Lahat ng Kabanata ng Dijodohkan dengan Ipar Posesifku: Kabanata 21 - Kabanata 30
151 Kabanata
Rencana Mama Mertua
“Jangan turun!” cegahku.“Kenapa?” tanya Galang, keningnya berkerut menatapku.“Saya harus bertemu orang tuamu, biar nanti kalau kamu macam-macam, saya tahu harus kemana?”“Macam-macam apa sih, Pak. Saya ngga minat macam-macam sama Bapak! Bapak ini artis, kalo tetangga tahu nanti malah bikin heboh!”Padahal alasan yang sebenarnya aku tak ingin Arman dan Mama tahu, siapa yang mengantarku pulang.“Udah, Bapak langsung balik ke kantor ya. Siapa tahu mobilnya mau dipakai sama Pak Wira.” Cepat-cepat aku memasangkan kembali sabuk pengaman Galang sampai bunyi klik, lalu keluar dari mobil.Baru mau membuka pagar, tiba-tiba ibu dengan motor matik berhenti di depanku. Bu Bejo. Ugh, untung aja Galang ngga jadi turun tadi.“Eh Bu Arya, baru pulang kerja Bu?”“Eh, hehehe iya Bu Bejo.”“Kerja di mana, Bu?”“Di kafé Mentari, Bu.”“Oh kafé baru itu ya. Kerja apa, Bu di sana? Yang nyatet-nyatet pesanan ya? Apa yang cuci piring?” Dih underestimate banget!“Markom, Bu. Marketing komunikasi.”“Marketing?
Magbasa pa
Berdua Denganmu
Pukul tiga lebih sedikit, selepas Ashar Arman menjemputku. Di mobil sudah ada Mama dan Bi Inah, rencananya mereka berdua plus Rania akan di drop di mall. Mama mau belanja sekalian ngajak Rania ke arena bermain yang ada di mall, katanya. Tapi kurasa sebenarnya Mama hanya cari alasan saja supaya aku dan Arman bisa pergi berdua. “Selesai jam berapa, Ma?” tanya Arman ketika mobil sudah menepi di depan pintu masuk mall. “Nggak usah dijemput. Mama naik taksi pulangnya. Jadi kalian santai aja, ya.” Mama lalu turun diikuti Rania dan Bi Inah. “Tapi jangan cepet-cepet pulang, kalian nggak bawa kunci kan?” Mama memamerkan kunci di tangannya sambil tersenyum penuh arti, sebelum menutup pintu mobil. Aku menghela napas pasrah. “Dah Mamaaa.” Rania melambaikan tangan sesaat sebelum mobil melaju. “Dadah… jangan rewel ya,” pesanku. “Maafkan Mamaku, ya.” Setelah beberapa saat lamanya hening di mobil, akhirnya Arman bicara. “Beliau M
Magbasa pa
Sekolah Kita
“Dan?” Aku menatap Arman serius, tak sabar menunggu kata yang keluar selanjutnya. “Ya, itu. Itu tadi alasannya.” Pfiuuh, aku kecewa. Ternyata ia mau menikahiku hanya karena Mama dan Rania, kupikir ia akan bilang kalau ia juga menyayangiku. Ops, mikir apa aku ini, sih! Pramusaji datang membawa pesanan kami. Kami makan dalam hening. Ah, ingin rasanya ini cepat berlalu. Ketika kami sama-sama sudah menghabiskan makanan, aku bernapas lega, akhirnya bisa pulang juga. Tapi aku teringat, Mama yang memegang kunci. Kalau Mama belum pulang, masa aku mau nongkrong di teras rumah sama Arman, gimana kalo bu Bejo lewat? Kira-kira gosip apa yang akan menyebar di tetangga nantinya? “Baru pukul empat lebih sedikit.” Arman melihat jam tangannya. ”Gimana kalau kita ke sekolah?” tanyanya. “SMA maksudmu?” Ia mengangguk.
Magbasa pa
Jangan Jemput Lagi
“Ssst bolanya sudah aman padaku.” Aku membuka mata. Arman sudah di dekatku membawa bola. Rupanya dia yang menangkap bola itu.“Masukkan!” Ia mengangsurkan bola padaku sementara matanya melirik ke arah ring basket.Aku menggeleng, nggak mau, malu-maluin banget kalo nggak bisa masuk.Tapi teriakan dari anak-anak didik Aldo membuatku terpaksa melakukannya.“Ayo Kak … masuk.. masuk. Masuk.”Bismillah aku merapal doa dalam hati. Lalu, hup aku mulai melempar bola dan … masuk!!! Waah sebuah keajaiban!“Yeayy!” Aldo dan anak-anak didiknya riuh bertepuk tangan.“Good job!” Arman mengacungkan ibu jarinya. “Ayo pulang,” katanya sambil berjalan ke arah Aldo, berpamitan. Aku mengikutinya.Saat keluar dari gerbang hendak menuju mobil, aku melihat ada penjual leker langganan jaman SMA.“Tunggu, aku mau beli itu,” kataku pada Arman.“Oke aku tunggu di mobil.”“Pak Leker.” Aku menyapa bapak penjual leker dengan girang layaknya kawan dekat yang lama tak bertemu. Aku tak tahu namanya anak-anak hanya bi
Magbasa pa
Ngerjain Bos
Aku termangu sejenak. Menikah? Apa dia pikir mudah memutuskan berumahtangga lagi? Padahal baru empat bulan lalu aku kehilangan orang yang sangat kucinta. Niatnya menghindari gosip malah membuat gosip baru. Aku bisa saja disangka janda gatel yang tidak mandiri, apalagi yang kunikahi mantan adik iparku sendiri. “Sudahlah, kamu nggak ngerti! Dan nggak akan pernah ngerti, pulang aja sana.” Aku mendorong punggungnya sampai keluar. Diujung pintu Arman menoleh ke arahku. “Rania masuk sekolah jam berapa?” “Delapan,” jawabku. “Baiklah. Aku, pamannya, yang akan mengantar Rania sampai depan pintu kelasnya besok.” “Terserah,” jawabku lalu menutup pintu. Setelahnya, aku masih mengintip dari sudut jendela sampai Arman melajukan mobil dan hilang dari pandangan. Baru baru beberapa detik aku bisa duduk tenang di sofa melepaskan lelah, notif WA berbunyi. Aku biarkan saja. Masih malas mengambil ponsel dari dalam tas. Tapi kemudian berbunyi lagi, dan lagi. Siapa? Saat membuka ponsel serentetan pesa
Magbasa pa
Asisten Bos
“Kenapa jauh sekali? Kau asistenku. Jangan pernah jauh dariku. Mengerti!”"Mengerti, Pak," jawabku lantas berjalan beriringan dengannya. Ketika kami sudah masuk dalam mobil dan hendak berangkat, tiba-tiba pintu mobil di sisi Galang dibuka oleh Malya, “Lang, gue bareng lo aja, deh!”Tanpa menunggu persetujuan Galang, Malya langsung naik ke mobil. Duduk sangat rapat dengan Galang, bahkan menyenderkan kepalanya di bahu Galang. Galang lalu sedikit menggeser tubuhnya ke arahku.“Biar saya pindah ke depan, Pak.” Aku berbisik pada Galang sambil membuka sisi pintu sebelah kanan. Tak nyaman rasanya berada diantara mereka, mending duduk di sebelah Pak Parlan.“Tidak, tetaplah di sini bersamaku," titah Galang lugas, membuatku urung untuk pindah. 💜💜💜Hawa dingin menusuk tulang, ketika kami tiba di lokasi syuting hari ini. Bandungan. Letaknya ada di Kabupaten Semarang. Banyak juga yang menyebutnya Semarang coret. Suhu di daerah ini memang cukup dingin karena termasuk dataran tinggi.Dibantu P
Magbasa pa
Hujan Sore Itu
Seusai salat, aku dan Galang kembali ke lokasi syuting.“Lima belas menit lagi, ya!” Pak sutradara berteriak pada para kru dan pemain.Aku lalu teringat dengan nasi kotak tadi. Oh iya, Galang belum makan.“Makan dulu, Pak!” Aku menyerahkan satu kotak nasi padanya. Ia malah membuka mulutnya tanpa menerima kotak itu.“Hah? Gimana Pak?” tanyaku.“Kamu ngga lihat apa, saya sedang baca naskah? Suapi!” perintahnya.Dengan setengah hati akupun menyuapinya makan.“Dasar bayi tua, manja!” sungutku dengan suara agak keras. Tapi Galang tidak peduli, dia tetap fokus melihat lembar naskah yang ada di tangannya.Setelah beberapa suapan, tiba-tiba Malya datang, memberi kode agar aku menyingkir. Ia lalu mengambil kotak nasi yang kupegang.Aku menurut, mundur ke belakang diam-diam. Ketika Galang menoleh, dia tampak kaget karena bukan aku yang ada di sebelahnya."Aku sudah kenyang." Lelaki itu menolak saat Malya hendak menyuapinya. “Nadia ... minum, mana air minum?” Ia menoleh mencariku.Buru-buru aku
Magbasa pa
Jangan Marah
POV Galang“Ayo jalan!” Malya memeluk lenganku lalu menarikku maju. Meski ingin menolak, aku tak kuasa melakukannya. Tidak tega. Aku hanya menoleh pada Nadia sebelum pergi dan bilang, “Tunggu aku.”Setelah kuantarkan Malya sampai ke mobil, segera aku berbalik hendak menjemput Nadia. Tapi kulihat ada seorang laki-laki yang bersamanya. Adiknya, ya itu adik ipar yang tempo hari dikenalkannya padaku.Tak lama, terdengar notif pesan masuk di ponselku. Segera kubuka. Ternyata dari Nadia. "Langsung ke lokasi syuting, Pak. Saya sudah ada yang menjemput." Aku terlambat. Aku hanya mampu berdiri memandanginya dari kejauhan sampai ia menghilang dari pandangan, pergi bersama laki-laki itu.Di apartemen, usai syuting hatiku tak tenang. Bolak-balik aku mengecek ponsel berharap ada pesan dari Nadia. Tapi nihil. Apa aku yang harus mengirim pesan duluan?Berulangkali aku mengetik-hapus-ketik-hapus bingung mau mengirimkan pesan apa.“Kau lupa lagi kan menghubungiku?”Tulisku akhirnya. Semenit, dua men
Magbasa pa
Sakit
Aku melirik pada Galang, curiga dia salah minum obat.“Nggak usah aneh-aneh deh Pak, bicaranya. Gombalan kaya gitu, nggak mempan di saya!” jawabku ketus. Untung kru lain masih pada sibuk memesan makanan dan saling mengobrol satu sama lain, jadi tak begitu perhatian pada obrolan kami."Kalau diantara sepuluh benda, sembilan berbentuk kotak dan satu diantaranya bulat, mana yang kira-kira lebih menarik perhatian?" Kali ini ia malah bertanya hal yang aneh."Yang bulat lah Pak, pasti. Karena satu-satunya yang beda," jawabku."That's you! Itulah kamu!""Gimana sih, Pak? Maksudnya saya bulat gitu?"Galang tertawa sembari geleng-geleng kepala mendengar jawabanku. "Sudah nggak marah lagi, kan?"Baru mau menjawab, tiba-tiba aku merasakan getaran ponsel dari dalam tas. Sedari tadi, nada dering ponsel memang kumatikan. Saat melihat layar, nama Erna tertera di sana. Tumben masih pagi begini dia menelepon.“Ya Er, ada apa?”“Nad, dari tadi kukirim pesan kok nggak balas, sih? Rania demam. Kamu jempu
Magbasa pa
Demi Cinta
“Eh. Hmm, Maaf.” Cepat-cepat ia menurunkan tangannya. "Aku hanya panik saja, jadi refleks menyentuhmu.""Iya, nggak apa-apa. Kita kan saudara, aku paham kalau kamu mengkuatirkanku, makasih ya."“Kau istirahatlah, Rania biar aku yang urus,” katanya lagi seraya membawa Rania masuk ke dalam rumah. “Eh cucu oma sudah pulang sekolah.” Mama mengalihkan perhatiannya dari TV saat Arman masuk rumah sembari mengucap salam.“Kenapa?” tanya Mama melihat Rania yang lemas di gendongan Arman.“Rania demam Ma,” sahut Arman.“Walah, langsung bawa ke kamar, Man.”“Biar di kamar Arman saja Ma, Nadia juga agak demam, biar dia istirahat.”“Lho Nadia sakit juga, to!” Mama menempelkan tangannya di keningku. “Ya sudah istirahat sana, Mama carikan obat turun panas ya.”Tak lama setelah aku berbaring di kamar, Mama datang membawa obat dan segelas air putih ke kamarku. “Minum obat dulu Nad.”“Makasih, Ma.” Segera aku minum obat yang diberikan Mama. Sungguh aku merasa bersyukur punya Mama. Meski Mas Arya telah
Magbasa pa
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status