Lalu kembali meraihnya saat benda itu berbunyi. Pesan dari Bella.[Jangan lupa datang di peragaan busana ya, Aya. Ajakin Mas Adam juga.][InsyaAllah, Bel. Aku nggak berani janji. Mas Adam juga masih di luar kota.]Sunyi. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak ajakan makan siang Ivan di Twin kemarin, aku sudah tak pernah lagi bertemu dengannya. Ucapan Imelda saat itu membuatku meminta Ivan agar tak lagi menemuiku, tak lagi datang ke rumah atau pun ke butik.“Orang awam kalau lihat kalian kayak tadi pasti mengira kalian ada hubungan, Ay. Aku juga tadi mikirnya kalian ada hubungan khusus. Habisnya kalian terlihat romantis banget.”Begitu kata Imelda kala itu. Dan aku bukan tak menyadari hal itu. Maka saat Ivan mengantarku pulang kembali ke butik. Aku memintanya untuk tak lagi menemuiku. Ia protes namun aku memberikan alasan yang membuatnya mengangguk setuju.“Ini tak baik, Van. Aku takut orang berpikiran macam-macam.”“Kenapa harus peduli apa kata orang, Ay.”“Kamu boleh tak peduli, Van.
Mataku belum bisa terpejam ketika bel depan berbunyi. Aku melirik jam di atas nakas, hampir pukul 12 tengah malam. Pikiranku langsung menuduh satu nama yang sedari tadi memang terus menari-nari di kepalaku. Buru-buru kuganti baju tidurku lalu merapikan rambutku. Aku harus memberi peringatan keras pada Ivan jika dia benar-benar nekat datang tengah malam begini. Namun aku terkejut ketika membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di sana, mengucap salam lalu langsung masuk menyeret trolley bag. Mas Adam.“Kok tengah malam tibanya, Mas? Penerbangan jam berapa?” tanyaku setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya.Tak ada balasan apapun darinya, jangan berharap dia mencium keningku. “Penerbangan sore. Tadi tibanya pas magrib tapi nemanin Nindya dulu di apartemennya. Pintu apartemennya rusak dan tukang kuncinya lama baru datang. Nindya minta ditemanin, dia takut sendirian sementara pintunya rusak.”Dia takut sendirian.Sementara ia tak pernah menanyakan apa aku takut sendiri
“Sudah, Ma. Aya sudah periksa ke dokter dan kata dokter enggak ada masalah, mungkin memang belum saatnya,” jawabku lirih, merasa bersalah belum bisa memberi berita bahagia kepada mereka berdua.“Adam nya sendiri gimana, Nak?”Aku melirik Mas Adam yang tengah bermain catur di teras dengan papa.“Mas Adam belum periksa, Ma.”“Loh, jadi Aya ke dokter sendirian?”“Iya, Ma.”“Bukan gitu konsepnya, Nak. Harusnya kalian berdua periksa, biar jelas dan dokter juga bisa memberikan solusi kalau ada salah satu di antara kalian yang punya masalah.”“Iya, Ma. Nanti Aya ajakin Mas Adam lagi periksa ke dokter berdua. Kemarin-kemarin Mas Adam bilang nggak bisa ikut karena padatnya pekerjaannya.”Kudengar mama mendengkus kesal. “Dia memang selalu begitu, Aya. Padahal dulu selalu bilang pengen segera punya anak biar mama dan papa nggak nganggap dia anak kecil lagi. Makanya dulu buru-buru minta tunangan sama Bella.”Aku melirik mama, membahas soal Bella mengingatkanku pada undangan yang diberikannya wakt
“Tapi, Pa. Adam justru kagum pada wanita-wanita yang berkarir bagus dan berwawasan luas seperti mama.” Suara Mas Adam.“Itu karena kamu mengagumi mamamu, Nak. Dari kecil Adam sudah menyaksikan bagaimana mama berpenampilan cantik dengan setelan baju-baju kerjanya tapi juga masih mencurahkan kasih sayangnya padamu. Namun jika kamu mengalaminya sendiri, kamu pasti akan merasakan seperti apa yang papa rasakan. Tak tega melihat istri yang kita sayangi keletihan. Kita ini laki-laki, Dam. Tetap ada tuntutan untuk dilayani istri meski dia sedang kelelahan. Maka suara hati akan selalu tarik menarik antara ego dan rasa kasihan.”Hening sejenak.“Papa memilihkan Cahaya untukmu karena Papa ingin kamu, putra papa satu-satunya tak mengalami hal itu. Papa ingin kamu merasakan kebahagiaanmu saat pulang ke rumah dalam keadaan letih dan istrimu sudah menantikanmu dan menyiapkan semua kebutuhanmu dengan bahagia, bukan dengan guratan lelah dan senyuman yang justru membuatmu merasa iba. Bukankah itu sanga
“Kenapa nggak dijawab? Kamu mau pura-pura tuli?”Aku menoleh lagi. Kesal!“Aku harus jawab apa, Mas? Percuma! Bukankah aku selalu salah di matamu? Apa yang salah dengan isi pesanku waktu itu? Aku hanya menanyakan kenapa Mas Adam nggak bisa kasi perhatian sedikit saja padaku, pada istrimu.”“Sejak kapan kamu jadi sok manja gini, Cahaya Kirana?” Ia memberiku tatapan tajam sesaat sebelum kembali berkonsentrasi menyetir.“Sejak aku tau kalau kamu lebih perhatian pada orang lain dibanding istrimu sendiri.”“Apa maksudmu?”Jangan biarkan orang lain membunuh karakter aslimu, meski itu adalah orang dekatmu sendiri. Aku tau, dibalik semua kesdihan dan air matamu, kamu masih Cahaya Kirana yang dulu, yang selalu aktif dan percaya diri.Kalimat dari seseorang kembali terngiang di telingaku. Aku harus mengatakan ini, meski aku tau Mas Adam akan marah.“Kamu lebih memilih menyelamatkan orang lain dari pada aku. Kamu tak peduli bagaimana aku bisa pulang setelah kakiku cidera. Kamu lebih memilih meng
“Aku ingin ketemu dengannya, Ay. Tadi aku sudah kirim pesan nanya dia di mana tapi dia nggak bales. Kamu WA dong, dia pasti bales deh kalau kamu yang nanya.”Aku pun mengirim pesan pada Ivan setelah Imelda mendesak bahkan memohon.[Kamu di mana?]Tak perlu menunggu lama, ia membalas pesanku. Imelda mendengkus kasar ketika tahu Ivan langsung membalas pesanku.[Di House of Coffee, Ay. Mau ke sini?]Kuperlihatkan isi pesan Ivan pada Imelda. Gadis itu kemudian memohon setengah memaksa agar aku menemaninya ke sana. Akhirnya kukirim pesan pada Mas Adam untuk meminta izin.[Mas, ada temanku ke rumah. Namanya Imelda. Dia minta aku temanin ke kafe. Boleh?]Aku sengaja tak menyebut House of Coffee.[Terserah kamu. Jangan pulang terlalu malam.]Hanya seperti itu balasannya.🍁🍁🍁“Kalian duduk di sana aja, ya.” Ivan menunjuk salah satu sudut kafenya saat menyambutku dan Imelda. Sebelumnya tadi aku sudah membalas pesannya bahwa aku akan datang ke sini dengan Imel.Aku dan Imelda mengikuti langka
Aku kembali menatap wajahku dari pantulan cermin di toilet. Kurasa aku tak bisa menyembunyikan mata dan hidungku yang merah akibat menangis tadi. Banyak hal yang membuatku merasa sangat sakit mengetahui suamiku hadir di sana. Masih kuingat bagaimana ia memperingatiku dengan bentakan di dalam mobilnya saat aku menyampaikan undangan Bella padanya. Lalu saat mengetahui ia hadir di sana bersama Nindya, aku merasa terbuang. Hal lainnya yang membuat air mataku luruh adalah tatapan Ivan yang sekali lagi harus melihatku dalam keadaan seperti ini. Mengapa aku harus kembali mendapatkan tatapan iba seperti itu?Dua orang wanita masuk ke dalam toilet sambil berbincang mengenai kerabat mereka yang ditonton melalui layar tadi. Aku kembali menyusut mata ketika keduanya menatap heran padaku. Aku memilih keluar dari toilet, berniat akan pamit pada Imelda dan Ivan saja sekarang. Baru saja hendak mencari ponselku untuk memesan taksi, ketika kulihat Ivan berdiri di ujung koridor.“Aya,” panggilnya.Aku p
“Aku sudah pernah bilang, jangan pedulikan aku jika suatu saat kamu kembali melihatku dalam keadaan seperti ini.”“Bagiamana aku tak peduli jika kamu menangis di hadapanku, Ay. Aku ... nggak suka lihat kamu seperti ini.”Hening menguasai, hanya sesekali kudengar pria yang berdiri bersandar di meja kerjanya sambil menyilangkan kaki itu menghela napasnya panjang. Ingin sekali kutanyakan padanya kenapa ia harus peduli padaku, tapi leherku tercekat. Tak sanggup bertanya.Atau mungkin tak sanggup mendengar jawabannya.“Aku nggak apa-apa, Van. Aku mengenal wanita itu. Mas Adam dan Nindya hanyalah rekan kerja.” Aku harus meluruskan apa yang ada dalam pikirannya.“Aku tak bertanya siapa dia, dan aku juga tak peduli,” katanya sambil kembali menghela napas panjang.“Aku hanya peduli kamu,” lanjutnya lagi.Sekali lagi aku tersentuh. Selama ini, tak pernah ada yang berkata seperti itu padaku. Karena semua memang terlihat baik-baik saja.Kembali hening. Hanya terdengar helaan napas kami masing-mas