Chapters
Part 21
Apa dia benar-benar sudah mengambil keputusan dan meninggalkan pekerjaannya demi aku?Tidak, tidak. Aku pasti salah. Aku tidak boleh terlalu percaya diri. Aku masih terlalu bodoh untuk bisa mengartikan kata-katanya barusan. Apa maksud ucapannya bahwa kini dia seorang pengangguran.Apa dia sungguh-sungguh dipecat? Atau perusahaan itu bangkrut karena aku mengutuknya saat berdoa? Tak memperbolehkan perusahaan itu jadi tempat penampungan pasangan yang sedang berselingkuh?Ya, aku terpaksa berdoa seperti itu agar Kania tak bisa hidup tenang dengan suamiku. Dengan ragu aku memberanikan diri memegang tangannya. Menanyakan sekali lagi apa maksud ucapannya tadi."Abang benar-benar resign dari kantor?" Aku meyakinkan diri. Dia tertawa kecil, lalu mengangguk."Sungguh?" Dia semakin tertawa, lalu kembali mengangguk.Tak bisakah dia menjawab dengan mulutnya saja agar aku merasa lebih yakin? Kenapa suka sekali membuatku berpikir keras untuk mendapatkan jawaban."Iya, Dwi. Aku resmi mengundurkan di
Read more
Part 22
Aku tersenyum sendiri melihat wajah suntuk suamiku. Sudah seminggu ini dia resmi menyandang status sebagai pengangguran. Beberapa lamaran dia kirimkan secara online. Namun hingga saat ini belum juga mendapat panggilan.Terus terang aku menikmati saat-saat seperti ini. Aku jadi punya banyak waktu bersamanya meski hanya sebatas memandang. Bang Haikal bukan tipe pria yang suka berkumpul dengan teman-teman di luaran sana. Jadi bisa dipastikan jika tak ada keperluan, dia bisa dua puluh empat jam berada di rumah bersamaku.Hubungan kami memang tak banyak berubah. Masih tetap seperti anak kost yang tinggal di satu atap, namun memiliki ruangan masing-masing. Namun itu bukan masalah. Asal dia bersikap baik padaku, itu sudah cukup.Aku tak mau lagi menuntutnya terlalu banyak. Aku harus mengerti. Mengubah rasa sayang sebagai kakak dan adik menjadi perasaan yang baru memang bukan hal yang mudah. Apa lagi sempat ada wanita lain yang hadir di antara kami. Jadi melihat usahanya saat ini pun aku suda
Read more
Part 23
Aku menahan senyum. Alasan bang Haikal memang konyol demi menutupi permintaan gilaku waktu itu. Membiarkan dirinya terlihat bodoh di depan sahabat, sekaligus abang iparnya itu."Kalau sampai bulan depan kau belum juga mendapat pekerjaan, kau harus kembali menerima tawaranku. Bekerjalah di kantor ayah!" Bang Eka tampak jadi lebih tegas.Suamiku hanya mengusap tengkuk dengan pasrah. Namun aku yakin, dia tak akan pernah mau hidup bergantung pada keluargaku.*Aku kembali mengantar bang Eka hingga ke pintu mobil. Sikap manjaku masih kulakukan dengan merangkul pinggangnya sambil berjalan. Biasanya jika seperti ini dia tahu kalau aku ada maunya. Tapi sejak menikah, aku benar-benar melakukannya karena rasa sayangku.Ternyata hidup berjauhan dengan orang yang kita sayang menjadikanku selalu rindu. Dia yang biasanya setiap hari bertemu, kini terpisah karena kewajibanku mengikuti suami. Dan aku yakin, abangku juga merasakan hal itu. Kehilangan seorang adik yang biasanya selalu menganggu dan mer
Read more
Part 24
Panggilan ini masih juga dari nomor yang sama. Aku kembali mempertimbangkan ingin menjawabnya atau tidak. Baru saja aku ingin menggeser layar berwarna hijau, panggilan itu seketika berhenti. Mungkin karena aku terlalu lama merespon, atau dia tersinggung karena merasa diabaikan.Tak lama Dea datang dan kembali menempati kursinya. Kami kembali berbincang, sampai kulihat gadis berlesung pipit itu tersenyum dan melambai ke suatu arah. Aku langsung berbalik untuk melihat siapa yang dia sapa.Mataku langsung menyipit melihat Bima sedang berjalan menuju ke arah kami. Aku menatapnya heran. Dia berjalan sambil tersenyum seperti separuh hati. Dia pasti tersinggung dengan sikap cuekku saat dia menelepon tadi."Tadi Bima menghubungiku. Dia melihat postingan kita dan kebetulan berada tidak jauh dari sini." Dea memberi penjelasan tanpa kuminta.Ah, ya. Dia punya opsi lain dengan menghubungi Dea rupanya. Bukankah nomor kami semua tertera di grup alumni SMP? Dia juga pasti anggota pasif sepertiku, hi
Read more
Part 25
Sempat terjadi perdebatan antara aku dan bang Haikal sejak ayah menuruti keinginanku. Meski dengan berbagai pertimbangan dan rembukan keluarga. Mereka akhirnya menyerah. Mungkin bagi mereka bang Haikal memang pantas dan sudah begitu paham tentang diriku. Tak ada yang lebih mengenal dan bisa menenangkanku selain dirinya. Satu-satunya pria yang pernah dan selalu dekat denganku.Dia bilang aku keterlaluan. Membuatnya merasa malu, karena nyatanya ayah dan bang Eka mengaggap lain hubungan kami. Dia tak tahu harus berkata apa. Tak mungkin dia tega mengatakan bahwa aku hanya terobsesi padanya, dan ini hanya perasaan sepihak dariku.Dari sini saja aku sudah yakin, bang Haikal memang paling tahu caranya menghargai perasaanku di hadapan orang lain.Dengan segala cara dia membujukku agar berubah pikiran dan bilang kalau aku hanya bercanda. "Hubungan kita tidak seperti itu, Dwi. Kau bisa mendapatkan pria mana pun yang kau inginkan. Tapi bukan aku. Aku sama seperti Eka. Aku juga abangmu. Kau tak
Read more
Part 26
Aku menunggu suamiku di teras rumah, sembari mendengarkan bacaan doa yang dikumandangkan dengan pengeras suara. Sangat jelas terdengar dari rumahku yang hanya dibatasi oleh jalan kecil saja.Tak lama dia muncul dengan menenteng sebuah bungkusan. Senyumku mengembang, menyambut pria gagah yang mengenakan sarung dan juga baju koko lengan pendek itu. Lalu mengulurkan tangan padanya.Dia langsung menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya, kemudian masuk mendahuluiku. Mataku melotot. Dia begitu tidak peka. Padahal aku sedang belajar menjadi istri yang baik dengan berusaha mencium tangannya. Namun dia salah sangka dan berpikir bahwa aku sudah tidak sabar dengan buah tangan yang dibawa olehnya.Aku mengekor dari belakang sambil merapatkan pintu, mendesis pelan."Ada apa?" Dia seperti menyadari tingkahku."Ah, tidak." Aku mengelak. "Kita langsung makan ya, Bang. Aku lapar." Aku langsung mengalihkan pembicaraan."Kau saja. Aku sudah kenyang!" sahutnya tanpa dosa."Kenapa bisa kenyang?" Aku t
Read more
Part 27
"Kalau setiap hari ada tetangga baru, kita bisa hemat uang belanja karena mendapat makanan gratis," selorohnya.Aku tertawa sembari menutup mulut mendengar ucapannya. Lalu mengambil kesempatan dengan mencubit perutnya. Dia sedikit merintih lalu menekan kepalaku dengan gemas."Kau pasti tidak akan masak lagi agar bisa makan berdua denganku, kan?"Aku menunduk malu sambil menggigit bibir bawahku."Kau tidak marah lagi, kan?" ucapnya. Aku mengulum senyum, lalu mengangguk."Lain kali jika mendapat camilan di luar, aku akan membawanya sebagian, biar kau tidak marah-marah lagi." Dia kembali meledek, lalu berlalu begitu saja meninggalkanku."Hish, Abang! Abang mulai lagi!" Aku kembali berdecak kesal.Tawanya terdengar meski terus berjalan membelakangiku menuju ke dalam.Aku tahu, dia hanya menggodaku. Malam tadi dia kembali mengetuk pintu kamar dan mengajakku makan bersama. Seolah mengerti bahwa semua yang kulakukan hanya agar bisa makan bersamanya.Hatiku yang terlanjur marah masih tak mau
Read more
Part 28
"Kau gila!" Aku langsung menyentak. Hatiku bak disambar petir mendengar pengakuannya. "Tidak malukah kau berusaha mendekati suami orang sampai sejauh ini?""Mendekati, katamu?" Dia tertawa kecil. "Aku bahkan tidak tahu kalau kau dan Haikal tinggal di sini. Aku hanya ingin menyapa tetangga baru saja. Tak menyangka bisa bertemu dengan kalian." Dia beralasan."Kau tidak perlu bersandiwara. Aku sudah tahu semuanya. Kau sedang berusaha mendekati suamiku lagi, kan?" Aku menatap tajam ke arahnya. Merasakan sesak yang kini menyerang paru-paru dan mulai membuat napasku tak lagi beraturan."Untuk apa aku mendekatinya? Aku bahkan langsung memutuskan hubungan saat Haikal berkhianat dengan menikahimu." Dia berucap angkuh, seolah memiliki harga diri yang tinggi.Setahuku memang seperti itulah yang dikatakan oleh bang Haikal. Kania kecewa, karena merasa bang Haikal memilihku karena uang. Lagi-lagi suamiku menutupi alasan sebenarnya, hal-hal yang membuatku marasa rendah dan tak punya harga diri. Dan
Read more
Part 29
Matanya mulai memerah. Sepertinya sebentar lagi akan menangis. Untuk pertama kalinya aku melihat mimik wajah itu. Mimik wajah yang dulu selalu tersenyum licik saat dia memeluk tubuh bang Haikal di hadapanku. Sengaja menunjukkan kemesraan dan memperlihatkan betapa pria itu mencintainya.Menggunakan berbagai cara agar kekasihnya menjaga jarak dan tak lagi melakukan apa pun untukku. Dia cemburu, seperti yang pernah dikatakan bang Eka padaku.Ya, baru kini kusadari. Sejak awal gadis itu sudah cemburu melihat kedekatanku dengan bang Haikal. Betapa pria sederhana itu begitu peduli dan juga selalu memerhatikanku. Meski hanya sebagai adik, namun jelas terlihat jika dia begitu sayang padaku. Dan wanita di hadapanku ini tidak suka itu."Kenapa kau harus hadir di antara hubungan kami?!" Dia kembali meradang. Dengan tetesan air mata, tentu saja. Seolah dirinyalah yang menjadi korban."Kaulah yang merebutnya dariku, Kania!" balasku tak mau kalah. "Kau yang belakangan hadir dan merusak hubungan k
Read more
Part 30
Aku tersentak saat mendengar suara ketukan dari pintu. Lalu meraba kasur guna mencari ponsel untuk melihat waktu. Aku menghela napas saat mendengar namaku dipanggil oleh bang Haikal.Rupanya aku tertidur. Hari sudah hampir sore, dan aku belum melakukan apa pun sejak bertemu Kania tadi.Aku langsung beranjak dari tempat tidur. Belum lagi menginjakkan kaki ke lantai, pintu sudah terbuka. Kepala bang Haikal melongo melihat ke arahku."Kau sedang tidur?" tanyanya. Kemudian dahinya mengernyit begitu melihat keadaanku. "Kau kenapa?"Dia langsung masuk tanpa kupersilakan. Aku langsung merapikan rambut dan mengusap wajahku yang sedikit menegang karena bekas air mata yang sudah mengering."Kau habis menangis? Ada apa?" tanyanya lagi, sembari mendekatiku. Dari mana dia tahu? Apa mataku kini terlihat sembab? Aku memang menangis separah itu tadi."Ada apa? Kau sakit?" Dia terlihat begitu khawatir. Aku menggeleng cepat. Tak tahu harus memulai semuanya dari mana."Katakan saja. Apa yang terjadi?
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status