“Joko Tingkir ngumbe dawet, ojo dipikir marai mumet,” ujar Agam, sambil bernyanyi.“Iiih, apaan sih, Gam!” Inggit memonyongkan bibirnya. “Gimana caranya?”“Itu urusanku. Kita harus mengambil langkah yang cepat, Inggit. Kalau tidak kamu akan dipermainkan terus dengan mereka.”Inggit terdiam. Jantungnya berhenti berdetak seketika mendengar ucapan Agam. Bukan karena tak tega dengan apa yang akan terjadi dengan suaminya. Namun, terharu dengan Agam yang selalu ada membantu dirinya. Bahkan menghiburnya. Perlahan air matanya jatuh. Lelaki tak terlalu tampan itu, selalu memberi Inggit dukungan. Masih Inggit ingat saat awal ia curhat. Lelaki itu benar ada untuknya, tak terbayang bila semua ini tanpa Agam. Mungkin Inggit hanya menjadi bulan-bulanan suami hidung Belang. “Terima kasih, selagi lagi, aku tidak bisa membalas kebaikanmu, Gam,” kata Inggit sembari menangis. Dengan lembut Agam mengusap air mata Inggit yang menetes di pipi.“Percayalah, aku ikhlas membantu kamu. Banyak berdoa untuk m
“Tolongin Mas rubah posisi. Mas gak kuat, capek gini terus.”Inggit menghela napas panjang. Bukankah itu posisi yang diimpikan mereka. Selalu bersentuh setiap saat! Karena Inggit masih memiliki hati nurani, ia merasa iba terhadap mereka. Tanpa harus menjawab, Inggit langsung berdiri di sisi ranjang. Lalu mendorong dengan sekuat tenaga hingga posisi mereka sudah berubah. Kali ini posisi wanitanya yang di atas. “Jangan gini, dong! Miring saja, sayang.”Inggit kembali menghela napas panjang. Ia mendorong tubuh mereka. Kali ini sengaja mendorongnya kuat hingga terguling hampir jatuh dari ranjang. Arya memanggil, begitu juga Anya. Inggit tak memedulikan mereka. Ia langsung lari keluar. “Mbak, tolong aku hampir jatuh,” teriak Anya. Inggit tidak menghiraukan teriakannya. Ia sempat menoleh, tubuh Anya setengah menggantung di tepi ranjang sebelah kanan. Namun, Inggit membiarkannya.Inggit langsung me
“Mbak, jangan bikin malu aku dong, nanti aku gimana nih. Duh, Mbak hapus aja dong.”“Halah, sudah terlanjur. Lagian ini suatu upaya untuk banyak orang yang tau apa yang terjadi. Siapa tau mereka bisa memberi solusi. Kalian mau lepas gak, sih? Apa kalian mau mati?”Mereka terdiam. Tidak ada protes. Tak lama dari itu, ponsel Inggit berdering. Begitu juga ponsel mereka yang ada di atas nakas. Panggilan demi panggilan masuk silih berganti. Suara riuh dari luar rumah juga mulai terdengar. Sebelum Inggit keluar kamar untuk memeriksa ia mengamankan ponsel Arya dan Anya.Inggit tak menyangka aksinya, barusan live. Ternyata mengundang beberapa orang di luar, yang ingin membantu atau sekadar ingin melihat secara langsung tontonan yang langkah. Terdengar juga ketukan pintu. Setelahnya salam yang diucapkan terdengar lantang. Membuat Inggit mendekat ke pintu. Suara Bu Rohaya. “Nggit? Ada apa lagi dengan suamimu?” Bu Rohaya langsung menyerobot masuk setelah pi
“Suntik mati.”Setelah mengatakan itu, perawat pamit. Inggit dan Bu Rohaya masih saling menatap lalu menoleh ke arah Arya dan Anya. “Aku gak mau mati,” rengek Anya. “Mas juga gak mau mati. Inggit sayang, tolongin Mas. Ini bukan seperti yang sayang liat. Coba ingat-ingat Mas kan sering berikan kamu kejutan, apa gak kangen dengan kejutan Mas selanjutnya.” Arya memelas. “Kejutan? Iihhh, Mas Arya, kamu bikin aku semakin muak! Gak usah merayu, sudah gak mempan sekarang! Itu hukuman buat kamu Mas, siapa suruh aneh-aneh.” Bukannya ditenangkan, Inggit malah membalas dengan sewot. Sayangnya, Mas Arya masih saja mengelak, merasa tidak bersalah, malah meyakinkan bahwa semua ini bukan seperti yang dilihat. Kurang bukti apa lagi? Apa perlu di saat seperti ini Inggit melihatkan bukti-bukti lain? Istri mana yang tidak naik pitam, ingin rasanya Inggit langsung membolehkan dokter suntik mati suaminya. Keterlaluan sekali, lelaki ini! Ma
Tepat saat itu, perawat keluar. Tak memberi tanggapan. Tak lama kemudian, tubuh Arya dan Anya lagi-lagi jatuh. Mereka menjerit kesakitan karena jatuh ke lantai. Inggit yang bingung diam tak melakukan apa pun. Bu Rohaya yang berlari menuju Arya dan Anya. Lalu, segera memanggil perawat. Tubuh Arya dan Anya diangkat kembali ke atas brankar oleh beberapa orang perawat. Selanjutnya, melakukan pemeriksaan. Hasilnya tidak terlalu buruk. Setelah setengah jam berselang, Anya yang masih dalam pengaruh obat penenang, membuat Arya berteriak karena takutnya Anya sudah tidak bernyawa. “Tolong ....” Teriak Arya dari ruangan. Seorang perawat segera lari menuju teriakan. Inggit dan Bu Rohaya hanya bisa menunggu tanpa berani masuk. Lima menit kemudian perawat keluar dengan raut wajah yang menahan tawa. Membuat Inggit tergerak untuk bertanya. “Bagaimana, Dok?” tanya Inggit. “Pasien teriak-trriak ketakutan. Dikira pasien wani
‘Apa ini namanya tisu kiriman gaib yang menjadi sumber masalah di rumah ini, membuat Arya dan Anya gancet?’ batin Inggit. Sang dukun lantas menggenggam tisu tersebut di tangan kirinya, setelah Inggit memberikan tisu tersebut. Lalu, menaruh tisu itu ke atas piring kecil, lalu membaca mantra dan meludahi tisu tersebut.Tidak berselang lama, tisu tersebut terbakar. Asapnya membumbung memenuhi kamar. Melihat Anya dan Arya dibentak karena berteriak, dan terbatuk-batuk. Inggit mencoba menahan napas, begitu juga Bu Rohaya. “Maaf nih Om Dukun, diminta tolong siapa? Kok datang kemari?” tanya Inggit setelah kamar sudah tidak lagi dipenuhi asap. Dukun itu hanya diam, mangut-mangut. Mengelus jenggot dan kumisnya yang panjang. “Ambilkan air satu gelas.”Tak banyak kata lagi, Inggit mau tidak mau menyiapkan minuman seperti perintah Mbah Dukun.Saat Inggit masuk, Mbah Dukun itu sedang mengentakkan telapak tangan ke la
“Lah itu, dukunnya malah kesurupan.”Inggit hanya terdiam melihat apa yang terjadi di atas ranjang. “Tadi, waktu kamu tidur, Mbah Dukun itu datang lagi, katanya disuruh teman kamu. Dia baca-baca mantra. Terus malah kesurupan kayak gitu.”“Haduw, ada-ada aja.”“Terus, itu nasib mereka gimana?”“Ibuk, juga gak tau.”Tepat saat itu juga Arya berteriak, “Ampun Mbah ... AMPUN!”“Gimana nih, Bu?” tanya Inggit semakin panik. Bu Rohaya hanya menggidikkan bahunya. “Gak tau. Sudahlah, Ibu juga gak berani masuk ke dalam. Biarkan siksaan mereka berjalan.”“Aku takut, Bu.”“Dah, santai aja, kita tungguin aja, Nggit. Mudah-mudahan Dukunnya sadar sendiri.”Bu Rohaya lalu mengajak Inggit duduk di sofa ruang keluarga yang terletak persis di depan kamar. “Kok yang lain pada ke mana Bu?” tanya Inggit setelah mengintip di luar rumah. “Mungkin Pak RT, dan Bu
“Ini, yang hanya Yai kasih. Suruh minum dan siram ubun-ubun.”Pak RT lantas melakukan apa yang dikatakan oleh orang itu. Seketika itu, Mbah Dukun berteriak, pada akhirnya berhenti. Beliau lalu, terkulai lemah tak sadarkan diri. Tak lama kemudian, Mbah Dukun sadar setelah diberi balsem di hidungnya sama Pak RT. “Alhamdulillah ... Mbah Dukun sadar.” Pak RT melihat Mbah Dukun. “Mbah, kenapa?” tanya Mbah Dukun. “Mbah kesurupan dari semalem.”“Masa sih! Jangan, bo'ong. Mbah ini Dukun, masa ia kesurupan ... setan mana yang berani Sa Mbah.”“Ini beneran Mbah, orang Mbah itu sampe ngamuk-ngamuk. Terus pintu Mbah Dukun rusakin. Suamiku saja, Mbah iket.”“Astaga.”“Sudah, gak apa kok Mbah. Yang penting Mbah sudah sadar,” sela Pak RT. “Maaf, ya. Mungkin tadi Mbah salah mantra.”“Iya, sudah Mbah gak apa. Makasih loh pertolongannya.” Inggit tersenyum. Kasihan