All Chapters of Pesona Babang Ojol : Chapter 11 - Chapter 20
43 Chapters
Nyangkut
Sayup terdengar suara azan Maghrib, tetapi kami masih di jalan. Tidak biasanya aku pulang petang karena takut ayah marah. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Mungkin dia takut kupeluk jika ngebut. Padahal aku sudah ingin segera sampai rumah.“Kita ke masjid dulu, ya!” ajak Pak Arfan.“Mau ngapain?”“Salat dulu. Lebih baik berhenti dulu saat azan Maghrib berkumandang.” Wih, ternyata dia bisa ceramah. Multi talenta sepertinya.“Rumahku sudah dekat, Pak. Pertigaan depan belok ke kiri.”“Memangnya ayahmu memperbolehkan lelaki datang ke rumah?”“Boleh, Pak. Apalagi kalau borong jualan ayah saya.”“Katanya tadi gratis buat saya?” Dih, ternyata dia suka pamrih. “Iya deh, nanti saya kasih bubur gratis buat Bapak. Azannya sudah selesai, jalan lagi, yuk, Pak.”Setelah hari ini aku usahakan tidak akan terlambat kuliah. Bertemu dengannya membuatku sial. Entah sudah berapa kali aku mengalaminya hari ini.“Udah gak sabar, ya, pingin segera kulamar?” Dia terkekeh geli.Plak! Aku memukul pungungny
Read more
Ayah
Langit sudah gelap, sudah tidak terdengar lagi suara azan. Gamisku sudah terlepas dari rantai berkat cutter Pak Arfan. Sekarang aku sudah mirip wewe gembel. Bajuku compang-camping tidak karuan. Bolong-bolong sampai lutut seperti style trio macan. “Gamis trend masa kini,” ucap Pak Arfan setelah gamisku terlepas. Dia tertawa hingga memegangi perut.Bukannya merasa bersalah malah diketawain. Untung aku bukan ukhty hijabers ala pondok pesantren. Aku sudah terbiasa memakai baju terbuka. (Baca bab 4.)“Aku mau jalan kaki aja, sudah dekat. Aku gak mau bayar! Ojolnya sedang oleng.” Aku berjalan kaki meninggalkannya sendiri. Kenapa dia gak ngejar, sih? Kan masih jauh. Sudah lemas lututku, seharian ini terasa begitu melelahkan. Rasanya aku ingin segera sampai rumah dan memeluk guling. Aku berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Kulihat dia mengacak-acak rambutnya. Ada apa dengannya? Ah, masa bodoh. Aku berbalik mengabaikannya.“Syifa, tunggu!” ucapnya berteriak. Yes, sepertinya dia mau a
Read more
Adegan Romantis
Mampus aku. Aku berhenti di tengah pintu kemudian berbalik menghadapnya. “Saya ambilkan bubur lagi, ya, Pak.” Aku tersenyum manis, sangat manis hingga bisa membuat readers diabetes. “Saya sudah kenyang! Ambilkan baju ganti. Kemeja saya jadi kotor semua.” Dia membersihkan sisa bubur di bajunya. Aku segera pergi ke kamar Ilham untuk mengambil baju. Oh iya, lupa. Aku menepuk jidatku. Ilham ‘kan baru kelas 1 SMA, pasti tidak muat. Akhirnya aku mengambil kaos oblong milikku. Aku memiliki banyak kaos berukuran besar karena tidak suka memakai baju ketat. Saat aku keluar, Pak Arfan sudah melepas kemejanya. Oh tidak! Mataku ternodai lagi. Ingin berpaling tapi sayang.“Maaf, Pak, bajunya biar nanti saya yang nyuci.” Aku menyerahkan kaos berwarna ungu kepadanya. Dia tidak lekas menerima kaosku. “Tidak ada warna lain? Terlalu girly.” “Warna pink, mau?”“Baiklah, yang ini saja.” Dia menerima kaos yang kuberikan. Namun nahas, aku terpeleset bubur yang tercecer di lantai. Pak Arfan menerima
Read more
Apa?
Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari masjid. Sebentar lagi azan Subuh berkumandang. Aku menggeliat pelan dan aw, punggungku seperti retak. Aku lupa jika punggungku sakit. Aku berteriak dan menjerit kesakitan hingga Faiha terbangun. Setelah kejadian tadi malam, Ayah melanjutkan jualannya dibantu Ilham. Sedangkan Faiha menemani dan memijit kakiku hingga terlelap. “Kakak mau ngapain?” tanya Faiha. “Kebelet, kemarin makan mie ayam pedes banget!” Aku memegangi perutku yang rasanya mules luar biasa hingga membuat semua persendianku linu. Tidak lama kemudian terdengar suara angin keluar dari lubangnya. Faiha segera menutup hidung. Akupun tidak tahan dengan baunya. Benar-benar busuk. Apalagi sudah dua hari tidak BAB.“Ih, kakak jorok banget!” Faiha mengibas-ngibaskan tangannya di udara. Dia hampir saja muntah. Aku terkekeh, “Alhamdulillah lega, bantu kakak ke kamar mandi, Fai.”“Aku gak perlu nungguin kakak sampai selesai, ‘kan?” tanyanya sambil menguap. Seperti
Read more
Tamu
Pagi ini suasana di kota Kudus serasa sejuk karena sisa hujan kemarin. Namun malah membuatku gerah. Rasanya aku ingin menenggelamkan kepalaku di kulkas supaya dingin.“Kak, ada tamu,” ucap Ilham.Tamu? Siapa yang pagi-pagi begini datang ke rumah? Aku tidak memiliki janji dengan siapapun. Kulihat ponselku, tidak ada satupun pesan yang masuk. Dengan tertatih aku membuka pintu kamar. “Siapa, Ham?” tanyaku sambil mengikat rambut yang berantakan dengan karet gelang warna kuning. Senada dengan kaos yang kupakai, gambar Pikachu.“Nggak tahu. Katanya teman kakak,” jawab Ilham sambil mengedikkan bahu. “Bukan yang tadi malam, ‘kan?”“Bukan, yang ini lebih muda. Lebih fresh.”Kira-kira siapa yang datang sepagi ini? Mencurigakan sekali. “Lebih muda? Memangnya yang kemarin udah tua?”“Kalau yang kemarin itu udah gak muda, Kak. Mateng.”Memang benar, sih, Pak Arfan lebih tua usianya. Namun, dia termasuk salah satu dosen muda di kampus. Nyatanya banyak wanita yang menggilainya, kecuali aku. Aku
Read more
Garam
Wajah ayah berubah menjadi pucat setelah membuka mejikom. Dilepaskannya centong hingga jatuh ke lantai. Kemudian menutup mejikom kembali. Aku penasaran kenapa ayah sampai shock? Aku berdiri dan hendak membukanya, tetapi dilarang ayah. “Jangan dibuka, kamu bisa pingsan!”Tanganku urung membukanya meskipun penasaran. “Memangnya kenapa, Yah?”“Astaghfirullah, Faiha!” Ayah meletakkan piringnya kembali dan duduk memegangi dadanya.“Kenapa, Yah?” Faiha datang membawa setoples kerupuk.“Nasinya masih mentah, Fai. Kamu lupa colokin, ya?”Aku memegang mejikom di depanku, anget. Berarti sudah dicolokkan. Tapi kenapa nasinya masih mentah? Apa sudah rusak, ya?“Udah, Yah. Tadi panas, kok,” jawab Faiha.“Coba kamu lihat!” perintah ayah.“Sepertinya aku lupa tekan cook, Yah. Apa aku belikan nasi saja di warung?” tanya Faiha.“Ayah belum laper. Ya sudah, kamu taruh di belakang lagi. Ayah mau ngopi dulu.”Aku mengambilkan secangkir kopi untuk ayah. Byur! Ibra terkena semburan kopi dari mulut ayah.
Read more
Mimpi
Ilham membagikan 2 lembar uang kertas warna hijau kepada Faiha. Sedangkan dia mendapatkan 3 lembar. “Kalian dapat uang dari mana?” Mereka terdiam mendengar pertanyaanku. Mereka saling pandang kemudian tersenyum. Aku semakin curiga dibuatnya.Ayah tidak akan memberikan uang cuma-cuma kepada anaknya, kecuali untuk membayar SPP. Faiha sendiri tidak pernah membayar SPP karena ada program pemerintah wajib belajar hingga 9 tahun. “Kakak mau?” tanya Faiha. “Mau ...!” Aku segera mendekati mereka. Tentu saja aku tidak menolaknya. Lumayan buat beli paket data, dapat unlimited satu minggu, tetapi sayang, gak bisa buka pf online warna hijau. Apalagi beli koin emas, aku harus menabung lebih dulu. “Enak saja, minta sendiri sama orangnya!” Ilham memasukkan uangnya ke dalam saku celana kemudian pergi. “Eh, awas kamu, ya! Ntar nggak aku masakin.”“Masih ada ayam dan ikan bakar dari Mas Arfan, Kak. Mubazir kalau kakak masak lagi, kita habisin aja yang ada,” ucap Faiha sambil membereskan kertas min
Read more
Sadar
Aku benar-benar merasa terbuang. Sakit sekali mengetahui fakta jika ayah tidak menginginkanku menjadi anaknya lagi. Dia bahkan membiarkanku dibawa babang ojol, si dosen mesum. “Beneran, saya boleh bawa Syifa?” tanya Pak Arfan girang.“Boleh, tetapi kamu harus menikahinya terlebih dahulu. Enak saja main bawa anak orang. Menikah itu harus dipertimbangkan matang-matang, minimal istikhoroh. Sudah berapa lama kamu kenal anak saya?” tanya Ayah. Terkadang aku sangat bosan jika ayah sudah mengeluarkan tausiyahnya, tetapi kali ini aku merasa speechless. “Baru kemarin pagi,” ucapnya sambil tersenyum. Kemarin adalah kali pertama aku bertemu dengannya. Si babang ojol yang sudah membantuku, dan ternyata dia adalah dosen. Diciptakan dari apakah manusia di depanku ini? Kenapa dia selalu tersenyum manis, aku takut diabetes. “Baru kenal sehari?” Ayah nampak berpikir.“Ya sudah, ayah tinggal dulu. Lanjutkan pedekate–nya. Nanti ayah panggilkan Faiha biar datang ke sini.”Aku menepuk jidatku, kukira
Read more
Siapa Dia?
Aku sudah terlampau malu. Aku tidak mungkin menunjukkan mukaku ke hadapannya. Lebih baik aku sembunyi di kamar hingga dia pergi. Setelah beberapa saat kudengar suara motor pergi menjauh. Sepertinya dia sudah pulang. Aku bernapas lega. Kubuka pintu kamar dan keluar, benar ternyata dia sudah tidak ada. Malam harinya aku sudah bisa membantu ayah berjualan bubur seperti biasanya. Malam ini nampak sepi, sudah hampir jam sembilan, tetapi bubur masih sisa setengah kuali. “Pak, bungkus buburnya 5!” Seorang lelaki paruh baya turun dari mobil bersama istrinya. Ayah tersenyum semringah, “Iya, Pak. Silakan duduk dulu. Tunggu sebentar.”Aku segera membantu ayah menyiapkan bubur dan memasukkannya ke dalam plastik. Akhirnya ada juga pembeli di detik-detik terakhir. Aku sudah mengantuk, Ilham dan Faiha sudah kuminta istirahat karena esok mereka berangkat sekolah.“Semuanya 15 ribu, Pak.” Ayah menyerahkan buburnya kepada pembeli tersebut. “Menerima pesanan atau tidak, Pak? Saya mau ada acara haja
Read more
Ustaz
Langkahku terhenti kala mendengar lantunan ayat suci dari seseorang yang tidak asing lagi. “Bukankah itu suara Nak Arfan?” tanya ayah. Bahkan ayahku sudah hafal suara calon menantunya. Ups, aku keceplosan. Untung ayah tidak mendengar. “Benar, Pak. Itu suara Mas Arfan. Mari saya antar ke luar,” ujar Pak satpam.“Ayo pulang, Yah! Ini bukan tempat yang layak untuk kita.” Aku menggandeng tangan ayah. Secara tidak langsung, kedua satpam itu mengusir kami.“Tunggu sebentar, ayah mau lihat calon mantu dulu.”Sekarang malah ayah yang kepo. Dia tidak jadi mau pulang. Ya Allah, semoga tidak ada yang mendengar ucapan ayah.Kedua satpam itu saling pandang, “Nanti setelah lihat calon mantu mohon segera keluar, ya, Pak. Karena acara sedang berlangsung, kami yang bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan.”Aku paham dengan ucapan mereka. Sakit, tapi tidak berdarah. Supir angkutan tadi sudah keluar. Semoga dia masih mau menunggu kami. Uangnya saja masih kubawa. Dia tidak akan pulang tanpa uang, bisa
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status