All Chapters of Suami kedua Lebih Berasa: Chapter 41 - Chapter 50
63 Chapters
41. Pembelaan Calon Mama Mertua
Pembelaan Calon Mama MertuaSetelah hari itu, aku sama sekali tidak pernah melihatnya lagi. Entah apa yang terjadi kepadanya, aku mencoba untuk acuh. Terserah apa yang menimpanya aku tidak peduli.“Pagi!” sapa seseorang dengan senyum cerahnya dan itu adalah tante Ratna.“Pagi Nenek!” seru putraku yang seketika berjingkrak saat melihat kedatangan seseorang yang sebentar lagi juga akan menjadi ibuku.“Woah! Gantengnya ini, cucu siapa ya?” tanyanya pada anakku yang selalu tersenyum manis ketika pertanyaan basa-basi itu hadir.“Cucu kakek Dito,” jawabnya dengan bangga menyebutkan bahwa dirinya adalah cucu dari ayahku.Aku menjabat tangannya dan sepeti biasa aku mencium punggung tangannya lalu memeluknya. Di saat itu juga Ryan yang tidak memberiku kabar datang juga. Dia tidak bilang bila akan ikut.“Loh, katanya kerja?” tanyaku terkejut.“Izin sebentar, masa iya calon istriku mau viti baju sendiri. Enggak asik ‘kan?” jawabnya dengan memberiku pertanyaan lagi. “Sini cium tangan abang dulu,”
Read more
42. Untuk apa Lagi?
“Enggak mau apa-apa, Cuma mau peluk kamu kayak gini aja. Emang enggak dingin? Bajumu kebuka gini loh,” ujar Ryan kepadaku yang sudah merinding saja berada di atas pangkuannya.Ada rasa berbeda ketika tadi di saat ibu mertuaku mengatakan hal itu. Aku kembali mengingat ibu kandung mas Akbar, mama Lina. Iya wanita itu sangat tidak suka denganku setelah tau aku ini tidak mau mengemis kepada ayah dan ibuku.Mungkin memang niat awal mereka hanyalah ingin memanfaatkan kedua orang tuaku, tetapi aku tidak mau. Sama sekali tidak mau. Aku malu dengan ayah dan ibu bila harus merepotkan mereka lagi.“Sudah Kak, kami sudah memeriksa itu dan masih ada bahannya, jadi ini bisa di lepas dulu dan kembali lagi satu minggu. Tapi setelah ini tidak ada perombakan lagi ‘kan?” tanya si desainer.“Tergantung, nanti bagaimana nantinya. Saya akan melihat dulu bagaimana hasil kerja kalian, kalau saya tidak puas ya terpaksa saya komplain,” celetuk Ryan pada kami yang tengah berbincang.“Yan,” desisku pelan. Sejuju
Read more
43. Bukan Urusanku Lagi
"Oh, aku kesal sekali dengan kejadian kemarin Mariana, bisa-bisanya di waktu bahagia aku malah bertemu dengannya," kataku pada Mariana, seorang pelanggan kue yang berubah menjadi teman baikku akhir-akhir ini. "Ya ampun ... Serius La? Tapi dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan?" tanyanya sembari melihatku intens. "Enggak, cuma dia ngejar aku aja mau bilang sesuatu. Hanya saja aku menolaknya. Aku sama sekali tidak mau memberikan dia kesempatan. Terlebih sikap istrinya itu sangat dingin sama anakku," jawabku yang membuatnya mengelus dadanya pelan. "Huh ... Syukurlah. Kalau begitu, kamu bisa lebih tenang menjalani hidup bersama dengan Ryan. Abaikan saja La," ujarnya. "Maunya begitu Mariana, tapi bagaimana terkadang aku merasa berat. Bagaimanapun juga dia adalah ayah anakku. Tapi di sisi lain aku tidak rela bila anakku diasuh oleh ibu tiri yang jahat," kataku dengan jujur. "Sama, aku pun sama. Oh ... Dunia ini menyebalkan. Kamu kalah dengan tantemu, dan aku kalah dengan pembantuku. Oh, m
Read more
44. Permohonan Maafnya
Permohonan Maafnya “Hai! Sudah dari tadi?” tanyaku pada Ryan dan Gaffi saat aku baru saja kembali dengan Mariana dari karaoke. “Gimana nyanyinya? Banyak sawerannya?” tanya Ryan padaku dengan wajahnya yang sengaja meledekku. Aku hanya bisa mnedengus kesal menanggapi pertanyaannya. Ku lihat Elis dan Rini masih bekerja pada posisinya masing-masing. Mereka tersenyum menyapaku dan aku pun mendekatinya. “Hust!” desisiku pada Elis dan Rini di balik rak kue. “Hei, dari kapan dia ada di sini?” tanyaku dengan berbisik pelan. “Apa Bu?” tanya Elis yang kelihatanya tidak begitu paham dengan apa yang aku tanyakan. “Itu, Pak Ryan. Kapan datangnya?” tanyaku pelan. “Mungkin lebih cepat dia 15 menit Bu.” Rini menjawabku dengan mengedipkan matanya berkali-kali. Agak aneh sih memang tetapi aku tidak mencurigai apapun. “Ehem!” deham Ryan dengan tiba-tiba dan itu membuatku sangat kaget. Aku dengan segera berdiri dan tidak sengaja kepalaku membentur sudut meja. Dug! Rasanya waow banget. Kepalaku la
Read more
45. buram, antara kejujuran atau kebohongan
“Hih! Ada apa lagi datang ke sini?” sentakku yang sudah tidak bisa lagi mengkondisikan nada bicara dan juga mimik mukaku.Iya, dia Mas Akbar. Ada apa dia akhir-akhir ini selalu datang ke sini? Aku begitu kesal saat melihat wajahnya. Tetapi tidak dengan Ryan yang malah dengan santai menyikapi kedatangannya.“Santai Nala, aku hanya ingin ngopi malam ini,” ucapnya dengan sangat tenang menjawab pertanyaan sinisku.“La, jangan kayak gitu, dia itu pelangan,” kata Ryan yang sepertinya menanggapi semua ini dengan biasa saja. Dia biasa, aku yang luar biasa kesalnya.“Ngopi, ngopi. Pulang sajalah sana, apa tidak lihat tokoku ini sudah tutup?” tanyaku bersungut-sungut dengan nada kesal aku pun menatapnya sinis.“Sayang, jangan kayak gitu dong,” bujuk Ryan padaku dengan wajah teduhnya. Jujur saja setiap dia seperti itu hatiku selalu luluh. Dia sangat tahu kelemahanku.“Ish! Menyebalkan,” ketusku yang kemudian pergi naik ke atas ruanganku dengan menarik Gaffi yang sudah mengantuk.“Afi, sama ayah
Read more
46. Fitnah itu Berasal dari Anggi
“Siapa?” tanyaku pada Elis.“Saya juga tidak tahu Bu, baru kali ini saya melihat mereka. Tapi dari penampilannya mereka seperti orang kaya. Mungkin ingin memesan atau mungkin ingin mengajak ibu bekerja sama,” ujar Elis panjang lebar.Aku turun dan sungguh apa yang aku lihat ini membuat dadaku sesak. Wanita perebut mantan suamiku itu datang bersama ibu mertua, ibu kandung Mas Akbar. Ah entah bagaimana, tetapi yang jelas aku muak dengan wajah mereka.Tanpa kupersilahkan duduk, mereka sudah duduk dengan seenaknya tanpa rasa sopan. Tante Anggi duduk menyilangkan kaki dengan gaya angkuhnya. Juga mama Lina yang duduk dengan sinis menatapku.“Ada apa?” tanyaku ketus tanpa mau menatap mereka berdua.“Hih, dasar lo*te, suka banget kamu godain suami aku. Kenapa? Calon suamimu itu tidak panjang?” tanya Anggi dengan nada mengejek.Mendengar itu semua membuat telingaku panas. Aku tidak habis pikir dia bisa berkata seperti itu sementara dia sendiri dulu seperti apa? Iya, dia lebih rendah dari PSK.
Read more
47. Pernikahanku Dipercepat
47.Setelah kepergiannya, Elis datang mengetuk pintu. Dia terlihat setengah takut untuk mengembalikan kunci toko kepadaku. Aku merasa semua ini adalah suatu rintangan yang memang Tuhan kirimkan kepadaku sebelum aku melangkah ke pernikahan.“Bu, ini kuncinya,” panggil Elis kepadaku dengan perlahan mengetuk pintu.“Iya Lis, sebentar!” sahutku yang kemudian membukakan pintu dan menerima kinci darinya.Sejenak aku menyempatkan diri untuk menoleh ke bawah. Mas Akbar sudah tidak ada lagi, rupanya dia sudah pergi. Oh, aku sangat bersyukur dia tidak menungguku di bawah.“Dia sudah pergi?” tanyaku kepada Elis.“Sudah Bu, sesaat setelah ibu masuk ke sini. Afi sudah tidur Bu?” tanyanya yang rupanya juga mengkhawatirkan keadaan anakku.“Oh iya, bagaimana kalau malam ini kamu tidur di sini sama temani aku. Besok pagi aku antar pulang untuk berganti baju. Aku merasa tidak aman sendirian di sini Lis,” akuku yang memang ketakutan.Aku tahu bagaimana liciknya tante Anggi itu. Dia itu adalah ular yang
Read more
48. Drama Sebelum Malam Pertama
Suram, kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana di rumahku saat ini di mana mantan suamiku dan istrinya yang merupaka tanteku bertandang ke sini. Aku sudah berusaha untuk mengusir mereka, namun mereka sama sekali tidak mau pergi. Mas Akbar memohon agar aku memberinya kesempatan untuk bisa mempunyai waktu bersama Gaffi.Namun, tidak semudah itu akan membagi hak asuh kepadanya yang sudah pernah melepeh kami. Seenaknya saja mau meminta hak asuh sedangkan dahulunya saja dia membuang kami. Tidak akan kubiarkan itu terjadi.Di saat kami masih saling diam dan suasana begitu hening, Ryan datang. Dia datang dengan menyeret kopernya dan hal itu membuat Mas Akbar sedikit tercengang melihatnya. Mungkin yang dia pikir saat ini adalah mengapa Ryan datang ke rumah ini dengan membawa koper.“La, ini aku bawakan makanan dari mama,” kata Ryan dengan lantangnya dan membuat suaranya menggema memenuhi ruangan ruang tamu ku ini.“Eh, ada kalian? Enggak kapok juga ya? Ada apa lagi Mas Akbar?” tanya
Read more
49. Mau Lagi Katanya
49. Aku mengintip kedua tamuku itu pergi meninggalkan rumah. Dengan dua penjanga mereka diseret keluar. Setelahnya pun aku masih melihat Mas Akbar yang menunjuk wajah Tante Anggi seperti sedang memarahinya. Jeglek! Masih dengan aku yang mematung melihat pertengkaran sepasang suami istri itu, tiba-tiba saja Ryan masuk. Dia pun ikut berdiri di sampingku dan melihat bagaimana dua orang itu pergi dengan satu kuda besi yang sama. Keduanya melesat pergi begitu saja. "Aku tidak menyangka bila mereka berani datang ke sini tanpa tahu malu. Terlebih tantemu itu. Bagaimana cara orang tuanya mendidiknya dulu," gumam Ryan yang terdengar begitu jelas di telingaku. Aku terdiam, lalu menatapnya lekat. Kulihat, amarahnya masih membumbung tinggi. Menguasainya dengan menampilkan ekspresi mengerikan. "Dulu, orang tua Tante Anggi itu tidak punya apa-apa. Mereka miskin dan bahkan tante Anggi nyaris putus sekolah semasa SMA. Karena hal itu ayahku yang kasihan kepada mereka lalu membawanya ke kota dan
Read more
50. Rencana Membuat Adek untuk Afi
"Bunda, Bun!" seru putraku yang terdengar begitu nyaring di telingaku. Perlahan aku mendengar suara putraku. Dia berseru memanggilku dengan suara lantangnya begitu nyaring dan membuat tidurku terusik. Sementara di sisiku masih ada lelaki yang baru saja kemarin menjadi suamiku. "Yan, Gaffi sudah bangun itu. Dia panggil aku," kataku dengan mengguncang perlahan lengannya. Matanya masih setia terpejam. Dia seolah begitu menikmati malamnya yang tak begitu panjang. Sebab malamnya yang tak begitu panjang adalah dia yang terus saja mengusikku. Dia seperti orang kelaparan hingga dalam satu malam sudah dua kali dia melahapku bulat-bulat. Sempat ingin menolak, tetapi pada akhirnya aku juga ikut menikmatinya. Iya, aku akui dia berhasil mengubah ranjang ini menjadi begitu panas. "Hem," gumamnya menyahutiku tanpa sedetik pun membuka matanya. "Awas dulu, sebentar saja. Aku keluar dulu sebentar untuk sapa dia," kataku beralasan. "Sebentar ya, jangan lama-lama," ucapnya memperingati. Tidak ku
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status