All Chapters of JODOH HASIL RAMPASAN: Chapter 51 - Chapter 60
83 Chapters
Part 51
Bahkan hingga sampai saat ini tak mau melepaskannya agar Bima bisa terus melihatnya."Terima kasih, ya, Bim." Aku berucap setulus hati saat Bima menurunkan kami di depan rumah. Dia hanya menaikkan alis, lalu kembali menutup kaca jendela dan pulang."Terima kasih, ya, Bim." Bang Haikal memajukan bibir bawahnya demi bisa menirukan ucapanku pada Bima tadi.Dia langsung menyindirku begitu kami memasuki rumah."Ucapanmu terlalu berlebihan. Sudah kewajibannya membantu tetangga yang sedang kesusahan. Jadi kau tidak perlu membesar-besarkan.""Kenapa Abang kesal? Bukankah seharusnya dia yang marah karena Abang duduk di belakang?" protesku."Aku hanya tak ingin membiarkan isteriku duduk sendirian." Dia beralasan.Dahiku jadi berkerut mendengarnya. Siapa sekarang yang bersikap berlebihan."Kau bicara apa saja padanya saat aku tak ada?" Lagi-lagi ucapannya terdengar sinis."Dia bilang Kania sakit karena Abang. Dia frustasi karena Abang lebih memilihku hingga dia menyiksa diri hingga tak berseler
Read more
Part 52
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari luar. Mataku langsung terbuka begitu merasakan bang Haikal menarik diri. Aku dan dia saling memandang dengan salah tingkah. Tentunya dengan pipi yang terasa panas dan pasti terlihat memerah. Kami saling melempar senyum dengan malu-malu, lalu tertawa bersama."Biar aku buka." Aku melepaskan pelukanku dari pinggangnya. Dia mengangguk, mengiyakan.Tentu saja menyempatkan diri dengan mengusap bibirku dengan ibu jarinya sebelum aku pergi. Seolah apa yang dia lakukan barusan akan meninggalkan bekas, dan orang lain akan menyadari.Dengan senyum masih terkulum, aku berjalan menuju ruang tamu. Melihat siapa yang datang dan mengganggu kesenangan kami."Bima?" Aku terkejut melihat pemuda seusiaku itu berdiri di ambang pintu. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sini. Padahal sejak awal sudah tahu kalau ini tempat tinggalku. Namun tak pernah sengaja menyapa, atau sekedar memberi tahu."Ada apa?" tanyaku heran. Tentu saja karena ini sudah hamp
Read more
Part 53
Wajahnya kembali memberengut. Membuat hasratku tadi semakin menciut."Abang tak percaya padaku?""Aku bisa saja mempercayaimu. Tapi aku tak bisa percaya padanya.""Kalau tidak percaya, Abang bisa mengawasi dengan tidur di kamarku."Matanya membesar, lalu terdiam. "Kenapa? Tidak mau? Aku juga tidak memaksa. Lebih nyaman tidur sendirian!" Aku langsung membuang pandangan, lalu berlalu menuju kamar."Hati-hati dengan ucapanmu, Dwi! Lain kali aku mungkin tidak akan menahan diri lagi."Kudengar ucapan terakhirnya sebelum menutup pintu. Entah apa maksud kata-katanya itu. Menahan diri untuk memarahiku lagi?Berani sekali dia mengancam setelah menuduhku yang bukan-bukan.Arrggh!Bima dan Kania sama-sama membuat malam romantis kami jadi kelabu.*Beberapa hari berlalu. Sore ini kulihat mobil Xenia berhenti di depan rumah Kania. Aku melirik dua orang wanita turun dari sana. Sempat mata kami saling menatap saat dia sengaja menoleh ke arah rumahku. Raut wajah itu masih sama, memandang kebencian
Read more
Part 54
Aku mengintip dari balik tubuh suamiku. Kania berdiri mematung, menyaksikan apa yang dulu pernah aku alami saat berada di posisinya. Tak perlu menunggu waktu lama, setengah berlari dia memasuki rumahnya sambil mengusap air mata.Aku langsung melepaskan tubuh bang Haikal, menghentikan aksi nekatku untuk membuat gadis itu benar-benar cemburu. "Lain kali jangan seperti ini lagi!" Ucapan bang Haikal membuatku terkejut.Dia tampak tak terima dengan apa yang baru saja aku lakukan. Setelah melihat Kania tak berada di sana lagi, dia menjauh dan meninggalkanku masuk ke rumah.Aku memejamkan mata perlahan, menghela napas agar lebih tenang. Memegangi dadaku untuk menetralkan degub jantung yang tak lagi beraturan karena ulahku sendiri. Apa sikapku terlalu berlebihan?Aku mengikuti langkah suamiku menyusulnya hingga ke dalam. Menemukannya di kursi makan dengan wajah kesal sambil meletakkan gelas kosong di atas meja. Sepertinya dia baru saja menghabiskan segelas air dengan sekali teguk."Kau suda
Read more
Part 55
Hari ini bang Haikal mendapat panggilan interview lagi. Itulah yang ingin dia beritahukan saat aku menerkam dan menciumnya sore kemarin. Sebelum pamit, dia meminta aku mendoakannya agar berhasil.Hampir satu bulan lamanya dia menjadi pengangguran. Jarang bepergian dan hanya berdiam diri di rumah saja. Membuka tutup laptop juga mengecek ponsel, siapa tahu ada email yang masuk. Syukurlah, hari ini usahanya membuahkan hasil. Meski belum ada kepastian, setidaknya masih ada secercah harapan..Aku berjalan kaki menuju warung tak jauh dari rumah. Membeli beberapa bahan makanan yang ternyata sudah tak ada lagi di kulkas. Bang Haikal pasti lapar saat pulang nanti."Hei, Dwi. Setiap lewat, aku selalu melihat suamimu di rumah. Apa dia tidak bekerja?" tegur salah seorang pembeli.Aku melirik sinis pada seorang wanita bertubuh tambun yang baru saja bertanya. Kemudian memperhatikan beberapa pembeli lainnya yang ikut menoleh ke arahku."Ya. Dia mengundurkan diri dari kantornya." Aku menjawab deng
Read more
Part 56
Menjelang sore bang Haikal belum juga pulang. Pesan yang aku kirim pun belum dia baca sampai sekarang. Biasanya dia selalu memberi kabar jika terlambat sampai di rumah. Pasti ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk bertemu denganku.Aku melirik kembali ponsel di meja makan. Dada ayam yang aku ubah dari menu awal sudah dingin dari tadi. Sop ayam dengan campuran kentang dan juga wortel kembali aku masukkan ke dalam panci. Melihat kecap dan juga tahu dari warung tadi mendadak membuatku berubah pikiran dan tak mau memasaknya lagi.Tak lama terdengar suara sepeda motor memasuki halaman. Aku langsung mengejar ke depan karena sudah hafal dengan suara mesinnya. Aku langsung terdiam melihat wajah kusutnya. Apa yang aku pikirkan tadi mungkin saja terjadi saat ini. Dia pasti gagal lagi."Abang makan siang di mana tadi?" Aku bertanya dengan hati-hati.Dia hanya memandangku sendu, memaksakan sebuah senyum agar aku tak ikut-ikutan kecewa."Tidak apa-apa, Bang." Aku langsung menebak apa yang terja
Read more
Part 57
Mata itu mulai menatapku sendu. Membuatku lagi-lagi berpikir kalau sikap manisnya akhir-akhir ini hanya sebuah kamuflase untuk menyenangkan hatiku."Abang masih belum bisa menerima semua ini, kan?" tanyaku lagi. Sebesar apa pun rasa percaya yang ingin aku berikan, tetap saja sikap dan perbuatannya membuatku kembali meragu. Aku merasa seperti orang bodoh yang berkhayal mendapatkan cinta dari pria yang aku tak tahu kini hatinya milik siapa."Abang benar-benar membuatku bingung. Terserah Abang mau berbuat apa!" Aku mengempaskan tangannya begitu saja. *Hari ini suamiku kembali pergi. Tak bilang padaku mau ke mana. Bahkan sarapan yang aku sediakan tak dia sentuh sama sekali. Lagi-lagi hubungan romantis kami harus berakhir hanya karena statusnya yang masih pengangguran. Selama dia belum mendapatkan pekerjaan, hal seperti ini pasti akan terus-terusan diungkit oleh dia.Untung saja saat ini Kania masih berada di rumahnya. Kudengar dari tetangga yang menjenguk kemarin, dia masih harus beri
Read more
Part 58
"Kalian menungguku?" Suara Bima membuat aku dan Dea mengehela napas, lega. Dari pertanyaannya, dia pasti tak mendengar percakapan kami barusan tadi. Di tangannya tergantung sekotak donat dengan merk terkenal yang sudah tidak asing lagi."Masuklah!" Aku tersenyum kikuk sembari mengusap tengkuk.Bima masuk dan meletakkan camilan beraneka rasa itu ke atas meja. Lalu duduk di atas sofa lembut, pemberian orang tuaku saat aku dan bang Haikal pindah ke rumah ini.Kepalanya berputar mengamati isi rumahku. Menyisir setiap sudut ruangan yang belum pernah dia lihat sejelas ini."Kenapa repot-repot membeli makanan?" Aku berbasa-basi sembari mengintip isi kotak yang dia bawa.Kemudian membukanya lebar agar semua orang bisa memakannya. "Tamu ibuku yang membawa. Sepertinya tidak ada yang memakan."Ou, jadi ini hanya barang bekas yang tidak terpakai? Bodoh sekali aku, sampai berpikir bahwa Bima seperhatian itu saat berkunjung ke rumahku.Tapi baguslah. Setidaknya teman-temanku ini tahu diri. Tak ma
Read more
Part 59
Aku terdiam. Mencerna tiap kata-kata yang diucapkan laki-laki ini. Hatiku yang tadi sedikit terhibur dengan kehadiran mereka, nyatanya beralih menjadi rasa sedih. Pemuda yang aku pikir teman ini, ikut membela gadis tak tahu malu itu?Kenapa tak ada seorang pun yang mengerti tentang perasaanku. Menghakimi tanpa tahu alasan di balik semua itu."Kalau kau tidak tahu apa-apa, sebaiknya diam saja!" Suaraku datar tanpa ingin menatap wajahnya.Tak lama Dea kembali, sembari membenahi bajunya yang sedikit berantakan."Kenapa hanya pizza yang kau sisihkan untuk bang Haikal, Dwi?" tanya dia. Mungkin melihat kotak itu tersaji rapi di atas meja. "Donatnya masih banyak. Itu tidak akan habis kita makan. Sebaiknya kau sisihkan saja, tak perlu sungkan. Bima juga tidak akan keberatan. Benar, kan, Bim?" Dea kembali duduk di samping Bima.Aku tak menyahuti. Selain masih kesal mendengar nama Bima, aku juga tahu kalau bang Haikal tidak akan mau menerimanya. Sama halnya denganku yang tak sudi saat dia mem
Read more
Part 60
"Abang bicara apa? Kapan aku seperti itu?" Aku menantang tatapannya."Lalu yang kulihat itu apa? Kau pikir aku tidak akan pulang lagi, hingga kau berani membawa laki-laki itu masuk ke rumah ini? Kau bahkan sudah tahu kalau aku tak menyukainya, ha!" Dia terdengar begitu meradang.Aku jadi bingung harus mulai dari mana menjelaskannya. Soal makanan yang mereka bawa, tak pernah terpikirkan olehku bisa menimbulkan masalah seperti ini. Aku tak menyangka, gagalnya suamiku mendapatkan pekerjaan, malah membuat dia menjadi begitu sensitif hanya karena masalah sepele."Aku bisa jelaskan." Aku mencoba membuatnya merasa lebih tenang. Detik berikutnya aku menceritakan apa yang terjadi, bagaimana Bima bisa berada di rumah kami. Juga tentang pizza dan donat yang dilihatnya tadi. Tak ada yang salah atau terlalu berlebihan. Bukankah selama ini orang-orang yang datang selalu saja membawa buah tangan untuk kami?Tidak terkecuali keluargaku maupun keluarganya. "Abang masih saja menjadikanku tempat pelam
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status