“Tapi, Pa. Adam justru kagum pada wanita-wanita yang berkarir bagus dan berwawasan luas seperti mama.” Suara Mas Adam.“Itu karena kamu mengagumi mamamu, Nak. Dari kecil Adam sudah menyaksikan bagaimana mama berpenampilan cantik dengan setelan baju-baju kerjanya tapi juga masih mencurahkan kasih sayangnya padamu. Namun jika kamu mengalaminya sendiri, kamu pasti akan merasakan seperti apa yang papa rasakan. Tak tega melihat istri yang kita sayangi keletihan. Kita ini laki-laki, Dam. Tetap ada tuntutan untuk dilayani istri meski dia sedang kelelahan. Maka suara hati akan selalu tarik menarik antara ego dan rasa kasihan.”Hening sejenak.“Papa memilihkan Cahaya untukmu karena Papa ingin kamu, putra papa satu-satunya tak mengalami hal itu. Papa ingin kamu merasakan kebahagiaanmu saat pulang ke rumah dalam keadaan letih dan istrimu sudah menantikanmu dan menyiapkan semua kebutuhanmu dengan bahagia, bukan dengan guratan lelah dan senyuman yang justru membuatmu merasa iba. Bukankah itu sanga
“Kenapa nggak dijawab? Kamu mau pura-pura tuli?”Aku menoleh lagi. Kesal!“Aku harus jawab apa, Mas? Percuma! Bukankah aku selalu salah di matamu? Apa yang salah dengan isi pesanku waktu itu? Aku hanya menanyakan kenapa Mas Adam nggak bisa kasi perhatian sedikit saja padaku, pada istrimu.”“Sejak kapan kamu jadi sok manja gini, Cahaya Kirana?” Ia memberiku tatapan tajam sesaat sebelum kembali berkonsentrasi menyetir.“Sejak aku tau kalau kamu lebih perhatian pada orang lain dibanding istrimu sendiri.”“Apa maksudmu?”Jangan biarkan orang lain membunuh karakter aslimu, meski itu adalah orang dekatmu sendiri. Aku tau, dibalik semua kesdihan dan air matamu, kamu masih Cahaya Kirana yang dulu, yang selalu aktif dan percaya diri.Kalimat dari seseorang kembali terngiang di telingaku. Aku harus mengatakan ini, meski aku tau Mas Adam akan marah.“Kamu lebih memilih menyelamatkan orang lain dari pada aku. Kamu tak peduli bagaimana aku bisa pulang setelah kakiku cidera. Kamu lebih memilih meng
“Aku ingin ketemu dengannya, Ay. Tadi aku sudah kirim pesan nanya dia di mana tapi dia nggak bales. Kamu WA dong, dia pasti bales deh kalau kamu yang nanya.”Aku pun mengirim pesan pada Ivan setelah Imelda mendesak bahkan memohon.[Kamu di mana?]Tak perlu menunggu lama, ia membalas pesanku. Imelda mendengkus kasar ketika tahu Ivan langsung membalas pesanku.[Di House of Coffee, Ay. Mau ke sini?]Kuperlihatkan isi pesan Ivan pada Imelda. Gadis itu kemudian memohon setengah memaksa agar aku menemaninya ke sana. Akhirnya kukirim pesan pada Mas Adam untuk meminta izin.[Mas, ada temanku ke rumah. Namanya Imelda. Dia minta aku temanin ke kafe. Boleh?]Aku sengaja tak menyebut House of Coffee.[Terserah kamu. Jangan pulang terlalu malam.]Hanya seperti itu balasannya.🍁🍁🍁“Kalian duduk di sana aja, ya.” Ivan menunjuk salah satu sudut kafenya saat menyambutku dan Imelda. Sebelumnya tadi aku sudah membalas pesannya bahwa aku akan datang ke sini dengan Imel.Aku dan Imelda mengikuti langka
Aku kembali menatap wajahku dari pantulan cermin di toilet. Kurasa aku tak bisa menyembunyikan mata dan hidungku yang merah akibat menangis tadi. Banyak hal yang membuatku merasa sangat sakit mengetahui suamiku hadir di sana. Masih kuingat bagaimana ia memperingatiku dengan bentakan di dalam mobilnya saat aku menyampaikan undangan Bella padanya. Lalu saat mengetahui ia hadir di sana bersama Nindya, aku merasa terbuang. Hal lainnya yang membuat air mataku luruh adalah tatapan Ivan yang sekali lagi harus melihatku dalam keadaan seperti ini. Mengapa aku harus kembali mendapatkan tatapan iba seperti itu?Dua orang wanita masuk ke dalam toilet sambil berbincang mengenai kerabat mereka yang ditonton melalui layar tadi. Aku kembali menyusut mata ketika keduanya menatap heran padaku. Aku memilih keluar dari toilet, berniat akan pamit pada Imelda dan Ivan saja sekarang. Baru saja hendak mencari ponselku untuk memesan taksi, ketika kulihat Ivan berdiri di ujung koridor.“Aya,” panggilnya.Aku p
“Aku sudah pernah bilang, jangan pedulikan aku jika suatu saat kamu kembali melihatku dalam keadaan seperti ini.”“Bagiamana aku tak peduli jika kamu menangis di hadapanku, Ay. Aku ... nggak suka lihat kamu seperti ini.”Hening menguasai, hanya sesekali kudengar pria yang berdiri bersandar di meja kerjanya sambil menyilangkan kaki itu menghela napasnya panjang. Ingin sekali kutanyakan padanya kenapa ia harus peduli padaku, tapi leherku tercekat. Tak sanggup bertanya.Atau mungkin tak sanggup mendengar jawabannya.“Aku nggak apa-apa, Van. Aku mengenal wanita itu. Mas Adam dan Nindya hanyalah rekan kerja.” Aku harus meluruskan apa yang ada dalam pikirannya.“Aku tak bertanya siapa dia, dan aku juga tak peduli,” katanya sambil kembali menghela napas panjang.“Aku hanya peduli kamu,” lanjutnya lagi.Sekali lagi aku tersentuh. Selama ini, tak pernah ada yang berkata seperti itu padaku. Karena semua memang terlihat baik-baik saja.Kembali hening. Hanya terdengar helaan napas kami masing-mas
Aku merasa ada yang berbeda dengan hubungan ini. Ya, aku wanita dewasa. Meski berusaha untuk mengingkari, tapi aku tetap tak bisa memungkiri bahwa ada yang tak biasa dengan hubungan ‘pertemanan’ kami. Kepeduliannya padaku, semua perhatian-perhatian kecilnya, serta hatiku yang tanpa sadar selalu mencari keberadaannya cukup menjelaskan bahwa ini bukanlah hubungan pertemanan biasa.Aku tau ini salah, tapi terus terang saja perhatian dan rasa pedulinya padaku membuatku merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Perasaan nyaman yang hampir tak pernah kudapatkan saat berada di samping Mas Adam, suamiku sendiri. Buru-buru kugelengkan kepalaku ketika menyadari bahwa aku tengah membandingkan keduanya.Hentikan, Aya! Jangan terlalu terbuai olehnya. Dia hanya kasihan padamu. Dia pasti akan melakukan hal yang sama jika Imelda atau temannya yang lain yang mengalami hal seperti ini. Ini hanya kebetulan. Jangan terlalu terbawa perasaan. Aku berusaha menetralkan hatiku, tapi beberapa kalimat yang diuca
“Kenapa tadi nggak bangunin aku?”“Gimana mau bangunin kamu tidur nyenyak gitu sampai ileran. Nggak tega lah aku.”“Ivan!!! Please, aku serius. Mas Adam pasti nyariin aku.” Mataku mulai berkabut.“Jangan nangis lagi dong, Ay. Sudah senang lihat kamu senyum tadi, masa harus lihat air matamu lagi. Ini tadi Adam WA aku nanyai nomor Imelda, katanya tadi kamu pamit dengan Imelda. Aku nggak ngasih nomor Imelda tapi sudah kuyakinkan kalau kamu pasti lagi nginap di rumah Imel. Adam nggak ada nelepon kamu?”Ah, iya. Tadi kurasa aku belum membuka ponselku karena terkejut saat terbangun di tempat yang asing tadi. Kucari kembali ponselku dan menemukan pesan di sana. Tak ada panggilan, hanya dua pesan yang belum kubaca.[Kenapa belum pulang?][Nginap di mana?]Hanya dua pesan itu.Aku mendongak ketika Ivan menyodorkan ponselnya padaku. Tak langsung meraih ponselnya, aku justru menatapnya dengan tatapan bertanya.“Kamu baca sendiri isi pesan Adam. Biar nggak minta antar tengah malam gini. Aku taku
Pagi ini aku memilih memesan taksi online untuk pulang ke rumah, setelah semalaman ‘terjebak’ di House of Coffee bersama pemiliknya. Hanya berdua.“Kalau Adam marah, usahakan calm down. Tak akan ada habisnya jika kamu juga membalasnya dengan kemarahan,” ucapnya saat aku tengah menunggu taksi.Kuhela napasku kasar. Bukannya seharusnya aku yang marah? Aku membayangkan Mas Adam yang memilih mengajak Nindya padahal ia sendiri melarangku dengan kerasa datang memenuhi undangan Bella.“Hati-hati,” katanya saat taksi yang kupesan datang.“Aku ikutin taksinya dari belakang.”Aku menoleh. “Kenapa ngikutin, Van? Nggak perlu.”“Karena aku peduli.”Lalu dia meninggalkanku, berjalan menuju mobilnya, sementara aku masih menatapnya takjub.Karena aku peduli.Aku menoleh berkali-kali ke arah belakang saat taksi memasuki perumahanku. Tak terlihat lagi mobil Ivan di belakang pdahal sepanjang jalan tadi mobil sport merah itu terus mengiringi taksi yang kutumpangi di belakang. Mungkin dia sudah pulang ka