All Chapters of DOSA TERINDAH: Chapter 31 - Chapter 40
476 Chapters
Bab 31
“Jangan nolak. Kamu juga lagi kepalaran tuh. Ganti baju sana, kita nyari makan. Oiya, pakai bajunya yang sopan ya, jangan yang tipis seperti itu,” ucapnya sambil membalikkan badannya membelakangiku.Aku terkejut menatap diriku sendiri.Brukk!! Spontan aku menutup pintu dengan kasar ketika menyadari bagaimana penampilanku saat ini. Arrgghh! Bisa-bisanya aku mengobrol dengannya dengan balutan piyama berbahan tipis seperti ini. Buru-buru aku berlari menuju kamarku lalu mengganti pakaianku dan mengurai kembali rambutku. Kuhela napas panjang sebelum kembali membuka pintu, semoga pria itu tak lagi membahas penampilan memalukanku tadi.Ivan masih berdiri menghadap ke taman kecil di depan rumah, membelakangi pintu.“Sudah bener belum bajunya?” tanyanya masih memunggungiku.Plakk!! Kuayunkan tas tanganku memukul punggungnya. Ia terkekeh, kemudian membalikkan tubuhnya.“Nah ini baru bener.”“Jangan dibahas!”“Oke oke. Jadi kita makan di mana?”“Terserah kamu, asal jangan jauh-jauh dari sini bi
Read more
Bab 32
Pagi ini aku kembali aktif di butik setelah beberapa hari hanya memantau lewat chat di grup WA yang beranggotakan karyawan butik Ayya. Iin langsung menyapaku dengan ekspresi senangnya saat aku membuka depan butik yang terbuat dari kaca.“Sepi banget butik beberapa hari ini, Mbak.”“Enggak apa, In. Rejeki kan sudah ada yang atur. Nanti kita coba promosi lebih giat lagi,” ucapku menanggapi.“Bukan itu, Mbak. Kalau pelanggan ini alhamdulillah ramai. Laporannya juga sudah saya kirim di grup WA kan? Bahkan etalase sebelah sana hanya sudah nyaris kosong, hanya tinggal terisi beberapa koleksi aja.”“Alhamdulillah kalau begitu, In. Lah, terus maksud kamu tadi apa?”“Maksud saya beberapa hari ini butik terasa sepi enggak ada Mbak Aya.”Aku tertawa.“Oiya, Mbak. Kemarin ada tamu yang antarin undangan. Saya letakkan di atas meja Mbak Aya.”“Tamu? Siapa In? Undangan apa?”“Katanya teman Mbak Aya. Orangnya cantik banget kayak artis. Kalau nggak salah namanya Bella.”Bella? Aku menautkan alis. Meng
Read more
Bab 33
“Kenapa ke sini? Tau dari mana alamat butikku?” tanyaku gugup. Tak percaya pria yang tadi hanya ada di lamunanku kini sedang berdiri di hadapanku.“Tadi nanya sama Adam alamat butikmu.”“Hahhh???” pekikku.“Kamu kenapa, Ay? Ngagetin aja!”“Minta alamat butikku sama Mas Adam? Untuk alasan apa? Terus dia bilang apa?”“Untuk alasan mau ngajak kamu makan siang dan Adam tak nanya apapun lagi.”“Hahh? Kamu udah gila?”Ia tergelak.“Kenapa sepanik itu sih, Ay?”“Aku serius, Van.” Mataku mulai berembun. Aku sendiri tak mengerti kenapa mataku jadi berkabut.“Eh, kok nangis, Ay. Aku bercanda tadi. Iya aku nanya Adam alamat butikmu, tadi alasannya aku mau nengok kamu dan nanyain keadaan kakimu. Maaf, Aya. Jangan nangis.” Ia terlihat panik.Tatapan Iin dan karyawanku yang lain membuatku merasa tak nyaman sekaligus merasa malu. Bisa-bisanya aku menangis seperti ini untuk sesuatu yang tak jelas, bahkan aku sendiri tak tau kenapa aku rasanya ingin menangis. Sehingga aku menurut saja ketika Ivan meng
Read more
Bab 34
Aku mengangguk. Malu. Ya, malu sekali rasanya. Kenapa aku jadi seperti ini di hadapannya? Padahal dia bukan siapa-siapa. Lalu kemudian hanya kata maaf yang kuucapkan berkali-kali padanya, karena aku sendiri bingung harus berkata apa.“Jangan turun dulu, ya. Di luar gerimis,” ucapnya saat aku hendak membuka pintu mobilnya. Tak baik bagi hatiku terlalu lama berada di dalam mobilnya dan hanya berdua dengannya.Ia menoleh ke belakang, meraih jaket yang masih berbungkus plastik berlogo laundry yang tergeletak di jok belakang mobilnya. Lalu membuka pintu mobil di sampingnya. Tak lama kemudian pria itu sudah membuka pintu mobil di sebelahku.“Turun, Ay. Pelan-pelan saja. Hati-hati kakimu.”Pria itu menungguku turun. Jaket yang diambilnya di jok belakang tadi dibentangkannya untuk menutupi kepalaku, menghindarkanku dari terpaan gerimis. Lalu kami berdua berjalan ke arah coffeshop dengan dipayungi jaketnya. Aroma parfum laundy dari jaketnya berbaur dengan aroma parfum pria itu membuat jantungk
Read more
Bab 35
Lalu kembali meraihnya saat benda itu berbunyi. Pesan dari Bella.[Jangan lupa datang di peragaan busana ya, Aya. Ajakin Mas Adam juga.][InsyaAllah, Bel. Aku nggak berani janji. Mas Adam juga masih di luar kota.]Sunyi. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak ajakan makan siang Ivan di Twin kemarin, aku sudah tak pernah lagi bertemu dengannya. Ucapan Imelda saat itu membuatku meminta Ivan agar tak lagi menemuiku, tak lagi datang ke rumah atau pun ke butik.“Orang awam kalau lihat kalian kayak tadi pasti mengira kalian ada hubungan, Ay. Aku juga tadi mikirnya kalian ada hubungan khusus. Habisnya kalian terlihat romantis banget.”Begitu kata Imelda kala itu. Dan aku bukan tak menyadari hal itu. Maka saat Ivan mengantarku pulang kembali ke butik. Aku memintanya untuk tak lagi menemuiku. Ia protes namun aku memberikan alasan yang membuatnya mengangguk setuju.“Ini tak baik, Van. Aku takut orang berpikiran macam-macam.”“Kenapa harus peduli apa kata orang, Ay.”“Kamu boleh tak peduli, Van.
Read more
Bab 36
Mataku belum bisa terpejam ketika bel depan berbunyi. Aku melirik jam di atas nakas, hampir pukul 12 tengah malam. Pikiranku langsung menuduh satu nama yang sedari tadi memang terus menari-nari di kepalaku. Buru-buru kuganti baju tidurku lalu merapikan rambutku. Aku harus memberi peringatan keras pada Ivan jika dia benar-benar nekat datang tengah malam begini. Namun aku terkejut ketika membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di sana, mengucap salam lalu langsung masuk menyeret trolley bag. Mas Adam.“Kok tengah malam tibanya, Mas? Penerbangan jam berapa?” tanyaku setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya.Tak ada balasan apapun darinya, jangan berharap dia mencium keningku. “Penerbangan sore. Tadi tibanya pas magrib tapi nemanin Nindya dulu di apartemennya. Pintu apartemennya rusak dan tukang kuncinya lama baru datang. Nindya minta ditemanin, dia takut sendirian sementara pintunya rusak.”Dia takut sendirian.Sementara ia tak pernah menanyakan apa aku takut sendiri
Read more
Bab 37
“Sudah, Ma. Aya sudah periksa ke dokter dan kata dokter enggak ada masalah, mungkin memang belum saatnya,” jawabku lirih, merasa bersalah belum bisa memberi berita bahagia kepada mereka berdua.“Adam nya sendiri gimana, Nak?”Aku melirik Mas Adam yang tengah bermain catur di teras dengan papa.“Mas Adam belum periksa, Ma.”“Loh, jadi Aya ke dokter sendirian?”“Iya, Ma.”“Bukan gitu konsepnya, Nak. Harusnya kalian berdua periksa, biar jelas dan dokter juga bisa memberikan solusi kalau ada salah satu di antara kalian yang punya masalah.”“Iya, Ma. Nanti Aya ajakin Mas Adam lagi periksa ke dokter berdua. Kemarin-kemarin Mas Adam bilang nggak bisa ikut karena padatnya pekerjaannya.”Kudengar mama mendengkus kesal. “Dia memang selalu begitu, Aya. Padahal dulu selalu bilang pengen segera punya anak biar mama dan papa nggak nganggap dia anak kecil lagi. Makanya dulu buru-buru minta tunangan sama Bella.”Aku melirik mama, membahas soal Bella mengingatkanku pada undangan yang diberikannya wakt
Read more
Bab 38
“Tapi, Pa. Adam justru kagum pada wanita-wanita yang berkarir bagus dan berwawasan luas seperti mama.” Suara Mas Adam.“Itu karena kamu mengagumi mamamu, Nak. Dari kecil Adam sudah menyaksikan bagaimana mama berpenampilan cantik dengan setelan baju-baju kerjanya tapi juga masih mencurahkan kasih sayangnya padamu. Namun jika kamu mengalaminya sendiri, kamu pasti akan merasakan seperti apa yang papa rasakan. Tak tega melihat istri yang kita sayangi keletihan. Kita ini laki-laki, Dam. Tetap ada tuntutan untuk dilayani istri meski dia sedang kelelahan. Maka suara hati akan selalu tarik menarik antara ego dan rasa kasihan.”Hening sejenak.“Papa memilihkan Cahaya untukmu karena Papa ingin kamu, putra papa satu-satunya tak mengalami hal itu. Papa ingin kamu merasakan kebahagiaanmu saat pulang ke rumah dalam keadaan letih dan istrimu sudah menantikanmu dan menyiapkan semua kebutuhanmu dengan bahagia, bukan dengan guratan lelah dan senyuman yang justru membuatmu merasa iba. Bukankah itu sanga
Read more
Bab 39
“Kenapa nggak dijawab? Kamu mau pura-pura tuli?”Aku menoleh lagi. Kesal!“Aku harus jawab apa, Mas? Percuma! Bukankah aku selalu salah di matamu? Apa yang salah dengan isi pesanku waktu itu? Aku hanya menanyakan kenapa Mas Adam nggak bisa kasi perhatian sedikit saja padaku, pada istrimu.”“Sejak kapan kamu jadi sok manja gini, Cahaya Kirana?” Ia memberiku tatapan tajam sesaat sebelum kembali berkonsentrasi menyetir.“Sejak aku tau kalau kamu lebih perhatian pada orang lain dibanding istrimu sendiri.”“Apa maksudmu?”Jangan biarkan orang lain membunuh karakter aslimu, meski itu adalah orang dekatmu sendiri. Aku tau, dibalik semua kesdihan dan air matamu, kamu masih Cahaya Kirana yang dulu, yang selalu aktif dan percaya diri.Kalimat dari seseorang kembali terngiang di telingaku. Aku harus mengatakan ini, meski aku tau Mas Adam akan marah.“Kamu lebih memilih menyelamatkan orang lain dari pada aku. Kamu tak peduli bagaimana aku bisa pulang setelah kakiku cidera. Kamu lebih memilih meng
Read more
Bab 40
“Aku ingin ketemu dengannya, Ay. Tadi aku sudah kirim pesan nanya dia di mana tapi dia nggak bales. Kamu WA dong, dia pasti bales deh kalau kamu yang nanya.”Aku pun mengirim pesan pada Ivan setelah Imelda mendesak bahkan memohon.[Kamu di mana?]Tak perlu menunggu lama, ia membalas pesanku. Imelda mendengkus kasar ketika tahu Ivan langsung membalas pesanku.[Di House of Coffee, Ay. Mau ke sini?]Kuperlihatkan isi pesan Ivan pada Imelda. Gadis itu kemudian memohon setengah memaksa agar aku menemaninya ke sana. Akhirnya kukirim pesan pada Mas Adam untuk meminta izin.[Mas, ada temanku ke rumah. Namanya Imelda. Dia minta aku temanin ke kafe. Boleh?]Aku sengaja tak menyebut House of Coffee.[Terserah kamu. Jangan pulang terlalu malam.]Hanya seperti itu balasannya.🍁🍁🍁“Kalian duduk di sana aja, ya.” Ivan menunjuk salah satu sudut kafenya saat menyambutku dan Imelda. Sebelumnya tadi aku sudah membalas pesannya bahwa aku akan datang ke sini dengan Imel.Aku dan Imelda mengikuti langka
Read more
PREV
123456
...
48
DMCA.com Protection Status