"Bu?"
"Ini yang kamu mau kan, Vania?" tanya Wiyani pada Vania. Vania sedikit terkejut melihat perubahan mertuanya. Namun, secepat kilat ia bisa menata hati dan posisinya. "Ibu bilangin lah, sama Lia, kalau mau jadi ibu sambungnya Anna, minimal harus bener pakaianny. Jangan kayak lacur gitu. Anaknya juga tuh, sama aja." Setelahnya Vania pergi ke kamarnya. Meski akting, rasanya sakit aja melihat mertuanya itu membela Lia. Lia tersenyum jumawa, lalu membenahi duduknya. Namun tidak dengan Kikan, gadis itu masih setia dengan mengangkat kakinya. Setelah dipukul oleh Lia, baru ia menurunkan. "Lia dan Kikan ke kamar dulu, Bu." Wiyani mengangguk, setelahnya Lia menyeret Kikan menuju kamar. "Ma, sakit, ih!" "Selangkah lagi, Mama bisa menguasai papamu dan juga rumah ini. Tolong kerja samanya, Kan! Kamu mau, semuanya hancur siBAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun