All Chapters of JODOH HASIL RAMPASAN: Chapter 31 - Chapter 40
83 Chapters
Part 31
"Abang?""Hem?""Apa aku terlau egois? Apa aku terlalu kekanakan dan selalu memaksakan kehendakku pada Abang? Apa Abang bosan dan menjadi benci padaku?"Air mata ini kian mengalir, aku menatap begitu dalam ke arah manik matanya. Mencari ketulusan dan kejujuran di sana, tentang apa yang akan dia jawab nanti.Dia tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya ke udara. Perlahan, tangan besar itu mulai menyentuh pucuk kepalaku. Mengusap rambut panjangku dengan hati-hati."Aku tak pernah membencimu, Dwi. Katakan saja apa yang kau inginkan. Aku tak ingin membuatmu menangisiku lagi.""Sungguh? Abang akan lakukan itu?""Aku tak mau kau terus-terusan menganggapku pria jahat. Tak pernah sekalipun aku berniat menyakitimu, Dwi."Aku terpaku. Sejenak kurasakan kata-kata itu begitu tulus. Bukan hanya sebuah rayuan ataupun sandiwara. Apa itu artinya dia langsung setuju jika aku mengajaknya pindah dari sini?*Hari beranjak siang. Kudengar suara ketukan dari pintu depan. Aku baru saja selesai mandi sete
Read more
Part 32
Aku melirik wadah plastik berwarna biru muda di atas meja. Lalu kembali mengalihkan wajah ke sembarang arah."Hei! Aku sedang bertanya." Bang Haikal ikut menggeser wajahnya agar tetap sejajar dengan penglihatanku."Terserah Abang!" sahutku ketus."Jika kau melarang, aku tak akan memakannya.""Abang bilang ingin menghemat uang belanja," sindirku.Dia tertawa kecil."Aku sudah terbiasa makan masakanmu. Rasanya jauh lebih enak." Dia berusaha merayuku.Sudut bibirku terangkat meski sudah kutahan. "Masakan yang mana?" tanyaku malu, saking banyaknya menu yang coba aku buat dari video tutorial di youtube."Telur dadar," godanya."Hish, Abang!" Aku langsung mencubit perutnya. Dia semakin tertawa.Memangnya selain menu sederhana itu masakanku tidak ada yang enak?"Aku akan membuang semua makanan itu. Mereka pasti menaruh sesuatu agar Abang meninggalkanku dan kembali pada mereka!" Aku berucap kesal.*Aku menghidangkan beberapa macam lauk di atas meja. Ayam kecap, tumis buncis dan wortel, sam
Read more
Part 33
"Mengembalikan rantang.""Malam-malam begini? Kau bisa mengantarnya besok. Setidaknya kau tidak perlu bertemu__.""Justru aku ingin bertemu dengannya, Bang." Aku menyela begitu saja ucapan bang Haikal. "Aku tak mau lari lagi. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya begitu tahu kita hidup dengan bahagia." Aku masuk dan berlalu begitu saja melewati tubuhnya.Dia mengikuti langkahku hingga melewati ruang tamu."Abang tahu dari mana kalau aku keluar? Abang mengintip ke kamarku, ya?" Aku mengentikan langkah dan berbalik ke arahnya."Kau tidak menyahut saat kupanggil. Kau tidak mungkin tidur jam segini.""Ada apa? Abang butuh sesuatu?""Iya... itu... aku...." Dia terlihat ragu-ragu. Seperti sungkan dalam mengutarakan sesuatu.Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Jangan-jangan... dia sedang memikirkan hal yang tidak-tidak. Atau dia memiliki indera ke enam dan bisa merasakan bahwa aku tadi mengarang cerita romantis tentang malam jumat pada Kania dan ibunya.Apa saat ini dia juga menyadar
Read more
Part 34
"Kau serius?" Dea tercengang mendengar ucapanku tentang Kania, yang kini menjadi tetangga baruku."Kau tidak berpikir ini cuma kebetulan, kan?" tanyaku dengan nada emosi."Tentu saja bukan. Gadis itu sudah gila, Dwi. Dia menguntit suamimu!" "Tentu saja. Dan dia masih tak mau mengaku.""Kau lebih gila lagi karena masih mau tinggal di situ. Sebaiknya kau ajak bang Haikal pindah. Kau tahu sendiri kisah pelakor semakin marak akhir-akhir ini. Bagaimanapun juga, suamimu itu laki-laki normal, Dwi." Dea memanas-manasi. Membuat mataku melirik seolah ingin mencekiknya."Maaf." Dia tertawa cengengesan.Aku kembali menjelaskan bahwa pernah memikirkan tentang hal itu. Namun tetap saja Kania akan hadir dan terus menerus meneror rumah tangga kami. Dea mengangguk-ngangguk seperti mengerti. Detik berikutnya dia mengernyitkan dahi memandangku."Sejak kapan kau bisa berpikiran dewasa seperti itu? Apa karena pengaruh malam jumat, dan kau jadi percaya sepenuhnya pada suamimu itu?"Aku yang sedang menyer
Read more
Part 35
Makan malam kali ini terasa begitu canggung. Aku dan dia masih saling diam. Tak ada yang berani memulai percakapan.Tak lama terdengar suara ketukan dari pintu depan.Aku beranjak dari ruang makan untuk melihat siapa yang datang. Aku tercengang saat melihat ibunya Kania kembali berdiri di ambang pintu, lagi-lagi dengan membawa sesuatu."Ini baru saja matang. Masih panas." Senyumnya mengembang sembari menyodorkan mangkuk kaca dengan asap yang masih mengepul dari lubang tutupnya. Ada piring batu di bawahnya sebagai tatakan.Aku menelan ludah. Sepertinya sikap ramahku kemarin disalah artikan oleh wanita ini. Dia muncul kembali seperti ingin mendekatkan diri dengan keluarga kami."Ibu tidak usah repot-repot. Aku dan bang Haikal tidak terlalu banyak makan. Kebetulan kami sudah ada makan malam." Aku menolak secara halus."Ini kolak labu. Haikal sangat suka jika ibu memasak ini. Katanya dia paling suka masakan yang manis-manis."Aku menghela napas, mencoba menahan diri. Ibu ini membuatku ber
Read more
Part 36
Aku seperti mengenali suara itu. Aku langsung mendongak untuk meyakinkan diri. Lalu melihat sekeliling untuk memastikan bahwa saat ini aku masih berada di kawasan sekitar rumahku. Tapi kenapa bisa ada dia sedang berdiri menatapku?"Kau menangis lagi!" Pemuda dengan celana pendek di bawah lutut dan kaos rumahan itu kembali bersuara."Bim__Bima?" Dengan ragu aku menyebut namanya. "Kau mengikutiku sampai ke sini?" Dia mendesis. "Kau berlari seperti orang kesurupan. Tentu saja aku mengikutimu."Dia melihatku berlari? Dari mana? Sejak kapan dia menjadi penguntit seperti Kania? Apa dari sore tadi dia mengikuti mobil Dea hingga sampai ke rumahku?"Sejak kapan kau melihatku?" tanyaku penasaran.Aku langsung bangkit dan mengusap air mata dengan punggung tangan."Kalau sudah tidak sanggup, berpisah saja. Masa depanmu masih panjang." Bukannya menjawab dia malah bertausiah memberikan nasihat."Apa maksudmu?" "Bukankah waktu itu suamimu bilang kau ingin bercerai? Kenapa tidak jadi? Dasar plinpl
Read more
Part 37
Aku menggeleng dengan cepat."Hanya mantan. Tapi wanita itu masih juga mengejar dan berusaha mendekati suamiku.""Oh, berarti pernah saling cinta, ya. Kalau suamimu juga masih menyukainya, bagaimana?" Ucapannya membuat hatiku semakin memanas.Aku terdiam. Tak langsung mengelak. Karena memang seperti itulah kenyataannya. Aku lebih memilih bungkam, tak menjawab."Kau tidak lelah?" Dia menarik lenganku agar berhenti. Aku menurut, sembari menunduk. "Kuantar pulang!" Dia menarik kembali lenganku yang masih dipegangnya.Aku langsung menarik tanganku kembali, tak ingin dia terlalu lancang dengan sembarangan menyentuh isteri orang. Seberapa marahnya pun aku saat ini, hanya dengan tangan suamikulah aku ingin disentuh."Maaf." Dia mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti tanda menyerah. "Ini sudah malam. Kau tidak ingin membuat suamimu khawatir, kan?"Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. Dia menggeser tubuhnya, seperti memberikan jalan agar aku bisa lewat. Aku menatapnya sebentar, lalu me
Read more
Part 38
"Tetangga?" Aku mengulangi ucapannya. Merasa tak percaya atau mungkin salah dengar.Dia hanya mengucapkan kata 'hem' sambil mengangguk."Bagaimana bisa?" tanyaku penasaran."Apanya yang bagaimana? Tentu saja aku harus mengikuti kemana orang tuaku tinggal. Mereka melihat rumah itu dijual dan membelinya. Ada yang salah?"Aku terdiam. Kembali melihat bangunan dua lantai yang sudah direnofasi itu. Aku bahkan tak menyadari seseorang yang aku kenal tinggal di sana sudah berhari-hari. "Dokter gigi itu, ibumu, ya?" Dia kembali mengangguk.Aku pun jadi ikut mengangguk-ngangguk, mulai mengerti."Baiklah. Aku pulang dulu, ya." Bima pamit padaku dan juga bang Haikal.Aku memandangi Bima yang menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu berlari kecil menyeberang jalan. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia benar-benar masuk ke rumah itu.Dia membuka pagar di sisi kiri, jalan masuk yang berbeda dari ruangan sisi kanan yang dijadikan sebagai tempat praktek ibunya. Ya, pemuda itulah yang bang Haikal dengar se
Read more
Part 39
"Jangan membawa-bawa Bima dalam masalah kita. Dia tidak tahu apa-apa. Aku sudah cukup bersabar. Percaya kalau Abang benar-benar berusaha melupakan Kania. Tapi kenyataannya apa? Hanya gara-gara kolak labu Abang membentak dan memarahiku di depan orang itu. Abang sengaja ingin mempermalukanku, kan? Agar mereka tahu kalau isteri Abang sekarang tidak sehebat kekasih Abang itu.""Maafkan aku, Dwi! Bukan itu maksudku." Suaranya sedikit tertahan."Aku tak percaya lagi pada Abang. Aku sudah lelah. Aku akan bilang pada ayah akan bercerai. Abang tidak perlu khawatir, aku tidak akan membuat nama Abang jelek di depan keluargaku. Hanya itu kan yang Abang takut kan?" Aku kembali terisak.Padahal sudah setengah mati aku menahannya. Mencoba bersikap tegar dengan tak mau lagi terlihat lemah di matanya. Tapi tetap saja mata ini ingin menangis. Entah karena sakit yang kurasakan, atau bersedih karena akan berpisah dari orang yang masih sangat aku cintai.Dia terdiam. Tak lagi mengiba seperti tadi. Sudah k
Read more
Part 40
Aku tertegun. Tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku kembali mengalihkan pandangan ke arah suamiku. Sejenak kami saling terpaku, namun setelah tersadar aku langsung melirik ke arah Kania.Matanya membesar, masih saja menatap wajah suamiku. Meski tak mendapat balasan, tetap saja itu melukai perasaanku.Aku langsung menepiskan tangan bang Haikal yang masih setia menggenggamku."Kenapa?" tanya dia. Seperti tak rela aku melepaskannya."Untuk apa lagi Abang memintaku tinggal? Bukankah sudah ada dia?" Aku menunjuk Kania dengan nada kasar, penuh emosi."Hanya kau saja yang kubutuhkan. Bukan yang lain," jawabnya.Aku kembali melirik wajah Kania. Bulir bening kini menetes dari kedua matanya. Terdiam, seperti merasa terpukul mendengar permohonan dari laki-laki yang dikasihinya itu padaku."Aku mohon, Dwi. Jangan pergi." Suara bang Haikal lagi-lagi seperti mengiba.Tidak, tidak. Pasti sudah terjadi kesalahan. Apa yang terjadi pada laki-laki ini? Apa dia tidak sadar dengan keberada
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status