All Chapters of Dipaksa jadi TKI oleh SUAMI: Chapter 31 - Chapter 40
55 Chapters
31. AGAK BUNCIT
Fiani mengernyit, kebun samping rumah yang penuh semak belukar, kini bersih. Tampak juga beberapa pekerja sedang membangun pagar rumah. Secepat itukah berubah? Heran dan bingung bercampur. Dia takut keramaian itu berhubungan dengan anaknya. Cukup lama mengamati kediaman Verry, Fiani berbalik, niatnya ingin meminta Arsa mencari tahu ada apa di sana.“Hua!” Fiani terkejut. Ketika berbalik, wajah Arsa persis di depan matanya. Bibirnya menyungging sampai giginya yang agak berantakan tidak tampak jelas karena terlalu dekat.“Kamu ini, bikin aku kaget aja!” seru Fiani agak kesal.Arsa meringis. “He-he-he. Abisnya aku dicuekin dari tadi. Kamu itu udah kayak pengintai, Fi.”“Kita kan emang lagi mengintai Reni, Sa.”“Iya juga, ya, aku kira kita main petak umpet. He-he-he. Pis! Aku tanya tetanggamu dulu, ya.” Arsa mengangkat dua jari sambil mundur, lalu membuka pintu mobil. Dia celingukan mencari seseorang yang bisa ditanya.Sepi, mungkin karena dia datang di jam tidur siang. Padahal biasanya i
Read more
32. JALAN TERBAIK
Gagal membawa Reni bersama, Fiani minta Arsa buru-buru melajukan kendaraan ke indekos miliknya. Ya, Fiani menyewa satu kamar di daerah tempat Arsa mengontrak rumah. Dia berjanji pada dirinya sendiri, akan bekerja keras, dan menabung supaya bisa segera mengambil hak asuh.Fiani merasa sangat bersalah telah membuat Reni berada di situasi itu. Bocah yang harusnya sudah memasuki sekolah PAUD, bebas bermain dengan teman sebaya, malah dikurung dalam rumah. Sekarang sudah agak mendingan sejak rutin berinteraksi dengan Fiani, banyak kosakata yang Reni kuasai. Namun, setelah ditinggal oleh Fiani, Reni pasti kembali sendiri.Kasihan sekali, beban sudah harus dipikul oleh bocah seusia Reni. Dalam sepi, Fiani merenungkan masa kecilnya sendiri. Dia memang kehilangan orang tua sejak kecil, tetapi tidak kehilangan masa kanak-kanaknya, sedangkan Reni? Cepat-cepat Fiani menggeleng, mengaburkan pikiran buruk. Lalu dia berdoa semoga Tuhan selalu menjaga Reni.Senja berganti
Read more
33. KABUR
Semakin coba melupakan peristiwa di depan swalayan, Fiani tambah gelisah. Dia berhasil menahan gemuruh di dada selama sebulan. Sempat ingin nekat datangi rumah Verry, tetapi ditahan Arsa.Fiani meluluh dengan janji Arsa – akan segera membawa Reni. Dari surat-surat yang memang sudah diajukan ke pengadilan, Fiani agak lega. Namun, pagi itu perasaannya tidak karuan. Nuraninya sebagai ibu menjerit. Apalah arti ibu jika dia diam melihat kejanggalan. Pengadilan boleh menentukan, tetapi hati seorang ibu sulit untuk menunggu.Pagi-pagi sekali usai mengepel lantai swalayan, dia menemui manager di sana. Izin bekerja setengah hari saja dengan alasan memiliki kepentingan.Pekerjaannya memang beda. Libur di akhir pekan tidak berlaku bagi karyawan swalayan. Tanggal merah pun tetap jalan. Kecuali, hari raya Aidil Fitri – swalayan akan memberikan libur pada seluruh karyawan selama dua hari. Fiani sendiri belum pernah merasai, sebab dia baru sebulan bekerja.“Aduh, maaf-maaf.” Fiani memunguti belanjaa
Read more
34. KEJANG-KEJANG
Brak!“Angkat tangan!” Seorang polisi menodongkan senjata api, tangan kirinya mengibas-ngibas. Kode agar tidak ada yang mengikuti masuk.Verry mengangkat kedua tangan. Cepat-cepat Fiani benahi pakaian dalam, dan mengenakan kembali kaosnya. Selesai Fiani berbenah, polisi mengizinkan kawanannya masuk – menangkap Verry di sana.“Brengsek!” Tangan Arsa yang hendak meninju ditahan oleh polisi.“Jangan menggunakan kekerasan, biarkan hukum yang berjalan, Mas,” kata seorang polisi.Arsa abaikan itu, dia berlari mendekati Fiani yang terisak di kamar. Badannya terasa dingin dan bergetar. Namun, Fiani terdiam dengan air mata terus mengalir. Pandangannya mendadak kosong.“Fi ... kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan? Fi ... jawab.” Arsa menepuk pipi Fiani.Beberapa detik kemudian, Fiani ambruk di pelukan Arsa.**Arsa membaringkan Fiani di kamar. Dia meletakkan bantal di kaki Fiani, agar aliran darahnya bisa kembali lanca
Read more
35. EKSPEKTASI
Tertangkapnya Verry menjadi satu harapan besar bagi Fiani. Setidaknya dia bukan seorang penguasa, ataupun orang yang memiliki pengaruh besar pada negara. Gampangnya dia tidak kebal hukum. Verry pasti akan tunduk pada jeratan pasal-pasal yang akan ditimpakan padanya.Fiani terus menyunggingkan senyum, bayangan wajah polos nan menggemaskan muncul di kepala. Dia ingin sekali menjawil dan menciumi pipi gembil Reni. Pagi-pagi, Fiani sudah menelepon sang menejer swalayan – izin sehari karena ada perlu mendesak. Beruntung beliau adalah rekan Arsa, sehingga tidak banyak bertanya A I U E O.Tin! Tin! Tin ... !Klakson panjang dari kendaraan di depan indekos, bikin dia geram. Namun, seketika ingat bahwa Ali akan datang menjemput dan menemani ke kantor polisi sebagai kuasa hukumnya.Cepat-cepat Fiani menyambar tas, dia berlari ke depan agar Ali menghentikan tindakan memalukan tersebut. Fiani tersenyum dengan menganggukkan kepala pada penghuni indekos lain. Pagi-pagi sudah bikin kebisingan di ar
Read more
36. LUPA RENCANA
Bahu Fiani bergetar, dia menyeka ujung mata. Meskipun hatinya terluka, dia masih punya malu untuk menangisi keadaan di dalam angkutan umum.Pikiran buntu bikin Fiani tidak bisa berpikir jernih. Kedatangannya ke rumah Darmi, bukan mendapat informasi, malah dapat luka lebam di sudut bibir kiri. Dia lupa siapa Tono dan Darmi.“Mbak ... Mbak ... Mbak ... hapenya bunyi dari tadi.” Seseorang yang duduk di sebelahnya sampai menepuk tangan Fiani.Fokusnya terganggu, sampai suara-suara berisik di angkot tidak menusuk rungunya. Pada panggilan ketiga, dia baru kembali di dunia nyata – kehidupan penuh halang rintang.“Ha ... kenapa, Bu?” tanya Fiani melongo. Semua penumpang menggeleng dengan senyum remeh. Mereka pikir, Fiani agak lola. Memang kepahitan hidup bisa mengguncang mental dan otak manusia. Oleh sebab itu, dukungan orang terdekat sangat diperlukan dalam melewati lika-liku hidup.“Itu, hapenya bunyi terus.”“Oh, iya, Bu, iya. Terima kasih ya, Bu.” Fiani mengangguk sedikit, lalu dia merogo
Read more
37. CEMAS
Sudah sepuluh hari berlalu, tetapi kasus hilangnya Reni belum terpecahkan. Polisi memang sempat memberikan informasi bahwa Reni diadopsi pasangan suami-istri. Namun, pemberitahuan tersebut mandek di sana. Setiap sore, Fiani ditemani Arsa dan Ali berkeliling. Dari bertanya dari satu orang ke yang lain, sampai menempel pamflet anak hilang – di dinding-dinding toko.Kamis sore itu, Fiani bersiap meninggalkan swalayan. Tugasnya sebagai karyawan tidak pernah diabaikan. Dia harus hidup dalam kenyataan. Meskipun patah hati kehilangan Reni, tetapi dia juga butuh uang untuk mencari dan menjalani kehidupan. Sebab, hidupnya adalah tanggungjawabnya sendiri.Rencana sudah disusun, dia akan kembali menemui Verry. Memohon atau jika perlu dia akan bersujud agar Verry mau buka mulut.Ting! Satu pesan masuk.Arsa [Sama Ali dulu ya, Fi. Aku nyusul telat. Soalnya tadi ada pekerjaan tambahan.]“Huf. Kalo ... aja punya keluarga.” Di saat-saat seperti itulah dadanya nyeri mengingat dirinya sebatang kara.Fi
Read more
38. TITIK TERANG
“Tina? Kenapa sama dia, Pak? Apakah kondisinya semakin buruk?” Air muka Fiani berubah menjadi cemas.Memang ada marah dan benci pada perempuan itu. Namun, menyaksikan kondisinya buruk, Fiani prihatin.Terlebih keluarga Jeni sama sekali tidak menjenguk. Pihak kepolisian sudah menghubungi, tetapi mereka justru mengatakan kalau Jeni bukan anggota keluarganya.Fiani paham. Mungkin orang tua Jeni masih merasakan sakit hati. Anak dirawat dengan penuh kasih sayang. Dibesarkan, dan di sekolahkan mati-matian, agar bisa menjadi orang berguna. Bukannya membalas jasa, ibaratnya Jeni malah melempari kotoran ke muka orang tua. Sayang sekali. Fiani yang sudah kehilangan orang tua saja menyesal karena belum bisa menjadi kebanggaan. Jeni malah menyia-nyiakan kesempatan.“Ibu Tina ingin bertemu dengan Bu Fiani. Bukankah yang beliau maksud adalah Ibu?”“Betul, Pak. Kalo begitu saya akan ke rumah sakit.”“Tidak perlu, Bu. Beliau sudah di sini. Mari, ikut saya.”Fiani bingung, dia menoleh ke Ali. Namun, A
Read more
39. SISA WAKTU
Hari berikutnya, Fiani mengurus berkas-berkas pembebasan Jeni. Dia melakukan semua sendiri. Di lembar terakhir, dia membubuhkan materai tempel 6000 Rupiah.Pukul sebelas, Fiani sudah izin pulang cepat. Dia berjanji dalam hati, tidak akan izin-izin lagi setelah urusan dengan Jeni selesai.Fiani naik ojek agar lebih cepat sampai. Semalaman dia sudah memikirkan langkahnya menangani Jeni. Meskipun awalnya agak sendu melihat perubahan sikap pada Jeni, tetapi Arsa kembali menyadarkan bahwa Jeni memang pernah berbuat salah.Dengan yakin, Fiani melangkah – masuk ke ruang kunjung. Fiani duduk di kursi kayu tanpa sandaran. Dia meletakkan map di meja. Beberapa detik kemudian, Jeni tiba.Wajahnya tampak berseri dengan senyum penuh arti. Rambutnya terurai di atas bahu. Lingkar hitam di matanya terlihat berkurang. Fiani ikut senang. Setidaknya jika hati Jeni bahagia, dia akan lebih mudah untuk dimintai keterangan.“Mbak Fia ke sini mau bebasin aku, ‘kan? Iya kan, Mbak?” Jeni menyalami Fiani, hendak
Read more
40. SEPERTI LEM
Orang tua macam apa yang tega menukar anak dengan uang. Tergiur nominal hingga lupa hakikatnya sebagai ayah. Akal Verry sudah terbalut oleh nafsu. Dia melupakan Kuasa Tuhan – yang telah menitipkan satu permata pelengkap hidupnya.Usai mendengar semua cerita dari Jeni, tubuh Fiani lunglai. Dia meluruh ke ubin. Kekuatannya lenyap oleh satu kabar saja.Sekarang, dia tidak tahu harus melakukan apa. Otaknya sulit diajak mencari jalan keluar. Terlebih, Reni sudah dibawa ke luar negara. Secara otomatis biaya yang diperlukan dalam misi pencarian anaknya tersebut akan lebih banyak.“Fi ... tarik napas dulu, tenang. Ini, kamu minum dulu.” Arsa mengulurkan gelas ke mulut Fiani.Jeni tertunduk setelah dua tamparan Arsa melayang ke wajahnya. Sudut bibir kirinya terluka sampai mengeluarkan darah segar. Ali tentu saja sibuk menghubungi orang-orang yang bisa diandalkan dalam pencarian Reni.“Tabunganku sudah habis, Sa. Aku nggak bisa mencari Reni sampai negeri Jiran sana. Sa ... apa aku menyerah aja?
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status