Semua Bab Suami kedua Lebih Berasa: Bab 31 - Bab 40
63 Bab
31. Bertemu Kembali
Setelah satu tahun menghilang dan sama sekali tidak membalas pesanku, kini aku bertemu dengannya, lelaki yang telah banyak menolongku pada saat keadaan terpurukku. Ryan, sejujurnya aku rindu, terlebih Gaffi yang sering menanyakan di mana Om dokternya pergi. Aku tidak bisa menjawab apa-apa, dan hanya berbohong dan berbohong demi membuatnya merasa tenang.“Apa kabar?” sapaku padanya yang terlihat gugup.“Nala?” ucapnya yang terlihat tidak percaya bila memang aku ini ada di hadapannya dan bukan yang lain. Dia sampai mengedipkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan diri.“Iya, aku Nala Yan. Ada waktu?” tanyaku tanpa mau berbasa-basi. Kali ini aku tidak mau kehilangan dia lagi. Aku tidak mau kehilangan sosok penolong di dalam hidupku yang sudah dua kali aku kehilangan dia dan tidak akan kubiarkan yang ketiga kalinya terjadi.“Ada,” jawabnya singkat setengah tergugup.“Oh, syukurlah. Banyak yang mau aku katakan sama kamu. Ayo naik!”ajakku yang terkesan tidak tahu malu. Wanita mengajak pri
Baca selengkapnya
32. Mawar Pink tanda rasa Nyaman
“Kamu belum jawab loh, kenapa sama sekali enggak pernah balas pesanku?” cecarku padanya yang hanya diam dan tersenyum simpul. Senyuman yang mengandung sejuta arti.“Aku setelah sakit itu, sibuk kerja La. Ada kerjaan penting, dan kebetulan ponselku tertinggal di rumah. Aku malas bolak-balik Jakarta-Australia, itu melelahkan,” jawabnya yang tidak terdengar logis.“Eh, kita hidup di jaman moderen ya, ada jasa pengiriman barang Yan,” sahutku penuh penekanan karena jawabannya yang terdengar hanya mengada-ada.“Aku tidak percaya, kamu pasti bohong,” desakku dengan tatapan memicing.Dia tertawa dan itu sungguh menyegarkan mata. Terakhir kali aku melihatnya dengan wajah pucat. Saat itu jangankan untuk tertawa seperti ini, untuk tersenyum saja dia berat.“Yan, banyak yang terjadi setahun ini dan kamu enggak mau tanya apa-apa sama aku?” pelanku mengharapkan pertanyaan darinya.Kami terdiam beberapa saat. Tanpa melihat wajahnya, aku bisa merasakan dia yang berpindah duduk di sampingku. Pada saat
Baca selengkapnya
33. Zoo
“Buat aku?” tanyaku bersamaan dengan tanganku yang menerima bunga mawar pink itu.“Iya, kalau Gaffi mana mau dia bunga? Gaffi mau jalan-jalan saja ya? Mau main ke mana Fi?” tanyanya kepada putraku dengan sorot mata pnuh kasih.Satu tahun ini, anakku mencari sosok ayah pada kakeknya. Ayahku bisa mengisi itu di sela-sela kesibukannya. Sedangkan dulu, suamiku sama sekali tidak mau menyempatkan waktu dengan segudang alasannya.“Terserah Om Dokter saja,” jawab anakku yang memang sudah kuajarkan sedari berangkat tadi supaya dia menjaga sikapnya di hadapan Ryan.“Terserah ya? Bagaimana kalau kita ke floating market?” cetus Ryan sambil menatapku seolah meminta pendapatku tentang tempat wisata itu.“Bagaimana La?” tanyanya yang membuat lamunanku buyar. Iya, aku sedang melamunkan tentang rumah tanggaku yang dulu di saat Gaffi masih berusia dua tahun.Saat itu semuanya masih indah, Mas Akbar … dia masih sosok suami yang begitu aku banggakan. Dia, selalu ada waktu untuk kami. Selalu bisa mengisi
Baca selengkapnya
34. Kami yang Semakin Dekat
34. Kami yang Semakin Dekat "Udah yuk! Di sini panas banget," keluhku pada dua laki-laki beda generasi yang berjalan penuh semangat di depanku. "Nanti Bunda, kita belum lihat ular sama buaya," tolak Gaffi terhadap keinginanku. Mendengar kata ular dan buaya seketika membuatku membulatkan bola mata. Itu adalah hewan yang aku takuti. Ya, mereka adalah salah satunya. Sebenarnya begitu banyak hewan yang aku takuti selain itu, tapi ya ... Dengan mereka aku yang paling takut. Seketika aku berjalan mendekat pada Ryan. Dengan cepat aku berusaha menyamakan langkah kami. Pada saat itu Zoo memang lumayan ramai karena bertepatan dengan hari libur. "Pstt! Yan, aku tunggu di parkiran aja ya? Aku malas kalau berkunjung ke kandang buaya," kataku pelan dengan berbisik padanya. Malu saja kalau Gaffi sampai tahu aku ketakutan. "Ei, kamu takut ya? Masih aja takut. Itu enggak bahaya, lagian mereka di dalam kandang. Ngapain takut, anakmu aja enggak takut. Tuh lihat semangat banget dia," tunjuk Ryan pa
Baca selengkapnya
35. Tamu yang kubenci
Tamu yang kubenciTiga hari semenjak kejadian itu. Aku melanjutkan hidupku hanya saja apa yang dia lakukan beberapa hari lalu masih teringat jelas di kepalaku. Terngiang di saat-saat tertentu dan dia bertambah parah ketika dia menghubungiku.Seperti pagi ini, di saat aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, ayah tiba-tiba menghubungiku memanggilku untuk datang ke kantornya. Sebenarnya dia masih sangat bisa untuk memimpin perusahaan. Akan tetapi, aku merasa ila ayah belum waktunya berhenti.Sebenarnya dahulu ada kesepakatan diantara kami di mana di usianya yang ke 55 ayahku ingin bersantai dan menikmati waktunya dengan ibu. Sedangkan saat ini dia masih mengurusi dua perusahaan. Sebenarnya aku kasihan, akan tetapi, aku sendiri masih belum ada minat dan niatan untuk mengurusi itu semua.Seperti saat ini, ayah menghubungiku dan memintaku untuk datang ke kantor. Dia begitu memaksaku untuk aku mengurus satu anak perusahaan. Kakakku sendiri sudah sibuk di luar negri dan dia jarang sekali pulang
Baca selengkapnya
36. Pertemuan Gaffi dan Ayahnya
“Ada apa?” sentakku pada lelaki yang telah membuatku merasa muak itu.“Aku hanya mau kasih dia sesuatu Nala, apa kamu juga tidak akan membolehkannya?” tanya Mas Akbar dengan suaranya yang ia buat selembut mungkin.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Agamaku melarangku untuk membenci orang terlalu dalam. Di sini aku ingat bahwa dendam itu hanya akan menggerogoti diri sendiri.“Ya sudah, aku kasih waktu 20 menit.” kataku yang kemudian masuk mendahuluinya.Aku lalu masuk dan mengajak putraku untuk turun. Walaupun dengan sangat berat hati tetapi aku tetap ingin mengutamakan kebaikan dari pada kejahatan. Bukankah jahat bila memisahkan ayah dan anaknya?“Gaffi, sudah selesai ya?” tanyaku pada putraku yang tengah mengerjakan tugasnya.“Sebentar lagi Bun,” jawabnya dengan tersenyum manis.Aku duduk di sebelahnya dan mengusap lembut rambutnya. Dia terlihat fokus dengan pekerjaan rumahnya. Sesekali aku melihat keluar di mana Mas Akbar masih saja menatap kami dari bawah.“Afi, ada ayah. Apa Afi
Baca selengkapnya
37. Perjodohan Lagi
Setelah pertemuan antara Mas Akbar dan putraku itu, aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Ada rasa tenang dan juga ada rasa cemas dalam diri ini. Iya, aku terus berpikir bahwa mungkin saja setelah itu dia akan bertengkar hebat dengan istrinya. Ah, entahlah aku tidak mau ambil pusing. Seperti hari biasanya, toko kueku ini akan ramai di jam makan. Hari ini ayah bilang akan datang berkunjung untuk makan siang bersamaku. Aku sudah menyiapkan makanan yang aku pesan di mejaku ini. Ternyata, ayah datang sudah dengan membawa Gaffi. Iya, rupanya ayah dan ibu menjemput Gaffi terlebih dahulu. Aku senang semuanya sudah kembali normal. Tidak ada penghalang bagi aku dan orangtuaku untuk bertemu. Kami bahagia tanpa Mas Akbar. Iya, aku baik-baik saja tanpa dia. "Bunda!" seru Gaffi yang begitu bersemangat setiap kali melihatku menyambutnya. Ia dia duniaku. "Iya Sayang, sudah pulang? Bagaimana tadi di sekolah?" tanyaku yang mungkin suatu saat nanti Gaffi akan mengeluh bosan dengan pertanyaan i
Baca selengkapnya
38. Kencan Pertama
Kencan Pertama“Wah, saya ikut senang Bu,” ucap Elis padaku yang masih tersenyum malu dengan menggandeng tangan Ryan.“Makasih mbak Elis,” ucap Ryan dengan senyuman ramahnya.“Kalau begitu saya pamit pulang ya Bu, Pak,” pamitnya yang kemudian berlalu dengan sepeda motornya.“Iya hati-hati!” seruku saat dia melesat pergi.Jujur saja saat ini aku merasa sangat canggung. Begitu canggung di mana kami seperti sedang melakukan reka ulang adegan tetapi saat ini dengan masa dewasa bukan remaja lagi. Senyuman indah dari bibirnya itu tak sirna sedari tadi memancar menyilaukan mata dan mambuat hatiku semakin berdebar.“Mau masuk dulu atau mau langsung pulang?” tanyaku dengan berusaha mengurai kegugupan.“Em, di dalam ada minuman hangat ‘kan? Di sini dingin soalnya,” ucapnya dengan cuek dan menyelonong masuk begitu saja melewatiku yang masih berdiri tercenung menatapnya.“Ada, mau apa?” tanyaku yang mengekor di belakangnya dan langsung berbelok menuju ke dapur.Tidak lama, aku hanya membuatkan ko
Baca selengkapnya
39. Penyesalan Selalu di Akhir
"Yan, kok jadi gini?" tanyaku padanya yang dengan sengaja memelukku dari belakang hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. Terasa geli dan menggelitik setiap kali menerpa, membuatku merasakan gelanyar aneh di dada. Jujur saja aku sempat tergoda. Kali ini aku seakan berada di persimpangan amal baik dan buruk. Aku bisa mendengarkan dia tertawa geli, cekikikan di samping telingaku. Aku rasa, kelakuan jahilnya sudah kembali. Dia menjadi Ryan yang dulu lagi. "Kangen tahu aku La, kangen kamu yang kayak dulu pas kita SMA, yang enggak kaku kayak gini. Kamu kayak malu-malu gitu sama aku," ungkapnya yang membuat pipiku semakin bersemu. "Ya malulah, masa iya aku kamu suruh kayak dulu. Gaffi bakalan komentar sama aku Yan, bakalan ngomel dia apa lagi melihat ibunya jadi petakilan. Ah, udahlah itu bukan ide yang baik," kataku sambil berlalu dan kembali fokus pada lembaran laporan bulanan. Ryan tersenyum dan menatapku teduh. "Aku enggak sabar kita cepetan nikah La, Mama bilang dia mau buati
Baca selengkapnya
40. Sudah Menjadi Pilihannya
Sudah Menjadi Pilihannya“Bukannya tidak boleh Sayang, nanti kalau Afi besar, baru boleh. Sekarang jangan ya,” kataku yang berusaha memberi penjelasan kepada pria kecil yang mulai berpikir kritis itu.“Tapi kenapa Bunda?” tanyanya lagi. Rupanya jawabanku ini sama sekali tidak memberikan kepuasan padanya.Oke, bila begini keadaannya, maka aku memang harus berterus terang. Tidak bisa aku menahan lebih lama. Supaya dia tahu dan bisa menilai sendiri.“Afi, ayah itu sudah punya istri lain. Afi bukan hanya anak ayah saat ini, ada anak lain dari wanita lain. Apa Afi paham?” tanyaku dengan meninggikan suaraku. Aku terbawa emosi.Bujang kecilku itu menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Rupanya ada hal yang membuatnya terluka. Apa dia sudah mengerti dengan maksud perkataanku?“Apa ayah akan seperti ayahnya Billy?” tanyanya dengan tatapan yang tidak mengendur sama sekali.“Siapa Billy?” tanyaku penasaran.“Teman Afi Bunda, ayahnya punya istri baru dan jahat sama Billy. Kemarin Billy cerita
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status