All Chapters of Terpaksa Akad: Chapter 21 - Chapter 30
60 Chapters
bab. 16
“Maaf ya, Om. Pinjam Zi bentar saja.”Aga menarik lenganku dan membawaku pergi begitu saja. Menaiki ruang berlapis baja dan Aga menekan tombol di dalamnya. Ketakutanku kembali menyeruak, aku benar-benar hendak terjatuh ketika benda ini terasa bergetar.“Kamu tak apa, Zi?” tanya Aga sambil memegang lenganku, memastikan aku baik-baik saja, dan memberikan aku kenyamanan tersendiri.Tak selang lama pintunya pun terbuka, aku bergegas melangkah untuk segera ke luar dari tempat menakutkan itu, jujur lebih baik aku memilih menaiki tangga dari pada memakai lift itu kembali.Aku kesalAku galauAku kacauAku cemburu karena kamuAku cintaTapi gengsiAku rinduIngin bertemu sama kamuCinta yang membuatku beginiCinta yang buatku lupa diriKau dimana kau beradaSaat aku membutuhkan dirimuKamu acuhkan dirikuBibirku bergerak ke atas dan ke bawah tanpa sadar, mengikuti lirik yang diucap Syahrini, musik membawaku ke dalam alunan melodi , Dua bola mataku menatap Syahrini dengan berbinar, rasanya sep
Read more
bab. 17 POV Zuan
POV ZuanDear Hanum, Maafkan aku, Sayang. Aku tak segera menyusulmu ke surga, menempatkan anak kita dalam pangkuanku, dan kita hidup kekal di dalamnya. Aku belum bisa –Jari jemariku terhenti, surat yang ku tulis untuk Hanum kembali terpotong sepeti biasanya. Ya, beberapa hari ini suratku tak pernah selesai, padahal sudah lebih dari dua tahun ini aku selalu menyelesaikan surat cinta untuk kekasihku Hanum, sekedar menyapa sebelum aku terlelap dengan mimpi.“Om, Zi lapar.” Wajah polos dengan ekspresi kelaparan itu selalu saja mengisi memoriku, Entah mulai kapan ia duduk di dalam syaraf otak dan selalu membayangiku.Aku membuka kembali layar laptop di depanku, barang peninggalan Hanum satu-satunya, hadiah ulang tahunku kala itu.“Happy Birthday, Sayang.” Wanita cantik berhati emas itu membangunkanku di tengah malam, tepat pukul 00 dini hari, dalam temaram lilin yang ia tancapkan di kue brownis itu, aku mengucap doa untuk selalu bersama, kupejamkan mata dan membayangkan wajah Hanum yang
Read more
bab.18
“Bapak mau apa?” tanyaku khawatir ketika ia memintaku turun dan menarikku ke semak-semak.“Sudahlah, Ning. Nurut saja!”“Gak mau, Pak! Zi gak mau ikut bapak. Tubuh Zi akan gatal-gatal kalau melewati ilalang yang meninggi itu,” ucapku sambil menatap semak dalam kegelapan.“Justru bagus, Ning. Kalau gatal nanti bapak garukkan!”Aku terkejut ketika lelaki itu menarik dan menggendong tubuhku, dibawanya aku ke dalam ilalang yang meninggi tanpa tahu arah ia membawaku. Aku begitu takut, beberapa kali ku sebut nama Om Zuan namun ia tak pernah datang.“Lepaskan pakaianmu, Ning! Kita akan bercinta di bawah temaram cahaya rembulan.”“Tidak, Pak. Sadar, Pak. Ini itu dosa.”“Ya sudah kalau dengan cara lembut kamu tak mau, biar dengan caraku saja.”Sekuat tenaga ia menarikku, merengkuh dalam pelukannya, dan berusaha melepas pakaian yang ku kenakan. “Lepas, Pak. Jangan lepas pakaiannya Zi!” ucapku sambil mencoba melepas genggamannya yang kuat.Aku mendorong tubuh paruh baya itu.Sreekk ...Pakaian
Read more
bab. 19
“Zi mana punya uang, Om! Kalau punya gak mungkin Zi kelaparan kayak tadi,” ucapku setengah berbisik di dekat telinga Om Zuan.“Apa bisa bayar pakai kartu ini?” tanya Om Zuan sambil mengambil kartu berwarna biru yang bertuliskan salah satu bank swasta.“Maaf, Pak. Ini rumah makan kecil, hanya menerima uang cash.”Wajah Om Zuan terlihat semakin panik, dirogohnya saku celana dan mengambil ponsel miliknya.Tit ... Tit ...Layar yang disentuh Om Zuan kembali padam.“Hah, sial. Kenapa saat seperti ini harus mati?” ucap Om Zuan di depan ponselnya. Sungguh aneh lelaki itu, berbicara dengan benda mati.“Pak, apa boleh saya bayar pakai jam saya? Atau saya tinggalin identitas saya. Besok saya bayar lunas uangnya,” ucap Om Zuan sambil menunjukkan jam mewah yang melingkari lengannya.“Maaf, Pak. Hanya menerima uang cash. Besok saya juga sudah tidak jualan, karena mau pulang kampung. Jadi identitas bapak bakal tertahan lama sama saya.”“Hah.” Om Zuan mengacak rambutnya frustasi.“Kalau bapak gak p
Read more
bab. 20
Om Zuan kini menatap spedometer mobilnya. “Sial. Kenapa harus kehabisan bahan bakar?” tanya lelaki itu sambil mengacak rambutnya.“Ya Allah, Om! Cobaan apalagi ini? Apa om Zuan sudah bangkrut dan tak kuat beli bahan bakar? Zi tak apa kalau melepas kuliah Zi. Di sana memang biayanya mahal, Om! Zi minta maaf, bahkan untuk beli bahan bakar maupun beli makanan om tak sanggup.”“Diam kamu, Zi!”“Tapi Zi merasa bersalah, Om! Semua gara-gara, Zi! Om –““Hentikan. Atau kamu ku tinggal di sini sendirian.”“Bagaimana Om Zuan ninggalin, Zi! Om saja tak punya uang.”“Hah, Sial!”Kami ke luar dari mobil. Berharap ada kendaraan yang melewati jalan ini untuk kami tumpangi. Tapi lagi-lagi apes masih menyelimuti. Jalan sepi, tak ada siapapun yang lewat selain angin sepoi yang terus menyapa. Aku melirik jarum jam yang melingkar di lengan Om Zuan, waktu telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Pantas saja aku terus saja menguap. Kantukku benar-benar tak tertahan.“Om. Apa gak sebaiknya kita istirahat di si
Read more
bab. 20 b
Fokus mata Om Zuan kini menjelajahi tubuhku.“Kamu tak ingin aku ke neraka, Zi?” tanya lelaki itu yang menatapku tajam. Pandangannya kini menerobos ke indraku, seakan mencari tahu ke dalamannya di sana.“Iya, Om!”“Kenapa?”“Karena Om Zuan adalah suamiku. Aku tak ingin imamku ke neraka.”“Jika aku ke surga apa kamu tak keberatan. Hanum telah menungguku di sana, tak mungkin juga aku mengabaikannya.”Lelaki itu tersenyum penuh arti. Yang aku sendiri tak mampu memahaminya. Aku terhenyak. Jujur sakit mendengarnya. Namun bagaimanapun aku tak boleh terbawa alur perasaan kepadanya. Sesuai kesepakatan awal tak ada cinta di dalam rumah tangga ini.“Aku tak keberatan. Bagiku kebahagiaan Om Zuan sudah cukup untukku.”Aku menahan sesak dalam hatiku, Zi yang terlihat ceria dan selalu baik-baik saja, ternyata turut merasakan sakit ketika hatinya tergores.“Baiklah, aku tak ingin terseret ke neraka. Ingat, aku berangkat kerja bukan karena kamu, melainkan karena Hanum telah menungguku.”Aku menganggu
Read more
baby 21a
Aku menatap Zi yang matanya begitu berbinar, berbeda sekali saat denganku yang selalu terlihat ketakutan, senyumnya mengembang sempurna begitu indah. Gadis kecil itu memang terlihat begitu menarik kala tersenyum. Sakit? Kenapa aku merasakan sakit melihat keadaan Zi seperti ini? Bukankah aku harus senang melihatnya bisa bahagia? Aliran darahku mengalir begitu cepat. Kurasakan panas dalam ubun-ubunku sepeti gunung yang ingin meledak, tanganku kini mengepal mencoba bertahan dengan rasa yang semakin menyiksaku. Ya. Melihat Zi tersenyum bahagia di pelukan orang lain, benar-benar membuatku tak nyaman. Harusnya aku lah yang membuatnya bahagia, bukan lelaki ingusan itu. Rasanya aku begitu menyesal telah menghadiri acara bakti sosial ini, harusnya aku tak mengindahkan pemberitahuan dan undangan. Walaupun aku adalah salah satu donatur kampus, harusnya aku lebih memilih mentransfer saja uangnya, dan tidak melihat pemandangan yang membuat emosiku kini labil. Zi terlihat melepaskan pelukannya, d
Read more
bab. 21b
Aku benar-benar tak percaya dengan kalimat yang baru saja keluar dari bibir Zi, apakah ini puncak dari rasa lelahnya?“Kenapa kamu tanya sepeti itu?”Aku mencoba menjawab setenang mungkin. Meskipun hatiku kini terasa begitu mendidih.“Apa karena lelaki yang tadi pagi memelukmu?” tanyaku. Zi tak menjawab. Hanya membalasnya dengan senyuman yang mengartikan ya.“Di tanya itu jawab, Zi! “Ma-maaf, Om,” ucapnya terbata.“Berikan aku waktu 5 sampai 6 bulan. Setelah itu kamu bisa pergi sesuka hatimu, bahkan untuk menjalin hubungan dengan lelaki di kampusmu itupun terserah.”“Apa tidak terlalu lama, Om?”“ZI!”“Ma-maaf, Om!”“Baiklah satu bulan dari hari ini. Setelah itu kamu bebas mau apa saja. Tapi selama sebulan ini, aku tak ingin kamu dekat dengan lelaki itu.”“Maksudnya Aga, Om? Tapi –““Tak ada tapi, Zi! Ingat pesanku itu, jangan dekat dengan Aga ataupun lelaki lainnya. Oh ya, mulai besok kembali siapkan kopi panas untuk sarapanku, kembali buang menu susu saat sarapan.”Aku berdiri dan
Read more
bab. 22a
Belum sempat aku menghampiri tubuh Om Zuan, kini pak rektor datang dan membawa Om Zuan pergi.“Zi, kenapa kamu bengong?” tanya Aga sambil menatapku. Aku melirik ke arah Tama, lagi-lagi ucapannya tempo lalu membuat ku merasa iba kepada Aga.“Aga kena kanker, Zi. Hidupnya di vonis dokter sudah tak lama lagi. Apalagi Aga seperti kehilangan semangat untuk hidup. Ia bahkan menolak semua pengobatan. Hanya kamu yang mampu membuat Aga semangat, bahkan aku kembali melihat sorotan binar dari mata Aga ketika menatapmu. Bantulah Aga untuk sembuh, setidaknya berikan ia kebahagiaan di waktu-waktu akhirnya.”Ucapan Tama saat itu benar-benar mengusikku. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Aga yang terlihat terlalu ceria dan tersenyum itu ternyata memiliki kondisi kesehatan yang begitu memprihatinkan.“Zi, kamu mendengar suaraku kan?” tanya Aga sambil menggoyangkan bahuku“I-iya, Ga. Maaf.”“Seperti yang aku ucap tadi, aku tak ingin mendengar jawabanmu, Zi! Aku tak ingin mendengar penolakan mu. Aku h
Read more
bab. 22b
“Bahan makanannya habis, Om.” Aku menggigit bibir bawahku, sedangkan mataku kupejamkan, takut melihat ekspresi marah lelaki di depanku.Aku kembali membuka mata, ketika kudengar suara tawa dari lelaki di depanku ini. Ia terkekeh bahkan sampai keluar air bening di sudut matanya. Sungguh terasa begitu aneh.“Ayo belanja. Aku antar,” ucap Om Zuan sambil merapikan jas nya.“Tapi, Om!”Aku masih ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.Tanpa basa-basi lelaki itu menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya, memasangkan sabuk pengaman seperti biasanya dan ...Tatapan mata kami saling bertemu dengan jarak yang sangat dekat, deruan nafas Om Zuan benar-benar terasa hangat menghampiri wajahku, ditambah dengan aroma nafas yang terasa di indraku. Jantungku kembali berdesir dengan hebat, kenapa kamu terus saja membuat Zi jatuh cinta, Om? Maafkan Zi yang sepetinya tak ingin jauh dari Om Zuan, “Ma-maaf, Zi!” ucap Om Zuan dan kembali duduk di tempatnya.Benarkah aku t
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status