All Chapters of JODOH HASIL RAMPASAN: Chapter 41 - Chapter 50
83 Chapters
Part 41
Aku kembali membaringkan diri di atas ranjang. Kembali ke rumah setelah bang Haikal menarik dan menyeretku ke dalam. Dia sama sekali tak memperbolehkan aku pergi.Aku meronta dan memukul-mukul dadanya dengan kuat. Melampiaskan kekesalan dan juga hancurnya hatiku akibat perbuatan mereka. Dia diam tak mengelak. Memberikan tubuhnya dengan sukarela agar aku merasa puas.Sepeninggal Kania tadi, bang Haikal terus memegangi tanganku. Mengatakan jika ingin pergi, tunggulah sampai masalah selesai. Tak boleh mengambil keputusan dengan emosi. Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Masih kuingat kala Kania memandang sendu pada suamiku tanpa mendapat balasan. Lalu berjalan dengan langkah gontai, pulang kembali ke rumahnya.Aku yang belum puas menangis mendengar suara pintu kamar terbuka. Aku tahu dia masuk tanpa permisi, lantas menyembunyikan wajah dengan memeluk guling."Minum teh nya, Dwi. Perutmu belum terisi dari malam tadi." Kudengar suara cangkir yang diletakkan di atas nakas sampin
Read more
Part 42
Aku mendengus kesal mendengar pengakuan bang Haikal. Meminta terus dicintai tanpa mau memberi balasan. Egois sekali makhluk Tuhan yang satu ini.Aku mendorong tubuhnya dengan kuat, lalu menjatuhkan kepala ke atas bantal. Memunggunginya sambil memeluk guling."Abang keluar saja. Jangan lagi bicara padaku!"*"Plin plan!" Suara Bima mengagetkanku dari belakang, saat sedang mengantri pembayaran di minimarket ujung jalan.Aku menatapnya heran, lalu melanjutkan transaksi dan segera keluar. Aku berdiri di samping pintu, menunggunya sampai selesai."Apa maksudmu?" Aku langsung menghampiri, begitu dia muncul dari balik pintu kaca.Dia tersenyum mengejek, lalu berjalan mengabaikan pertanyaanku."Hei, kau bicara apa tadi? Siapa yang kau sebut plin plan, ha?" tanyaku lagi. Ikut berjalan menyusulnya. Kini kami jalan beriringan."Kupikir akan ada yang melarikan diri. Ternyata hanya drama. Sama sekali tidak seru." Ucapannya seakan sedang menyindirku.Apa dia melihat kejadian waktu itu? Ah, tentu sa
Read more
Part 43
Aku tahu apa yang dia maksud. Lagi-lagi tebakan Bima benar. Suamiku pasti melihat kami berjalan bersama tadi. Namun aku sama sekali tidak merasa bersalah. Itu bukan hal yang disengaja. Dan terutama, tak pernah ada jalinan kasih di antara kami.Aku melirik sinis, lalu terus berjalan menuju dapur."Dwi!" tegurnya lagi. Kali ini dengan menarik lenganku."Aku tak sengaja bertemu dengannya!" Aku ikut menjawab dengan nada ketus, sembari menepis sentuhannya."Bagaimana kalau dia sengaja? Dia pasti mengikutimu lagi.""Abang pikir semua orang seperti Kania?" sindirku. Dia mendengus, lalu mengusap kasar rambutnya."Nanti sore Dea menjemputku." Aku mengalihkan pembicaraan. Teringat bahwa Dea menghubungiku tadi pagi."Dia akan mentraktirku nonton." Aku hanya memberi tahu agar tak lagi disalahkan. Bukan meminta izin seperti biasanya. Dengan begitu dia tidak perlu repot-repot mencari saat melihatku tak ada."Tidak boleh!" ucapnya tegas.Aku terkejut. Tak menyangka dia akan melarang. Biasanya dia
Read more
Part 44
"Bima?" Aku langsung saja menyapanya.Pemuda dengan kaos lengan pendek dan celana jins belel itu menaikkan alisnya untuk menjawab sapaanku."Kau tidak bilang kalau akan ikut," protesku. Padahal siang tadi kami baru saja bertemu dan pulang bersama."Aku hanya belum yakin akan pergi. Lagi pula kalau aku ikut kau juga tidak akan pergi, kan? Kau pasti takut kalau suamimu akan cemburu." Dia selalu berasumsi sendiri.Aku memasang wajah merengut. Bima selalu saja mengungkit-ngungkit masalah rumah tanggaku jika kami bertemu. Seolah pernikahanku adalah sebuah kesalahan baginya. Padahal dirinya sama sekali tidak merasa dirugikan."Kau bicara apa? Bukan itu maksudku. Setidaknya kau bisa membahas masalah film ketimbang membahas rumah tanggaku lagi." Aku menggerutu dengan suara pelan."Hei, kalian sedang membicarakan apa?" Dea tiba-tiba menyela dengan wajah terheran-heran. Pasti tak mengerti dengan apa yang sedang kami bicarakan."Ah, ya. Aku lupa mengatakannya. Aku dan Bima sekarang bertetangga.
Read more
Part 45
Wajah bang Haikal tampak memerah. Sepertinya dia terlihat begitu marah. Aku memejam pasrah. Membiarkan dia dengan segala pikiran buruknya.Entah apa yang sedang dilakukannya di sini. Mungkin dia sengaja memata-matai untuk mencari kesalahanku. Dia pasti kembali mengintip dan melihat Bima ikut keluar dari rumah. Hingga dia curiga dan langsung ingin memastikan."Wahhhh... Ternyata Bang Haikal begitu romantis." Dea menyeletuk dengan wajah semringah. "Kalau Abang juga ingin ikut, kenapa tidak bilang? Kita bisa pergi bersama tadi."Aku menarik napas perlahan. Kenapa temanku yang satu ini tidak bisa membaca situasi. Tidakkah dia melihat bahwa suamiku itu kini sedang tersulut emosi?Bang Haikal menghela napas kasar. Kuharap amarahnya sedikit terjeda karena sikap konyol Dea yang salah dalam mengartikan kedatangannya.Dia melirik ke arah Dea. Kemudian beralih ke arah Bima dengan tatapan sinis."Ayo pulang!" Laki-laki dengan jaket hoodie zipper itu menarik tanganku, lalu menyeretku keluar tanp
Read more
Part 46
Pagi harinya aku kembali beraktifitas seperti biasa. Kali ini lebih bersemangat karena sudah berbaikan dengan bang Haikal. Kami mulai berdamai dengan keadaan dan saling mengerti posisi masing-masing.Malam tadi kami singgah untuk makan di warung bakso sebelum sampai di rumah, karena perut sama-sama terasa lapar. Dia mengatakan sesuatu yang membuatku bertambah yakin, kalau jalan untuk mendapatkan cintanya akan semakin dekat."Setelah kau pergi, ibunya Kania kembali mengantar gulai ayam. Dia bilang untuk makan malam." Gerakanku terhenti saat baru akan menusuk bulatan daging yang ada di mangkuk dengan garpu.Selera makanku mendadak hilang mendengar cerita tentang keluarga itu lagi. Seolah-olah kebahagiaanku dengan orang yang kucintai tak boleh berlangsung lama untuk kunikmati.Aku langsung merengut."Tapi aku menolaknya." Suamiku meneruskan ucapannya dengan pipi menggelembung di bagian kiri.Mataku langsung mengerjab. Tak percaya."Aku bilang kalau isteriku tak suka. Jadi aku katakan jan
Read more
Part 47
Bang Haikal langsung mempercepat langkah. Sementara aku mengekor di belakangnya."Kal, tolong ibu." Tangannya langsung memegangi kedua lengan suamiku."Ada apa, Bu?" Bang Haikal ikut panik melihat raut wajah wanita itu dilanda kecemasan."Kania."Deg!Aku langsung menelan ludah. Kebahagiaanku hari ini kembali buyar. Lagi-lagi karena keluarga itu. Benar-benar meresahkan. Apa lagi yang sudah diperbuat gadis gila itu?"Ada apa dengan Kania?" Suamiku langsung bertanya."Tadi Kania pingsan di kantor. Sekarang ada di rumah sakit. Tolong antar ibu ke sana, ya?"Aku terdiam. Bang Haikal langsung menoleh ke arahku. Dia terlihat begitu gusar."Kania masih karyawan baru. Belum ada asuransi dari perusahaan. Tadi temannya yang menghubungi Ibu meminta berkas-berkas dan juga kartu BPJS karena Kania harus dirawat inap." Wanita itu benar-benar terlihat cemas.Ya, Tuhan! Apa lagi ini?Bagaimana mungkin aku membiarkan suamiku pergi berdua dengan ibunya Kania. Apa yang akan dia lakukan saat sampai di san
Read more
Part 48
"Bima ada?" Aku bertanya pada salah seorang perawat yang menjaga klinik di depan rumahku."Coba lihat mobilnya. Kalau ada CRV berwarna hitam, berarti ada. Ketuk saja pintu utama. Nanti ada asisten keluarga Bu Dokter yang membukakan. Biasanya kalau di rumah, Mas Bima selalu di kamar." Wanita yang memakai seragam perawat berwarna abu-abu itu menjawab dengan ramah.Aku menggangguk, mengucapkan terima kasih, lalu keluar dari ruangan dengan pintu besar yang terbuat dari kaca.Aku melihat jenis mobil yang diberitahukan. Lalu berjalan menuju ke bawah jendela. Pantas saja Bima selalu masuk dari pagar sebelah kiri. Rupanya rumah utama punya pintu masuk yang berbeda."Bima!" Aku sedikit berteriak memanggil namanya. Tak mau repot-repot mengetuk pintu yang akan memakan waktu lebih lama.Benar saja. Cara ini terasa lebih cepat. Sebentar saja Bima langsung muncul setelah jendela atas terbuka. Bisa kulihat dari sini kalau wajahnya merasa heran."Kau sedang apa?" tanya dia dari atas sana."Turunlah.
Read more
Part 49
"Setidaknya dia merasakan bagaimana berada di posisiku. Dia juga pasti merasakan rasa sakitku jika sikapnya mulai berlebihan pada Kania.""Jadi kau hanya menjadikanku alat untuk membalas suamimu? Begitu?" Bima tampak menggeram dan tak terima.Ya. Mungkin seperti itu. Pikiranku terlalu buntu. Tak tahu lagi bagaimana caranya agar suamiku tak kembali pada perasaannya. Aku benar-benar tidak tahu lagi.Aku kembali terisak."Setidaknya kalau kau ikut, Kania tidak akan berpikiran macam-macam. Mengira suamiku hanya seorang tetangga yang datang hanya karena rasa kemanusiaan. Sama seperti kau yang juga datang untuk mengantar ibunya. Bukan karena memiliki perhatian khusus seperti yang selama ini dia pikirkan."Bima lagi-lagi memasang wajah geram. Kali ini aku benar-benar bersikap egois dan tidak tahu diri. Tapi setidaknya bara api yang dari tadi membakar hatiku sedikit padam setelah ada yang mendengarkannya."Maaf. Aku terlalu egois," ucapku lirih. Bahkan suaraku hampir hilang karena tangis. "Ta
Read more
Part 50
Harus kuakui, wajah Kania memang tampak pucat. Sepertinya dia benar-benar sedang menahan rasa sakit. Ditambah lagi melihat laki-laki yang masih dicintainya kini berada dalam rangkulanku.Bang Haikal tak mengelak atau bersikap kaku seperti biasa. Tangan besarnya kini berada di pundakku. Membalas pelukanku, meski dia tahu sikapnya itu akan menyakiti Kania lebih parah lagi."Kau jahat, Kal. Kenapa kau harus memperlakukan aku seperti ini." Tangis pilu Kania tak berhenti.Dia terlihat begitu terpukul, persis seperti apa yang selama ini aku rasakan."Sudah, Kania. Haikal dan Dwi sudah berbaik hati mengantar ibu ke sini. Jangan membebani mereka lagi dengan sikap seperti itu." Ibunya menasihati sambil memegangi tangannya."Ibu juga membela wanita itu? Wanita yang selalu menghina dengan menolak semua pemberian ibu? Iya?" Kania mulai histeris, menarik tangannya dari sentuhan ibunya."Jaga sikapmu, Kania. Ibumu begitu cemas, kau jangan memperlakukannya seperti itu." Suamiku ikut menasihati.Dasa
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status