All Chapters of Terpaksa Akad: Chapter 31 - Chapter 40
60 Chapters
bab. 23 a
“Tambahkan lagi cabainya, Zi!” ucap Om Zuan sambil mengambilkan beberapa cabai dari kulkas.“Tapi, nanti Om Zuan kepedasan. Zi sudah banyak masukin cabai di bumbunya ini,” ucapku sambil mengulek bumbu yang sudah ku racik, beberapa butir bawang merah, bawang putih, dan beberapa cabe. “Aku memang suka pedas, sangat pedas.”Aku mendelik ke arah Om Zuan. “ Mulai kapan, Om? Aku bahkan tak pernah melihat Om Zuan mengambil sambal sedikit pun tiap kali makan.”“E, itu- aku mulai menyukai pedas sejak saat ini,” ucap Om Zuan sambil menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal.“Ini semua, Om?” tanyaku heran sambil menatap cabai di atas meja.“Iya.”Aku memasukkan ke dalam cobek, kembali mengulek bumbu dan menghaluskannya. Entah, Om Zuan kesambet apa, dia mau membantu Zi masak malam ini.“Zi, aku ingin berbicara kepadamu. Penting,.”Aku begitu terkejut ketika ada tangan melingkari tubuhku, sedangkan suara manja itu terdengar begitu indah di dekat telinga.“Hm,” jawabku sambil tersenyum. Aku memas
Read more
bab. 23b
“Pak Tejo, Pak Tejo...” teriakku.Pak Tejo dan simbokpun datang.“Pak, tolong antar Om Zuan ke rumah sakit!”“Tapi, Non.”“Buruan, Pak. Gak ada tapi-tapian. Ini darurat,” ucapku sambil menunjuk kunci mobil di atas meja.“Tejo gak bisa nyupir, Non,” ucap Simbok.Ya Allah Ya Robbi, kenapa anak buah Om Zuan payah sekali. Di sela rasa bingungku, ponsel Om Zuan berdering, Simbok dengan sigapnya mengambilkan benda tersebut dan memberikannya kepadaku, yang tengah duduk dengan memangku kepala Om Zuan.Tertulis nama “Mama” di layar pipih itu, aku tak mengindahkannya dan membiarkan panggilan itu berlalu begitu saja. Aku takut harus berbicara apa kepada Mama jika ia tahu kondisi Om Zuan sekarang.Kini aku meraih ponsel dalam sakuku, nama Rendra menjadi daftar pencarian, bergegas kutekan tombol hijau dalam panggilan tersebut.“Selamat malam, Nona Zi. Ada yang bisa saya bantu?”“Kesini sekarang, Ren! Om Zuan sedang sekarat.”Panggilan itu terputus dengan sepihak, sedangkan aku membawa tubuh Om Zu
Read more
bab. 24a
Om Zuan sudah dipindahkan ke kamar rawat, tangan kanannya terpasang jarum infus, sedangkan matanya belum saja membuka sejak saat di bawa ke sini.“Nona Zi silahkan istirahat dulu, biar saya yang menjaga tuan,” ucap Rendra yang dari tadi berdiri di belakangku. “Aku masih ingin menjaga Om Zuan, setidaknya aku ingin melihatnya tersadar lebih dulu,” ucapku dengan mata yang mengembun.“Ini sudah larut, Non. Tuan pasti tidak suka kalau Nona bergadang seperti ini, apalagi kalau nona Zi sampai sakit, pasti saya yang akan disalahkan oleh Tuan.”Rendra menyentuh bahuku, mempersilahkanku tidur di sofa sudut ruangan. Ruangan rumah sakit ini memang cukup besar, mungkin sama dengan kamar hotel berbintang, Ada 1 kamar pasien, dan satu sofa untuk keluarga yang menunggu. Di sini juga ada kamar mandi dan kulkasnya.“Tak apa, Ren. Aku masih ingin menunggu Om Zuan. Kamu saja yang istirahat. Jika Zi sudah lelah barulah kami yang menggantikan.”“Baik, Non.”Terdengar suara langkah yang menjauh, hingga akh
Read more
bab. 24b
“Sabar, Zi! Kamu harus menata nafasmu,” ucapku sambil memegang dada yang naik turun tak karuan.“Semoga Om Zuan tak menyadari apa yang kulakukan tadi!” Setelah deru nafasku mulai normal, aku berjalan seakan tak terjadi apa-apa. Sedangkan mata Om Zuan terus saja menatapku tanpa menoleh ke arah lain sedikitpun. “Om Zuan sudah sadar?” tanyaku basa-basi.“Kamu ngapain ke kamar kecil, Zi? Kenapa tidak ada keran yang menyala? Aku juga mendengar suaramu di sana. Kamu sedang berbicara dengan siapa?” “E ... Itu, Om.” Aku menggigit bibir bawahku sambil memutar otak dengan alasan yang masuk akal.“Om salah dengar saja, Zi hanya merapikan baju Zi saja.”“Katanya kebelet pipis?“Gak jadi, Om. Sudah Om istirahat lagi. Kata dokter harus banyak istirahat.”Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.Dua bola mata Om Zuan tampak menatap jam dinding yang menempel di ruangan, entah ia memikirkan apa, sorot matanya terlihat kosong.“Om, tadi Mama telepon,” ucapku sambil meraih ponsel disakuku.“Kamu bilang a
Read more
bab. 25a
“Zi.”Terdengar teriakan dari Om Zuan.“Bentar, Om.”Aku bergegas ke luar masih dengan rambut yang acak-acakan. “Ada apa, Om?”“Kenapa mandi lama sekali? Bukankah aku sudah berpesan jangan kelamaan?”Aku melihat jam yang menempel di dinding atas.“Lama dari mana, Om? Aku mandi hanya lima menit.”“Sudah jangan protes. Sini temani aku duduk di sini,” ucap Om Zuan sambil menunjuk kursi di sebelahnya.Aku menurut.Hening“Om ...”“Iya. Ada apa?”“Gak ada apa-apa.”Hening“Zi!”“Iya, Om.”HeningKenapa situasi mendadak tegang seperti ini. Ayolah Zi, ini bukan seperti kamu. “Om, kenapa gak pernah cerita kepada Zi kalau Om menderita penyakit lambung?”Aku mencoba angkat bicara, melepas situasi yang mendadak tegang.“Kata siapa, Zi? Aku hanya belum terbiasa makan pedas. Mungkin nanti malam juga sudah pulang ke rumah.”“Jangan bohongin Zi, Om! Zi gak suka. Terus kenapa Om harus konsumsi obat tiap hari?”“Kamu hanya salah dengar.”“Hah, susah bicara sama kamu, Om.”“Memangnya kamu peduli jika
Read more
bab. 25b
Aku memapah Om Zuan untuk ke kamar mandi, merangkul tubuhnya serta membawa kantung infusnya. Ia berjalan perlahan, sambil meringis menahan pipisnya.“Kenapa pintunya tidak di tutup, Om?” tanyaku dari balik pintu. Mengalihkan pandangan ke ruangan kamar ini.“Kalau di tutup yang ada selang infusnya macet, Zi.” Terdengar jawaban dari dalam.Benar juga kata Om Zuan. Aku kan berdiri di luar dengan membawa kantung infusnya.“Apa kamu mau masuk juga? Biar pintunya bisa ditutup?”“Om, kenapa kamu mendadak mesum?”“Mesuman mana sama yang mau menciumku tadi?”Aku terperanjat, bergegas aku menarik tubuhku menjauh dari daun pintu, menata nafasku yang tak karuan. Apakah Om Zuan tahu apa yang sedang kulakukan tadi? Bodoh kamu, Zi! Aku menutup wajah dengan telapak tangan, aku yakin sekarang wajahku yang justru berubah menjadi merah.“Au, sakit, Zi!” teriak Om Zuan.Aku bergegas masuk, mendapati Om Zuan yang meringis kesakitan, dengan menatap punggung tangannya yang berdarah. Jarum infus itu terlepas
Read more
bab. 26a
“Zi.”Terdengar suara lirih Om Zuan, di mana wajahnya mendekati wajahku. Ya Allah Ya Robbi, apa yang akan dilakukan Om Zuan kepadaku? Wajahnya terus mendekat, membuat jantungku berdetak tak karuan. “Selamat pagi.”Terdengar salam serta suara pintu yang terbuka. Seorang lelaki berseragam putih itu datang dengan melempar senyuman. Sontak kami menjauh satu sama lain.“Selamat siang , Pak Zuan. Bagaimana kabarnya hari ini?” “Alhamdulillah baik, Pak!”“Ada keluhan hari ini?” “Tidak, justru saya lebih baik dari biasanya.”Pak dokter terlihat tersenyum tipis, sedangkan perawat wanita di belakangnya memainkan pulpen yang dipegang ke atas kertas yang dibawanya .“Pak Dokter, bolehkah Zi bertanya?” tanyaku menatap lelaki berprofesi agung itu“Tentu, Nona Zi.”“Apa penyakit Om Zuan? Kenapa dia harus meminum obat tiap hari?” Lelaki itu sekilas menatap Om Zuan yang sedang duduk di tepi ranjang, terlihat ia memberikan sebuah kode kepada Pak Dokter.“Untuk penyakitnya, silahkan tanya Pak Zuan sa
Read more
bab. 26b
Tapi, kalau tidak untuk disentuh lantas buat apa Om memiliki banyak wanita? Atau jangan-jangan Om Zuan tak normal? Tidak, tidak, bukankah ia sebelumnya telah menikah dan istrinya sudah mengandung? Ah, Zi. Kenapa otakmu penuh tanya.Tak selang lama kendaraan ini berhenti, terparkir juga mobil sedan hitam milik Rendra. Ia juga ada di sini? Berarti Rendra juga tahu kalau Om Zuan punya banyak istri simpanan? Kenapa tidak pernah bercerita kepada Zi? “Bunga telah menunggu tuan dari tadi,” ucap Rendra ketika jendela mobil ini dibuka.Om Zuan mengangguk, memakai kaca mata hitamnya dan mulai turun.Benar kan firasat Zi. Om Zuan memang memiliki wanita simpanan. Om Zuan kurang sehat saja dibela-belain datang, apalagi perjalanan yang memakan banyak waktu.“Ayo, Zi. Kita turun,” ucap Om yang sudah berdiri menunggu di depan pintu mobil.Aku manut, meskipun hatiku terasa kacau balau. Wanita mana yang sanggup bertemu madunya?Seorang wanita berjilbab menyambut kami, ia memangku gadis kecil yang mung
Read more
bab. 27a
Kami duduk di atas ayunan, tepat di tengah Taman milik Panti ini. Panti yang dibesarkan Oleh Om Zuan dan almarhum Mbak Hanum. Merekalah donatur terbesar di tempat ini. Sedangkan Bunga, mereka temukan saat bayi, yang tergeletak begitu saja di depan pintu panti. Ternyata anak itu memiliki kondisi medis tertentu, ya ia memiliki penyakit kelainan pada salah satu sistem organ dalamnya. “Mama Zi. A’ ...”Bunga membuka mulutnya lebar dengan mata yang berbinar, menunggu suapan makanan dariku.Ia terlihat begitu bahagia.Beberapa hari ini ia mogok makan, hampir tiap malam mengigau dengan menyebut nama Om Zuan. Ia telah menganggap Om Zuan sebagai papanya, begitupun Om Zuan, sepetinya juga mencintai Bunga seperti anaknya sendiri.“Yeay. Anak Papa pinter, makanannya habis,” puji Om Zuan kepada gadis kecil itu.“Iya dong, Papa. Bunga ingin sehat. Bunga ingin menggapai cita-citanya Bunga.”“Cita-cita Bunga jadi apa? Kalau Mama Zi boleh tahu si.”“Jadi dokter, Ma. Biar Bunga bisa mengobati anak yan
Read more
bab. 27b
“Om. Jangan mendekat,” ucapku dengan menyilangkan kedua tanganku ke dada.“Kamu itu kenapa, Zi?” tanyanya keheranan.“Selamat siang Pak Zuan. Maaf saya datang terlambat.”Seorang lelaki paruh baya datang. Ia menatap kami berdua. Sepertinya aku pernah mengenal dia, tapi di mana? “Aku tidak ingin kamu melakukan kesalahan yang sama,” ucap Om Zuan yang terlihat dingin.“Ba-baik, Pak,” ucap lelaki tersebut dengan menunduk hormat. Kami berjalan bersama menuju hamparan sawah yang terlihat meluas, lelaki itu menunjuk ke salah satu lahan luas tersebut dan kami mengikuti petunjuk arahnya. “Sawah ini seluas 5 hektar, Pak. Dijual dengan harga miring karena beliau ingin segera mendapatkan uang tunai. Berita yang aku dengar anak dan istrinya kecelakaan , butuh banyak biaya untuk operasi.”“Berapa harganya?”“Mintanya tiga milyar, Padahal harga umumnya sampai lima milyar.”‘Tiga milyar?’ batinku bertanya. Entah seberapa banyak uang tersebut. Bagaimana Om bisa memiliki uang sebanyak itu? “Baiklah
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status