Semua Bab Balasan untuk Suami Hidung Belang: Bab 11 - Bab 20
70 Bab
Niat terselubung
Air mata berduyun-duyun hampir jatuh membasahi pipi. Ada rasa nyeri di hati, andai waktu bisa diputar kembali, Inggit ingin Arya masih seperti dulu. Tak pernah marah, dan sekasar ini. Semenjak perselingkuhan itu, Arya terlihat sudah berubah. Inggit memojokkan suaminya itu, suatu tanda kode keras. Tak lebih. “Aku tahu Mas, aku bukan istri yang baik ... aku ... aku—“ Inggit tak bisa lagi melanjutkan kata-kata. “Maaf, sayang,” ujar Arya memeluk istrinya. Inggit mendorong tubuh Arya. Ia berusaha menutup semua sesak di dada. Sungguh Inggit tak berniat untuk melawan kepala rumah tangga. Sekali lagi Inggit terpaksa. “Iya sudahlah Mas, lupakan itu.”“Maaf ya sayang, Mas beneran capek kerja, untuk memenuhi kebutuhan kita.”Inggit sesak dalam hati. Bagaimana tidak! Percuma kebutuhan terpenuhi tapi hati suami tak dimiliki lagi. Lagi pula, bukankah separuh uangnya untuk menyenangkan selingkuhannya. Inggit tidak sepolos, bodoh, dan mudah tertipu seperti dulu. “Ya Mas. Mas sudah makan?” tawa
Baca selengkapnya
Keributan
“Sarapan dulu mas?” tawar Inggit berusaha biasa saja. Seolah tak perlu mengingat-ingat kejadian kemarin. ‘Jika nanti semua harus menjadi kenangan, jangan sampai merindukan semua ini, atau aku yang hanya seorang istri yang berharap lebih, hingga mengenal kata kecewa. Tertampar habis-habisan oleh pengihanatan,’ batin Inggit lirih, karena kenyataan tak seperti yang ia bayangkan. Sementara Arya memandangi penampilan istrinya, pagi ini Inggit sudah bersiap diri tampil sempurna dengan bous putih berenda dan rok slim skirt merah, blazzer hitam ia sampirkan di sofa.Setelah Arya sudah bersiap pergi kerja ia baru menyadari penampilan istrinya. “Eh, sayang mau ke mana sudah rapi gitu? Tumben.”“Aku mau kerja, bosan di rumah terus, Mas! Cuma berharap gaji suami.”Arya tak berhenti memandang Inggit tak percaya. Sapuan make up di wajah istrinya. Terlihat menggoda. “Kerja apa? Jangan aneh-aneh, sayang.”“Siapa yang aneh Mas?”“Kamu itu, sekarang benar-benar kelewatan ya!” bentak Arya. Mulai terp
Baca selengkapnya
berbalut handuk kimono
“Sabar, Mas ... maksudnya membutuhkan dalam katagori tenaga kerja,” sangkal Agam tersenyum mengejek. Arya memalingkan wajahnya, lalu melirik arlojinya. “Kalau begitu aku pamit dulu.” Mata Inggit memerah mendengar kalimat suaminya. Ia berharap Arya tak membiarkan dirinya untuk bekerja. Jadi, apa maksudnya ia marah barusan, bila meninggalkan istrinya begitu saja. “Ngeselin Mas Arya, iiih.” Inggit mengentakkan kakinya. Usai kepergian Arya. Inggit memasang wajah kecut. Ia sudah berniat akan pergi dan tak menunjukkan wajah di hadapan pria ini, lagi pula ada urat malu untuk terus meminta pertolongan. “Apa yang bisa aku bantu? Kamu merencanakan apa buat lelaki bajingan itu!” suara berat Agam terdengar. “Emm—“ “Ayo masuk,” potong Agam mempersilahkan Inggit memasuki restoran. “Tidak usah,” tolak Inggit. “Aku mau pulang aja!” “Kenapa? Aku akan membantu kamu! Kamu kan juga bilang kalau aku tidak membantu setengah jalan. Dari pada kamu pulang hanya membuang air mata.” Inggit menelan sal
Baca selengkapnya
semakin rusuh
Inggit berdehem sejenak, memecahkan lamunan Agam, membuat lelaki itu tertunduk malu. Setelahnya Inggit persilahkan buat Agam duduk di ruang tamu. Ia mengangkat tangan mengurai rambut panjangnya yang masih basah. Mendadak Inggit dibuat terkejut tatkala melihat Agam yang mendadak menelan ludahnya saat melihat Inggit yang melangkah untuk menyelesaikan membersihkan diri. Yang mengherankan, lelaki itu menunjukkan wajah yang ingin dijamah oleh wanita.Inggit mengatur nafas. Nalurinya sudah mengajak untuk langsung menggarapnya. Bagaimana pun Inggit juga sudah lama tak dijamah oleh suaminya. Namun, Inggit harus ingat. Ia bukan wanita seburuk itu. “Gam, enggak apa-apa?” Inggit bertanya secara perlahan. Agam tidak menjawab. Dia hanya menyoroti tubuh Inggit dengan pandangan yang nakal. Yang anehnya, lelaki itu langsung berpamitan pulang. Inggit hanya geleng-geleng kepala. Melihat temannya itu, entah apa tujuannya barusan bertamu. Tak harus memikirkan lebih lanjut, Inggit bergegas melanjut
Baca selengkapnya
kita mulai Mas
“Cukup Mas, tidak usah seperti otak dangkal, kamu bisa merusak reportase kamu sendiri bila kelakuanmu seperti ini!” Inggit angkat bicara. Arya mengatur napasnya. Tak lama kemudian melangkahkan kaki menjauh dari mereka berdua setelah membuang goloknya. Agam pun tak memedulikan Arya. Ia beralih menatap Inggit yang gemetar setelah kejadian yang dibuat oleh lelaki hidung belang. Yang tak tahu diri. “Enggak usah takut. Sekarang sudah aman.” Agam menghampiri Inggit. Mendekapnya. Merasakan bulatan ranum yang menempel ketat di dadanya. Agam terhenyak. Sekarang bukan saatnya berpikir yang kotor. Inggit sedang rapuh karena telah dikecewakan oleh suaminya sendiri. Tidak seharusnya Agam mengambil kesempatan dalam kesempitan. Inggit memandang ke arah Agam lekat-lekat. Pandangannya seorang wanita yang membutuhkan perlindungan. Sebagai laki-laki Agam harus memberikan rasa nyaman dan perlindungan. Namun, Inggit juga tengah menyelami mata lelaki itu. Mencari-cari apakah ada niat tersembunyi dari
Baca selengkapnya
Gancet?
Di rumah Desty, orang yang melahirkan Inggit. Bisnis Inggit tetap terus berjalan. Walau banyak pikiran kalut yang mendera dirinya. Bagaimana pun uang harus tetap terus mengalir. Setidaknya untuk tabungan membuktikan bahwa Inggit juga bisa hidup tanpa biaya bulanan dari suaminya. Bahkan malah melebihi Arya yang lupa diri itu. Inggit percaya diri karena sebulan berlalu kini penghasilannya sudah hampir mendekati jatah bulanan waktu masih sering diberi oleh Arya. Dari rumah ini, Inggit masih terus memantau gerak gerik mereka dari CCTV yang Inggit sambung ke layar ponselnya. Maka terlihatlah kegiatan mereka. Anya tidak sungkan bergerak layaknya tuan rumah. Bahkan sampai bercumbu di mana pun. “Dasar laknat! Mengotori rumahku saja, emang sudah gak punya otak mereka!” cicit Inggit. Amarahnya mencuat saat melihat banyak tentengan belanjaan di tangan perempuan itu. Rupanya mereka habis belanja bersama. Padahal dahulu Inggit top up di platform novel saja, Arya tiga hari marahnya. Sebelum Ary
Baca selengkapnya
Dokter tipu-tipu
“Joko Tingkir ngumbe dawet, ojo dipikir marai mumet,” ujar Agam, sambil bernyanyi.“Iiih, apaan sih, Gam!” Inggit memonyongkan bibirnya. “Gimana caranya?”“Itu urusanku. Kita harus mengambil langkah yang cepat, Inggit. Kalau tidak kamu akan dipermainkan terus dengan mereka.”Inggit terdiam. Jantungnya berhenti berdetak seketika mendengar ucapan Agam. Bukan karena tak tega dengan apa yang akan terjadi dengan suaminya. Namun, terharu dengan Agam yang selalu ada membantu dirinya. Bahkan menghiburnya. Perlahan air matanya jatuh. Lelaki tak terlalu tampan itu, selalu memberi Inggit dukungan. Masih Inggit ingat saat awal ia curhat. Lelaki itu benar ada untuknya, tak terbayang bila semua ini tanpa Agam. Mungkin Inggit hanya menjadi bulan-bulanan suami hidung Belang. “Terima kasih, selagi lagi, aku tidak bisa membalas kebaikanmu, Gam,” kata Inggit sembari menangis. Dengan lembut Agam mengusap air mata Inggit yang menetes di pipi.“Percayalah, aku ikhlas membantu kamu. Banyak berdoa untuk m
Baca selengkapnya
Viral?
“Tolongin Mas rubah posisi. Mas gak kuat, capek gini terus.”Inggit menghela napas panjang. Bukankah itu posisi yang diimpikan mereka. Selalu bersentuh setiap saat! Karena Inggit masih memiliki hati nurani, ia merasa iba terhadap mereka. Tanpa harus menjawab, Inggit langsung berdiri di sisi ranjang. Lalu mendorong dengan sekuat tenaga hingga posisi mereka sudah berubah. Kali ini posisi wanitanya yang di atas. “Jangan gini, dong! Miring saja, sayang.”Inggit kembali menghela napas panjang. Ia mendorong tubuh mereka. Kali ini sengaja mendorongnya kuat hingga terguling hampir jatuh dari ranjang. Arya memanggil, begitu juga Anya. Inggit tak memedulikan mereka. Ia langsung lari keluar. “Mbak, tolong aku hampir jatuh,” teriak Anya. Inggit tidak menghiraukan teriakannya. Ia sempat menoleh, tubuh Anya setengah menggantung di tepi ranjang sebelah kanan. Namun, Inggit membiarkannya.Inggit langsung me
Baca selengkapnya
pertolongan
“Mbak, jangan bikin malu aku dong, nanti aku gimana nih. Duh, Mbak hapus aja dong.”“Halah, sudah terlanjur. Lagian ini suatu upaya untuk banyak orang yang tau apa yang terjadi. Siapa tau mereka bisa memberi solusi. Kalian mau lepas gak, sih? Apa kalian mau mati?”Mereka terdiam. Tidak ada protes. Tak lama dari itu, ponsel Inggit berdering. Begitu juga ponsel mereka yang ada di atas nakas. Panggilan demi panggilan masuk silih berganti. Suara riuh dari luar rumah juga mulai terdengar. Sebelum Inggit keluar kamar untuk memeriksa ia mengamankan ponsel Arya dan Anya.Inggit tak menyangka aksinya, barusan live. Ternyata mengundang beberapa orang di luar, yang ingin membantu atau sekadar ingin melihat secara langsung tontonan yang langkah. Terdengar juga ketukan pintu. Setelahnya salam yang diucapkan terdengar lantang. Membuat Inggit mendekat ke pintu. Suara Bu Rohaya. “Nggit? Ada apa lagi dengan suamimu?” Bu Rohaya langsung menyerobot masuk setelah pi
Baca selengkapnya
suntik mati
“Suntik mati.”Setelah mengatakan itu, perawat pamit. Inggit dan Bu Rohaya masih saling menatap lalu menoleh ke arah Arya dan Anya. “Aku gak mau mati,” rengek Anya. “Mas juga gak mau mati. Inggit sayang, tolongin Mas. Ini bukan seperti yang sayang liat. Coba ingat-ingat Mas kan sering berikan kamu kejutan, apa gak kangen dengan kejutan Mas selanjutnya.” Arya memelas. “Kejutan? Iihhh, Mas Arya, kamu bikin aku semakin muak! Gak usah merayu, sudah gak mempan sekarang! Itu hukuman buat kamu Mas, siapa suruh aneh-aneh.” Bukannya ditenangkan, Inggit malah membalas dengan sewot. Sayangnya, Mas Arya masih saja mengelak, merasa tidak bersalah, malah meyakinkan bahwa semua ini bukan seperti yang dilihat. Kurang bukti apa lagi? Apa perlu di saat seperti ini Inggit melihatkan bukti-bukti lain? Istri mana yang tidak naik pitam, ingin rasanya Inggit langsung membolehkan dokter suntik mati suaminya. Keterlaluan sekali, lelaki ini! Ma
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status