All Chapters of JODOH HASIL RAMPASAN: Chapter 11 - Chapter 20
83 Chapters
Part 11
Dahinya mengernyit mendengar nama itu. Alis tipisnya bahkan terlihat hampir menyatu."Kania? Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya?" Wajahnya tampak bingung. Entah itu sungguhan atau hanya sekedar sandiwara. Aku memundurkan punggung ke sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Mencoba mengintimidasi dengan menatap tajam ke arahnya. Bersikap seolah aku sudah tahu semua perbuatannya."Pestamu. Kenapa mengundangnya? Kau jelas tahu kalau aku begitu cemburu dan membenci wanita itu.""Kau salah paham, Dwi. Aku tak pernah mengundangnya. Aku juga tak tahu kalau dia hadir malam tadi. Kau lihat sendiri aku begitu sibuk dengan teman-teman kampusku, bukan?""Jadi kenapa dia bisa berada di sana? Dia bahkan menatap suamiku. Dia berusaha menggodanya, De." Aku mulai tersulut emosi. Membayangkan bagaimana mereka saling memandang penuh cinta."Aku benar-benar tidak tahu," ucapnya lirih, seperti ikut merasakan kesakitanku.Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih menahan air yang kini suda
Read more
Part 12
Aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Hari ini aku bermaksud membuat kejutan dengan mengantarkan nasi dan lauk pauk yang aku buat ke kantor bang Haikal. Hari ini aku bangun kesiangan karena tidak salat subuh. Hanya sempat mendadar telur saja untuk sarapan suamiku. Biasanya jika seperti itu dia akan makan siang di luar saja. Ini sudah tanggal tua. Dia pasti kehabisan uang untuk melakukan itu. Aku takut dia hanya akan makan pop mie di pantry saja karena merasa segan meminta uang padaku.Padahal aku tak pernah menuntut semua gaji yang dia hasilkan. Gaji yang masih secara manual dimasukkan ke dalam amplop dia serahkan padaku. Dia hanya meminta sebagian untuk uang bensin dan juga pegangan selama di perjalanan.Aku bilang tak butuh itu. Uang saku dari ayah dan juga bang Eka berkali-kali lipat dari gajinya saat ini. Namun lagi-lagi dia tersinggung."Memang seperti inilah berumah tangga. Istri harus mampu mengelola penghasilan suami meski tak seberapa. Kalau kau masih belum paham, kenapa
Read more
Part 13
Hati ini begitu hancur. Mati-matian aku berusaha bertahan untuk merebut perhatiannya. Bahkan membatalkan permintaan cerai karena suamiku juga tak mau aku menyandang status janda di usia muda.Lalu ini apa? Dia lebih memilih menanggung dosa perselingkuhan dibanding menceraikan aku yang sudah jelas-jelas ingin membebaskannya.Aku tak mau lagi. Aku menyerah dan ingin segera membebaskan rasa sakit ini.Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Aku yang tengah bersembunyi di balik sebuah mobil tak mau menghiraukan dan memilih mengabaikannya. Aku mundur perlahan untuk segera pulang. Sampai akhirnya punggungku menabrak tubuh seseorang."Kau di sini rupanya." Bang Haikal menegur, masih dengan ponsel yang menempel di telinga.Aku langsung mengusap air mata dengan kasar. Namun dadaku masih naik turun karena menahan sesak. "Kau kenapa? Apa seseorang menganggumu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku tak peduli dan enggan menjawab.Bukankah harusnya dia berpikir bahwa aku menangis karena perbuatannya. Belum
Read more
Part 14
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Kania ada di sini. Sudah berapa kali aku bilang, aku tak pernah lagi berhubungan dengannya." Pria itu menatapku dengan teduh. "Berhenti cemburu pada Kania, Dwi. Sebesar apa pun perasaanku padanya, aku tetaplah suamimu. Kau yang paling berhak atas diriku. Sudah?" Dia mencoba meyakinkanku.Bibirku bergetar menahan tangis. Rasa cinta ini selalu bisa meluluhkan hati begitu mendengar kata-katanya yang begitu manis. Kenapa rasa sayangnya padaku sebagai adik tak bisa berubah layaknya pada kekasih. Tak bisakah dia melihat sisi lain diriku yang sudah mencoba bersikap sesuai keinginannya?"Kau sedang datang bulan. Pasti jadi lebih sensitif. Makanya marah-marah terus. Pulang dan istirahatlah!" Dia mengacak-acak rambutku seperti anak kecil, lalu mengambil tas bekal yang berada di tanganku.Lihatlah!Dia terlihat begitu perhatian. Selalu mengerti tentang keadaanku. Siapa yang tidak berpikir kalau dia benar-benar sayang dan bisa dengan mudah mencintaiku. Harusn
Read more
Part 15
Makan malam kali ini penuh kebisuan. Masing-masing dari kami masih saling diam. Biasanya jika tahu aku sedang marah, bang Haikal pasti menyapa duluan. Entah bertanya apa aku masih marah, atau mungkin meminta maaf dan mengalah.Namun kali ini tampak berbeda. Sedari tadi raut wajahnya terus gelisah. Seperti ingin berbicara, namun urung karena ragu. Membuat perasaanku makin tak menentu dan kembali timbul rasa curiga.Sebentar-sebentar mata itu menatapku, lalu kembali menyendok nasi dari piring ke mulutnya. Hatiku yang masih dilanda rasa amarah berusaha untuk tetap tenang. Semoga saja kali ini tak ada hubungannya dengan Kania."Dwi." Akhirnya terdengar panggilan itu dari mulutnya."Iya?" Aku berusaha menyahut selembut mungkin."Maaf soal tadi siang." Aku tertegun. Rupanya dia kembali mengalah dan merasa bersalah karena telah membuatku menangis."Abang sudah bilang tak bertemu dengannya. Tak apa. Anggap saja aku salah lihat." Aku mencoba untuk tersenyum.Aku ikut mengalah, demi membuatnya
Read more
Part 16
Mata itu kembali menatapku dengan sendu. Kembali menolak seperti waktu itu. Namun hati ini terlanjur sakit dan tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya."Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Kenapa kau masih membahas soal perceraian. Tak baik sering-sering mengucapkan kata itu, Dwi." Suaranya terdengar lirih."Abang harusnya mengucap syukur. Aku sudah berbaik hati membebaskan Abang. Jangan lagi mempermainkan perasaanku dengan berpura-pura menolaknya." Tangisku tertahan tanpa suara."Pernikahan bukan mainan, Dwi. Jelas-jelas aku sudah bertanya tentang keyakinanmu. Menerima segala kekurangan dan mungkin perasaanku saat itu. Lalu sekarang apa? Kau membuatku terlihat seperti penjahat."Suamiku benar. Sebelum menikah dia telah mengungkapkan semuanya. Tentang perasaannya yang hanya menganggapku sebagai adik. Dia juga terang-terangan mengungkapkan betapa besar rasa cintanya pada Kania. Sangat sulit untuk berpaling dan tak ingin menyakitiku. Memintaku mengurungkan niat dan membatalkan pernikahan
Read more
Part 17
"Abang mau apa lagi?" tanyaku yang masih berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka."Pembicaraan kita belum selesai," sahutnya. Masih dengan mode lembut.Aku kembali melangkah menuju tempat tidur, membiarkan pintu itu tetap terbuka. Bang Haikal ikut masuk, lalu berdiri di hadapanku yang kini sudah duduk di tepi ranjang."Pikirkan lagi, Dwi. Jalan kita masih panjang. Masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Aku berjanji akan berusaha melupakan Kania." Dia terlihat bersungguh-sungguh. "Mana mungkin bisa, jika setiap hari Abang bertemu dan berbicara dengannya. Sedang saat berjauhan pun Abang selalu mengingatnya!" jawabku tegas."Aku tidak mungkin tiba-tiba mengundurkan diri. Bagaimana nanti aku memenuhi tanggung jawab untuk menafkahimu jika tak punya pekerjaan?""Abang hanya beralasan! Abang punya ijazah Sarjana. Ada banyak pekerjaan di luar sana. Aku juga tak pernah menuntut apa pun pada Abang, kan?""Tidak semudah itu, Dwi. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ak
Read more
Part 18
Ini hari ke tiga aku di rumah ayah dan ibu. Tak sekali pun suamiku mengirim pesan atau berusaha membujukku. Setidaknya dia harus memberi kabar meski belum sampai empat hari. Dengan begitu aku masih memiliki harapan kalau dia benar-benar berniat mempertahankan rumah tangga kami.Jahat!Kata-katanya semua palsu. Dia pasti begitu bahagia hidup tanpa aku. Padahal aku di sini hampir mati menahan rindu. Pasti saat ini dia sedang membayangkan bagaimana hari-harinya bersama Kania di kantor itu.Kurasa memang seperti inilah jalan takdirku. Menikah dan menyandang status janda masih di tahun yang sama. Bahkan umur pun belum bergerak dari angka yang lama.Satu tahun sejak lulus SMA membuatku memantapkan hati menjadi seorang istri. Tak peduli pada titel sarjana atau jenjang karir di luar sana. Isi kepalaku hanya dipenuhi oleh hari-hari bahagia bersama bang Haikal saja. Mencuci bajunya, memasak makanan kesukaannya, bahkan memijatnya jika dia merasa lelah. Sesederhana itu cita-citaku. Pikiran itu s
Read more
Part 19
"Aku tak menyangka kalau kau sudah menikah." Dia membuka percakapan, setelah memesan segelas ice Americano.Aku terdiam. Andai tak ada masalah dalam rumah tanggaku saat ini, aku pasti akan menjawabnya dengan penuh percaya diri. Namun apa yang harus kukatakan. 'Ya, tapi sebentar lagi akan bercerai.'Apa aku harus mengatakan hal memalukan seperti itu?"Ah, maaf." Dia seolah mengerti situasiku. "Aku tak bermaksud mencampuri urusan pribadimu," ucapnya. Sepertinya dia merasa sungkan."Tidak apa-apa. Aku hanya bingung harus menjawab apa. Semua orang punya jalan hidup masing-masing, bukan?" "Kau benar. Hanya saja... " Matanya menyipit. "Sangat disayangkan jika kau tidak melanjutkan pendidikanmu. Apa suamimu melarang?" Aku kembali terdiam. Sungguh, ini pertama kalinya aku berbicara berdua dengan teman pria. Apa lagi pemuda asing seperti Bima yang tidak begitu kukenal karakternya. Aku jadi bingung harus menjawab apa. Apa pertanyaan seperti itu memang boleh ditanyakan pada seseorang yang ti
Read more
Patrt 20
Mataku langsung membesar mendengar ucapan bang Haikal. Bukan tuduhan itu yang membuatku terkejut dan merasa jengkel. Tapi karena ada sesosok Bima yang akhirnya mendengar apa yang seharusnya tidak boleh dia ketahui.Dengan ragu aku menoleh ke arah pemuda itu. Memandangnya yang kini terdiam, seolah ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada kami. Matanya langsung menyipit memandangku. Seperti menjawab semua kecurigaannya saking seringnya melihatku dalam keadaan menangis."Kenapa kau di sini?" tanya bang Haikal dengan nada tegas. Baru kali ini kulihat wajahnya sampai memerah menahan marah."Aku ada janji dengan Dea," sahutku pelan."Dea? Aku tak melihat ada Dea di sini. Siapa pria ini?" Dia mengangkat dagu dengan sinis. "Pacarmu?" "Abang!" Aku memekik kesal. "Ho, dia pemuda yang ada di pesta itu, kan? Kalian sering bertemu, rupanya. Pantas saja kau mencari alasan untuk__.""Abang! Hish!" Aku kembali memekik. Begitu kesal karena dia tak memberi kesempatan padaku untuk menjawab pertanya
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status